Karena Cita-cita para Pendiri Bangsa adalah Mencapai Peradaban yang Mulia
Pada Gala Dinner, Asia Liberty Forum 2018, Oriental Mandarin Hotel, Jakarta, 11 Februari 2018 KH. Yahya Cholil Staquf menyampaikan hal berikut :
“Di sebuah lembaga kajian di Washington, Kamis siang yang lalu, seseorang bertanya kepada saya:
“Kalian (Nahdlatul Ulama) adalah mayoritas diantara umat Islam di negara mayoritas Muslim terbesar di dunia. Mengapa kalian tidak mau negara Islam?”
Begini ceritanya:
Ada sebuah gedung bersejarah tak jauh dari sini –cuma 10-12 menit– di Jalan Pejambon dekat Gambir. Dulu dinamai Gedung Chuo Sangi In –bahasa Jepang. Sekarang disebut Gedung Pancasila.
Di gedung itu ada satu ruangan yang –jika Anda memasukinya lebih dari 70 tahun yang lalu dan melihat sekeliling ruangan– Anda akan menyaksikan dinamika seluruh jagad tergambar disitu. Ruangan itu dipenuhi orang-orang yang menganut segala macam ideologi dan pandangan tentang masa depan peradaban umat manusia. Dari liberalisme Barat sampai integralisme Jawa. Dari Islamisme sampai komunisme. Maka, orang-orang di ruangan itu –para Bapak Pendiri Indonesia– butuh menemukan cara untuk mengelola perbedaan-perbedaan diantara mereka agar tidak terjadi konflik dan kekerasan. Itulah sebabnya –ketika mereka menyusun konsep landasan bagi Bangsa dan Negara Indonesia– visi yang mereka bangun tidak terbatas hanya tentang kemerdekaan Indonesia, yaitu hak kami untuk merdeka dari penjajahan dan penindasan.
Mereka mengajukan visi yang agung tentang masa depan kemanusiaan dan peradaban secara keseluruhan. Suatu visi yang ditujukan untuk mendorong stabilitas, keamanan dan harmoni internasional, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Ini semua adalah ciri-ciri kemuliaan. Karena cita-cita para Bapak Pendiri Bangsa ini adalah untuk mencapai ‘Peradaban yang Mulia”.
Sejak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, cita-cita agung ini telah menjadi satu faktor paling kuat yang mempersatukan Indonesia beserta segenap bangsanya. Sejak kemerdekaan, kami telah menghadapi berbagai kesulitan yang tak terhitung jumlahnya, tapi kami bertahan karena kami punya sesuatu yang agung sebagai alasan untuk tetap bersatu dalam kebersamaan. Yaitu cita-cita akan peradaban mulia ini.
Mengingat keadaan dunia dewasa ini, mengapa kita –yang datang dari sekian banyak bangsa, budaya dan etnis yang berbeda-beda ini– melakukan hal yang sama? Ditengah begitu banyak perbedaan diantara kita, mengapa kita tidak menjemba / meraih cita-cita akan suatu peradaban mulia, dan akhlak mulia, sebagai sesuatu yang bisa mempersatukan kita semua atas dasar kemanusiaan?
Saya yakin ini tidak sulit. Kemuliaan adalah konsep sederhana, yang setiap orang baik-baik pasti memahami. Hanya manusia-manusia jahat dan keji yang gagal paham terhadap makna kemuliaan manusia.
Kemuliaan itu erat kaitannya dengan kemerdekaan, martabat, kasih-sayang, dan keadilan. Kita semua tahu ini!
Maka, ketika kita bicara tentang ekonomi, misalnya, mengapa kita tidak berpikir tentang ‘perekonomian yang mulia’? Ketika kita mendiskusikan politik, kenapa kita tidak berpikir tentang ‘politik yang mulia’? Dan seterusnya….”
Teks asal dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan tulisan di atas,
“At a think tank last Thursday afternoon in Washington, DC, someone asked me this question: ‘You (the Nahdlatul Ulama) represent the majority of Muslims, in the largest Muslim-majority country in the world. Why don’t you want an Islamic state?’
Here is a story::
There is an historic building not far from this hotel—just a 10-12 minute drive—at Jalan Pejambon near Gambir. It was previously called ‘Gedung Chuo Sangi In’—a Japanese term. Now it is called “Gedung Pancasila.”
There is a room in that building where—if you had entered it more than 70 years ago and looked around—you would have seen the dynamics of the entire world at play. That room was full of individuals who embraced all kinds of ideologies and views regarding the future of human civilization. These ranged from Western liberalism to Javanese integralism. From Islamism to Communism. So, the people in that room—Indonesia’s founding fathers—had to find a way to manage their differences, to prevent conflict and violence. That is why—when developing the foundational concept for the Indonesian nation state—the vision they articulated was not limited to Indonesia’s independence: i.e., our right to freedom from colonial occupation and repression.
They also articulated a profound vision for the future of humanity and civilization as a whole. A vision that aspired to promote international stability, security and harmony, based on freedom, enduring peace and social justice. These are all characteristics of nobility. For the vision of Indonesia’s founders was that of a ‘noble civilization.’
Since our declaration of Independence in 1945, this vision has been the strongest single factor holding Indonesia, and Indonesians, together. Since Independence we have face countless problems, yet we have prevailed because we have something to unite us and hold on to together. This vision of a noble civilization.
Given the current state of the world, why don’t we—who come from so many different nations, cultures and ethnicities—do the same? Amidst so much diversity, why don’t we embrace the vision of a noble civilization, and nobility of character, as something that can unite all of us on the basis of our shared humanity?
I believe this will not be difficult. Nobility is a simple concept, which all decent people understand. Only cruel and malicious people fail to understand the nature of human nobility.
Nobility is intimately linked to freedom, dignity, compassion and justice. We all know this!
So, when we speak about economics, for example, why don’t we think about a “noble economy?” When we discuss politics, why don’t we think in terms of a “noble politics”? And so forth….”