Kemurnian Diri
Banyak manusia terkontaminasi kepalsuan.
Mereka banyak tampil dalam kamuflase diri, yang membuatnya sulit untuk bicara sesuai nurani, dan kebenaran yang haqiqi.
Lidah sepertinya sudah terolah, sangat faseh, terbiasa bicara tak sesuai dirinya.
Maka jadilah si manusia itu tertutupi riasan molek, yang mampu menutupi wajah aslinya, hingga semuanya terpesona oleh tipuan polesan, dan pemilik diripun, seakan nyaman ia dalam karakter dirinya yang palsu ini.
Itulah diri kita, jika tak memiliki pondasi agama, maka kita akan menampilkan wajah penuh kamuflase itu dengan nyaman.
Namun bagi yang beriman, wajah penuh polesan kepalsuan, merupakan beban mental, yang akan menganggu unsur jiwa terdalamnya.
Hingga ia akan selalu merasa tidak nyaman dalam wujud kepalsuannya, yang membuatnya merasa risih, dan tak memberinya ketenangan bathin.
Diri kita memiliki garis lurus vertikal yang kuat untuk selalu terkait dengan sang pencipta. Hingga sedikit Nur yang tersisa dalam hati, akan mampu memberi terang, yang dengan itu, kita bisa kembali menemukan jalan kebenaran yang semula sulit terdeteksi.
Atau perjalanan penuh kepalsuan kita itu, ternyata telah membuat kita terjerembab.
Kita masuk dalam kubangan dalam, dan kita tak kuasa beranjak, hingga kita membiarkan diri kita terus tengelam di dalamnya.
Sampai akhir hidup kitapun, ternyata kita tak bisa lepas, membawa kepalsuan itu hingga terus sampai kita menutup mata, tanpa merasa telah salah jalan, dalam mengambil pilihan hidup, yang terpilih oleh kita… yang itu ternyata, telah membutakan kita, saat kesempatan hidup itu ada.
Kemurnian diri, biasanya akan meronta, disaat kita mengambil jalan yang salah.
Perasaan ketidaknyamanan diri akan muncul, walau kita ada di keglamournya duniawi.
Kepekaan bathin membaca isyarat ini, kadang di kaburkan, oleh imajinasi-imajinasi kemolekan duniawi, yang pastinya menutup kesadaran hati kita saat ia membuka dirinya untuk kita kenali.
Semisal diri terasa sendiri, sunyi, dan sepi, padahal teman banyak mengerubungi kita. Kita merasa hampa, padahal harta benda tak ada habis-habisnya.
Akhirnya… beberapa isyarat diri itu terlewati, kita melampauinya, tanpa kita sadar, sebetulnya kita telah mendapatkan peringatan Tuhan, namun kita tak mau mendengarNya.
Akhirnya hatipun mati, ia mulai membatu, dan kita tampil bak kacang lupa kulitnya…
Kita seperti kuda lepas dari gedogan, dan semua menjadi bablas, sehingga diri kita sangat sulit mendapatkan masukan-masukan kebaikan, yang sebetulnya ingin menyelamatkan kita dari tengah lautan yang dalam, namun kitanya sendiri malah menolak di selamatkan, karena sifat sombongnya sudah mengunung, dan merasa kita ini besar, hingga mampu melihat yang lain, yang hendak menyelamatkannya itu kecil tak berarti.
Kemurnian diri merupakan modal kita kembali pada Robb kita dengan kedamaian dan ketenangan.
Tidak ada hal terindah kecuali kita bisa kembali pada puncaknya kesucian diri itu.
Hingga di ingatkanlah kita untuk melatih memurnikan diri itu, dengan mau saling berbagi, lewat berinfaq, berzakat, dan bershodaqoh, ini melatih kepekaan batin, membangun kesucian jiwa.
Sampai datangnya Ramadhan nanti, kitapun di latih untuk berpuasa, mengosongkan perut, di tempa juga kita dengan itu, agar menjadikan kita peka.
Sampai kuat rasa empati kemanusiaan kita, sehingga kita selalu mendapatkan bekal kemuliaan diri, sebagai manusia yang suci, yang tahu akan fungsi kita, menjadi manusia yang bisa memberi rahmat buat seisi alam, dan mampu menebar kebaikan, memberi manfaat bagi sesama.
Alhamdulillah.
Semoga bermanfaat
Bambang Melga Suprayogi M.Sn.
Ketua LTN NU Kabupaten Bandung.