Khalifah Al-Muhtadi: Umar bin Abdul Azis-nya Dinasti Abbasiyah
Khalifah ketiga belas Dinasti Abbasiyah, al-Mu’tazz, dipaksa lengser dan kemudian disekap dan disiksa hingga wafat (Al-Mu’tazz: Khalifah yang Bangkrut dan Disiksa Pasukannya). Sesaat sebelum wafat dia menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Muhammad bin al-Watsiq, yang kemudian bergelar al-Muhtadi. Khalifah yang baru ini merupakan putra Khalifah kesembilan, al-Watsiq (Surat untuk Khalifah Al-Watsiq: Pembunuh Ulama dan Pencinta Budak Pria). Bagaimana jalannya roda pemerintahan di masa Khalifah al-Muhtadi? Kembali yuk kita simak lanjutan ngaji sejarah politik Islam di portal Geotimes.
Semula al-Muhtadi menolak menerima ba’iat sebagai khalifah. Mewarisi pemerintahan yang bangkrut dan karut marut tentu bukan sesuatu yang menyenangkan. Militer Turki masih berkuasa di Samarra, ibu kota negara. Sejak pembunuhan atas Khalifah kesepuluh, al-Mutawakkil (Konspirasi Politik Anak yang Membunuh Khalifah Al-Mutawakkil ), oleh militer Turki, berturut-turut naik-turunnya khalifah lewat pertumpahan darah yang direkayasa oleh mereka. Al-Muhtadi sadar betul risiko yang dihadapinya saat, pada akhirnya, menerima ba’iat sebagai khalifah.
Imam Suyuthi menggambarkan sosok al-Muhtadi yang alim. Rajin salat dan tidak pernah meninggalkan puasa selama menjadi Khalifah. Diriwayatkan bahwa al-Muhtadi ingin meniru langkah yang telah dilakukan oleh khalifah Dinasti Umayyah yang legendaris, yaitu Umar bin Abdul Azis (Khalifah Umar bin Abdul Azis yang Wafat Diracun). Al-Muhtadi menginginkan hidup yang sederhana seperti dicontohkan Umar bin Abdul Azis.
Ini saja sudah luar biasa. Kita tahu Dinasti Abbasiyah dibangun atas puing-puing keruntuhan Dinasti Umayyah. Tidak jarang para pemuka Abbasiyah mengecam Mu’awiyah, Marwan, dan keturunan mereka. Namun, kini Al-Muhtadi malah mengagumi salah satu khalifah Dinasti Umayyah. Sayang, baik Umar bin Abdul Azis maupun al-Muhtadi berkuasa hanya sebentar dan wafat secara tragis.
Imam Thabari melaporkan bahwa ibunda al-Muhtadi, namanya Qurb, sudah wafat beberapa waktu sebelum al-Muhtadi menjadi khalifah. Dikabarkan al-Muhtadi berkata, “Saya sudah tidak punya ibu, tidak seperti al-Mu’tazz yang ibunya menginginkan 10 juta dinar setiap tahun untuk membayar keperluannya dan para pelayannya. Saya hanya ingin hidup sederhana.”
Saya kisahkan sebelumnya bagaimana al-Mu’tazz yang dipaksa memberi uang 50 puluh ribu dinnar kepada Jenderal Salih bin Washif, dan karena kas negara yang kosong lalu meminta uang kepada ibunya. Namun, ibunya menolak sambil mengaku tidak punya uang. Kegagalan al-Mu’tazz menyediakan uang itu yang membuat tentara marah dan akhirnya menurunkannya dari jabatan khalifah dan berujung pada kematiannya.
Pada masa al-Muhtadi, militer menangkap Qabihah, ibu al-Mu’tazz, dan kemudian memeriksa tempat tinggalnya. Semula tidak ditemukan harta di sana, tapi kemudian ternyata ada terowongan bawah tanah yang, setelah ditelusuri, ditemukanlah berbagai macam permata dan uang jutaan dinar. Inilah hasil korupsi sang ibu khalifah.
Bahkan tragisnya, dia tidak mau menolong anaknya mengirimkan 50 puluh ribu dinar untuk menyelamatkan kekuasaan dan nyawa anaknya, padahal ternyata dia memiliki jutaan dinar. Jenderal Salih bin Washif kemudian menyita semua harta Qabihah untuk membayar pasukannya.
Kekuasaan memang mendatangkan kemewahan. Tanpa mekanisme checks and balances, baik melalui institusi politik maupun partisipasi publik, kekuasaan menjadi absolut. Tambah dua kali absolut ketika kekuasaan semacam itu mengambil legitimasi dari ajaran agama.
Kembali ke kisah al-Muhtadi. Seperti khilafah sebelumnya, beliau juga harus menghadapi para Jenderal Turki yang sangat berkuasa. Sebenarnya ada sedikit celah untuk sang Khalifah keluar dari jebakan dan tekanan militer, yaitu para jenderal juga saling berebut kekuasaan. Jenderal Bayakbak yang menguasai pasukan dan keamanan istana (mungkin semacam Paspampres zaman old) dicopot dan diganti oleh Jenderal Satikin.
Dahulu Jenderal Washif dan Bugha kompak, namun para putra mereka, yaitu Salih bin Washif dan Musa bin Bugha, tidak cocok satu sama lain. Mampukah al-Muhtadi mengambil keuntungan dari celah perpecahan di kalangan militer atau dia malah terjepit di saat dua gajah bertempur?
Setelah harta Qabihah disita dan diberikan kepada pasukannya, Perdana Menteri Ahmad bin Israil juga dibunuh oleh Jenderal Salih bin Washif. Siapa pun yang bersalah seharusnya dibawa ke pengadilan, diberi hak membela diri, dan pengadilan yang memutuskan bersalah atau tidak. Negara pula yang berhak mengeksekusi dan menyita harta. Namun, semua itu diterabas oleh Salih bin Washif.
Kesewenang-sewenangan itu menimbulkan kecemburuan dan juga kejengkelan Jenderal Musa bin Bugha yang memutuskan untuk memasuki ibu kota dan hendak menuntut balas atas kematian al-Mu’tazz dan penyitaan harta Qabihah. Rakyat berseru, “Musa datang mengejar Fir’aun.” Yang disebut Fir’aun itu adalah Jenderal Salih bin Washif. Ini karena tindakannya sudah melampaui batas dan Khalifah al-Muhtadi tidak berdaya menghadapinya.
Jenderal Musa bin Bugha memasuki istana dan memaksa Khalifah al-Muhtadi naik ke atas kuda. Al-Muhtadi berseru, “Apa-apaan ini, Musa! Apa yang kamu inginkan?” Musa menjawab, “Saya hanya menginginkan kebaikan untukmu. Saya minta Anda bersumpah bahwa Anda tidak akan mendukung Salih bin Washif.” Maka bersumpahlah Khalifah al-Muhtadi.
Salih bin Washif lantas bersembunyi. Pasukan Musa mencarinya namun tidak berhasil menemukannya. Keadaan semakin kacau balau. Musa bin Bugha mengumumkan akan memberi hadiah 10 ribu dinar kepada sesiapa yang bisa menemukan Salih bin Washif.
Khalifah al-Muhtadi menyarankan agar terjadi ishlah (alias perdamaian) di antara kedua jenderal ini. Namun, pasukan Musa salah paham dengan permintaan ishlah ini dan menganggap al-Muhtadi mendukung Salih dan tidak melaksanakan isi sumpahnya.
Dikepung oleh pasukan Musa, dengan gagah berani al-Muhtadi keluar menemui mereka dengan sebilah pedang dan berkata: “Aku tidak tahu di mana Salih bin Washif berada. Aku bukanlah al-Musta’in dan al-Mu’tazz yang bisa kalian paksa. Ini pedangku. Akan aku tebas kalian selama aku masih sanggup memegang pedang ini. Tidakkah kalian punya agama? Tidakkah kalian merasa malu? Tidakkah kalian punya perasaan?”
Imam Thabari melaporkan bahwa al-Muhtadi juga berseru: “Wahai Bayakbak, lihatlah kondisi rumah dan harta bendaku milik keluargaku. Tidak kau dapati perabotan yang mewah yang kami atau pelayan kami miliki. Bahkan kolegamu, para jenderal, hidupnya lebih beruntung dan lebih mewah dari kami. Kalau Anda mau memuaskan rasa haus darah kalian untuk membunuh Salih, silakan cari dia, tapi jangan libatkan aku, ini bukan urusanku!”
Bayakbak dan Muhammad bin Bugha (saudaranya Musa) jengkel dengan al-Muhtadi yang menyebut-nyebut keterlibatan mereka dalam hal kemewahan dulunya bersama Salih bin Washif saat menurunkan al-Mu’tazz dan menyita harta Qabihah, tapi kini seolah hendak cuci tangan dan menyalahkan semuanya kepada Salih bin Washif.
Lantas, di mana Salih bin Washif bersembunyi? Akhirnya dikisahkan ada seorang anak kecil yang melihat lorong bawah tanah, dan kemudian melihat Salih tengah tertidur di sana. Setelah mendapat laporan itu, seperti dituturkan dengan detail oleh Imam Suyuthi, pasukan Musa menangkap Salih dan kemudian memenggal kepala Jenderal Salih bin Washif. Kepalanya dibawa ke al-Muhtadi yang baru selesai salat. Respons sang Khalifah, “tutup kepala itu,” dan berulang kali dia mengucap “Subhanallah”.
Kepala Salih bin Washif kemudian diarak dan digantung di atas gerbang kota selama 3 hari. Pada 1 Februari 870 kepala Salih dikirimkan kepada saudari perempuannya, Ummu al-Fadl, yang kemudian menguburkannya. Begitulah darah dibalas darah. Kepala dibalas kepala. Semua atas nama Islam.
Ketidaksukaan Bayakbak, Muhammad, dan Musa kepada al-Muhtadi semakin dalam, tapi mereka kekurangan dana untuk menggerakkan pasukan. Sampai akhirnya pada 4 Januari 870 mereka mendapat dana kiriman dari setoran daerah Fars dan al-Ahwaz sebesar 17.5 juta dinar. Namun, mereka memilih bergerak menghadapi pasukan Musawir, pemimpin Khawarij.
Ini satu tanda bahwa lebih dari seratus tahun setelah Nabi Muhammad wafat, berkali-kali Khawarij memberontak baik di masa Dinasti Umayyah dan kini di masa Abbasiyah, dan meski berkali-kali kalah, mereka belum punah dan lenyap. Tak aneh di masa sekarang pun kita melihat sejumlah kelompok yang pantas dijuluki Neo-Khawarij.
Al-Muhtadi melihat ada kesempatan menyingkirkan Musa bin Bugha yang sedang bertempur dengan Khawarij. Al-Muhtadi mengirm surat kepada Bayakbak dan memintanya mengambil alih tongkat komando militer dan membunuh Musa bin Bugha atau mengikatnya dengan rantai. Sayangnya, Al-Muhtadi salah perhitungan.
Bayakbak malah melaporkan isi surat itu kepada Musa bin Bugha. Musa menyarankan Bayakbak keluar dari medan pertempuran dan segera menuju istana dan berpura-pura tetap loyal kepada Khalifah, sambil menunggu Musa dan pasukannya menyusun rencana membunuh Khalifah al-Muhtadi. Bayakbak mengikuti saran ini.
Sesampainya di istana, Bayakbak menemui Khalifah al-Muhtadi yang langsung murka, “Saya perintahkan Anda membunuh Musa, kok, malah Anda meninggalkan pasukan dan menghadap saya ke istana. Kenapa masalah ini Anda anggap sepele?”
Bayakbak menjawab, “Bagaimana bisa saya membunuh Musa yang pasukannya lebih superior dibanding saya?” Khalifah tidak bisa menerimanya dan meminta Bayakbak dilucuti senjatanya dan kemudian dimasukkan penjara. Tindakan khalifah ini menimbulkan kemarahan saudara Bayakbak dan juga asistennya, yaitu Ahmad bin Khaqan, yang mengumpulkan pasukan untuk mengepung istana. Begitulah jika aliansi politik tidak berdasarkan loyalitas, tapi kepentingan semata.
Terjadilah pertarungan antara pasukan Bayakbak dengan pasukan yang masih setia di bawah komando al-Muhtadi, yang kemudian memerintahkan Bayakbak yang dalam tahanan segera dieksekusi. Perintah yang kemudian langsung dikerjakan. Selesailah Bayakbak.
Tapi pertempuran di sekitar istana masih terjadi. Dikabarkan al-Muhtadi membeli loyalitas pasukan yang melindunginya dengan membayar 2 dirham per hari setiap tentara. Akibat pertempuran sesama Muslim ini, sekitar 4 ribu tentara mati dalam perang saudara ini, yang terjadi sekitar tanggal 16 Juni 870.
Satu versi yang dikisahkan Imam Thabari, pasukan Ahmad bin Khaqan akhirnya berhasil menangkap Khalifah al-Muhtadi. Ibn al-Atsir dalam al-Kamil fit Tarikh mengatakan al-Muhtadi dihajar dengan pedang. Imam Thabari mengatakan al-Muhtadi dilecehkan, diludahi dan disiksa, bahkan buah pelir al-Muhtadi ditendang hingga dia ambruk dan wafat.
Ibn Atsir mencatat al-Muhtadi berkuasa hanya selama 11 bulan dan 15 hari. Al-Muhtadi berusia 38 tahun saat wafat. Maka, dapat kita berikan ringkasan apa yang terjadi dengan lima khalifah pada periode ini.
- Khalifah kesepuluh Abbasiyah, Al-Mutawakkil, usia 40 tahun saat wafat, berkuasa 14 tahun, dibunuh konspirasi militer Turki dan al-Muntashir, anaknya sendiri.
- Al-Muntashir, khalifah kesebelas, berusia 25 tahun saat wafat dan hanya berkuasa sekitar 6 bulan, dan mati diracun oleh militer.
- Khalifah kedua belas, al-Musta’in, kalah dalam perang saudara dan dipaksa lengser, lantas dipenggal kepalanya atas perintah keponakannya, al-Mu’tazz. Al-Musta’in berusia 31 tahun saat wafat dan berkuasa selama 4 tahun.
- Penggantinya, al-Mu’tazz, sebagai Khalifah ketiga belas, berusia 19 tahun saat diangkat menjadi Khalifah oleh Militer Turki. Sayang, dia hanya menjabat kurang dari 3 tahun dan dipaksa mundur oleh militer dan kemudian dibunuh setelah sebelumnya disiksa.
- Dan baru saja kita menyimak kisah khalifah keempat belas, yaitu al-Muhtadi, yang berusia 38 tahun dan wafat disiksa oleh militer, setelah berkuasa hanya sebelas bulan.
Apa kesimpulan dari bahasan khalifah kesepuluh sampai keempat belas Dinasti Abbasiyah ini? Mereka naik dan wafat pada usia masih muda. Dinasti Abbasiyah mengalami instabilitas luar biasa. Negera bangkrut. Para khalifah menjadi boneka dari para Jenderal Militer Turki. Kelimanya wafat dalam kondisi mengenaskan, dan umumnya berkuasa cukup singkat.
Insya Allah kita lanjutkan pada kolom Jum’at berikutnya untuk mengupas kisah khalifah kelima belas dan bagaimana nasib Dinasti Abbasiyah selanjutnya.
Sumber : Geotimes