The news is by your side.

Khutbah Jum’at, Quo Vadis ?

Oleh Ayik Heriansyah, Jamaah Sabtuan PCNU Kota Bandung

“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah merupakan ciri dari kefaqihan seseorang. “Maka panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah, sesungguhnya di antara untaian kata yang indah itu ada daya penarik (bagaikan sihir). (HR. Muslim).

Inti dari semua ibadah adalah aktivitas menstimulasi kesadaran dan keterhubungan hati seseorang dengan Allah Swt sebagai Khaliq. Keterhubungan spiritual (ruhaniyah) ini  bersentuhan dengan aspek batin manusia. Sebenarnya manusia hidup bahagia dengan kesadaran spiritualnya tidak terkait ruang dan waktu. Ruang dan waktu media kehidupan tidak menentukan kebahagiaan seorang. Artinya kapan dan dimanapun, kebahagiaan bisa diraih jika terjadi hubungan sadar dengan Allah Swt.

Sebab itu setiap ibadah bernilai sakral, seharusnya suci (steril) dari segala sesuatu yang mengganggu kesadaran dan keterhubungan langsung manusia dengan Sang Khaliq. Pada ibadah shalat keadaan ini disebut khusyu dan thuma’ninah. Seolah-olah orang yang sedang shalat face to face dengan Allah swt tanpa ada tabir penghalang sehingga limpahan cahaya-Nya bisa diserap secara maksimal, mencerahkan ruhaninya dan menciptakan sensasi kebahagiaan dalam dirinya.

Hal-hal yang berpotensi menjadi gangguan diminimalisir sedemikian rupa sehingga tidak ada penghalang yang membuat jarak batin antara manusia dengan Allah Swt ketika shalat. Namun hawa nafsu yang built in pada diri seseorang menjadi pengganggu laten dan permanen, wajar jika seseorang susah mencapai khusyu’ dan thuma’ninah 100%. Paling tidak sepanjang shalat ada seberkas cahaya-Nya yang bisa diserap, jangan sampai shalat hanya seukur menggugurkan kewajiban tanpa mendapat pencerahan ruhani setelahnya.

Akhir-akhir ini perjuangan agar bisa khusyu’ lebih berat pada ibadah shalat jum’at yang terdiri dari khutbah dan shalat. Khutbah jum’at acapkali dianggap sepele karena berbentuk ceramah singkat satu arah. Khutbah jum’at jadi ceramah biasa hanya waktunya saja sebelum shalat jum’at. Sebagian khatib menjadikan mimbar khutbah jum’at sebagai panggung politik untuk menyampaikan propaganda. Parahnya, khutbahnya lebih lama daripada shalat jum’at dua rakaat. Terkesan khutbah lebih penting daripada shalat. Shalat  jum’at dilakukan seadanya, sekedar memenuhi syarat dan rukun shalat.

Di sisi lain, khutbah-khutbah tentang moral yang diungkapkan secara normatif dan berulang-ulang oleh khatib yang berbeda, dirasa membosankan oleh jamaah. Jamaah tidak mendapatkan sesuatu yang baru yang mencerahkan batin mereka. Khutbah-khutbah tidak menyentuh kehidupan praktis jamaah, padahal jamaah mengharapkan mendapat kesadaran baru setelah mengikuti serangkaian ibadah shalat jum’at. Sepanjang khutbah berlangsung sebagian jamaah tidur, melamun, baca buletin, main hp bahkan asyik ngobrol sampai khutbah berakhir. Bagi jamaah yang penting shalat jum’at dua rakaatnya, bukan khutbahnya. Fakta-fakta ini selain keliru juga menghilangkan kesakralan ibadah jum’at itu sendiri.

Tadinya khutbah jum’at sangat sakral, momen mingguan sekaligus  wahana konsolidasi masyarakat  untuk mendapatkan arahan-arahan resmi penguasa terkait masaalah aktual yang sedang hangat. Khutbah jum’at berfungsi sebagai media publik bagi penguasa untuk mensosialisasikan kebijakan-kebijakannya. Dalam perjalanannya pesan-pesan subjektif  penguasa lebih kuat daripada wasiat taqwa yang jadi rukun khutbah itu sendiri. Bahkan bertentangan dengan semangat taqwa itu sendiri. Tujuan khutbah jum’at mengalami penyimpangan.

Desakralisasi khutbah jum’at berawal dari  terpinggirkannya pesan taqwa yang disampaikan para khatib. Khatib menyampaikan pesan taqwa sekedar untuk memenuhi rukun khutbah. Pesan taqwa jadi ungkapan seremonial yang terpisah dari materi pokok khutbah. Taqwa bukan lagi jiwa yang melandasi respon atas problematika masyarakat khatib ketika mengurai materi khutbahnya.  Wajar jika khutbah jum’at kaya akan informasi aktual dan analisa bernas tapi kering secara spiritual.

Memang khutbah jum’at bukan satu-satunya ibadah yang bisa meningkatkan spiritualitas seseorang, namun desakralisasi khutbah jum’at berkontribusi terhadap krisis spiritual masyarakat. Ibadah shalat jum’at yang bersifat seremonial, gersang dan kering gagal  menyentuh sisi paling substansial suatu masyarakat. Ibadah shalat  jum’at berlalu begitu saja tanpa menghilangkan dahaga spiritual masyarakat.  Boleh dikatakan ibadah jum’at yang demikian gagal mencapai maqashid sosialnya.

Penyakit masyarakat seperti kriminalitas, lunturnya sopan santun, ditinggalkannya adab dan martabat mulia sebagai seorang muslim akibat masyarakat kehilangan kesejahteraan material dan kebahagiaan batiniah. Ibadah shalat jum’at yang diharapkan dapat memberi kebahagiaan ternyata hanya berbentuk seremonial, justru menambah beban psikis masyarakat.

Bisakah para khatib menjadi agen pencerahan spiritual ? Rasanya para khatib perlu mempertanyakan fungsi, peran dan urgensi mereka di  tengah masyarakat, mengevaluasi materi khutbah dan praktik shalat jum’at sehingga pertanyaan, quo vadis khutbah jum’at bisa terjawab. Jangan sampai khutbah jum’at jadi seperti kata peribahasa Sunda, “Cul dogdog tinggal igel”

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.