The news is by your side.

LGBT vs Agama dan HAM

Oleh Hapid Ali (Pengurus PWNU Lakpesdam Jawa Barat)

LGBT vs Agama dan HAM | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa BaratPenyimpangan orientasi seks sekarang-sekarang ini telah menyita banyak perhatian masyarakat. Penyimpangan seksual meruapkan sebuah phenomena sosial yang memberikan dampak buruk bukan hanya terhadap anak-anak, dan remaja melainkan terhadap orang dewasa. Gaya hidup, perkembangan tekhnologi dan seks bebas menjadi salah satu alasan mengapa penyimpangan seks di masyarakat kian bertambah. Termasuk kasus homoseksual yang kian menjadi bahan perbincangan dikalangan masyarakat termasuk dibeberapa media.

Homoseksual ini merupakan hubungan seks dengan pasangan sejenis dimana satu sama lain saling menyukai. Ini senada dengan apa yang telah disampaikan oleh Mulyono (2007) yang menyatakan bahwa “homoseksualisme adalah paham homoseksual dimana mempunyai kecenderungannya untuk tertarik kepada orang lain yang sejenis”. Sebenarnya kasus ini sudah terjadi pada masa sebelumnya yaitu pada masa Nabi Luth ketika itu beliau diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk menyebarkan siar tauhidnya di daerah Sodum yang merupakan bagian dari wilayah laut Mati. Dimana disitu terjadi perbuatan yang keji yaitu proses homoseksual baik laki-laki dengan laki-laki yang disebut juga dengan istilah gey atau juga terjadi homoseksual kaum perempuan dengan pasangan sejenisnya yang disebut dengan lesbian. Proses degredasi moral ini merupakan kasus yang besar yang dialami oleh pengikut Nabi Luth atas pengingkarannya terhadap ketauhidan dan nilai-nilai moral yang disampaikan oleh beliau.

Kasus ini terus memberikan rantai sampai sekarang di era modern ini, di era modern ini kasus tersebut lebih seksi diistilah dengan sebutan LGBT (Lesbian, Gey, Biseksual dan Transgender). Banyak kaum LGBT yang menyuarakan haknya untuk mendapatkan payung hukum yang jelas terkait dengan pernikahan sejenis. Dan inilah menjadi perdebatan yang alot dan memunculkan reaksi besar diantara kalangan masyarakat termasuk tokoh Agama yang begitu kencang terkait dengan penolakkannya tehadap LGBT di Indonesia.

Franz Magnis Suseno (Rohaniwan Katolik) dalam program tvOne yang menyatakan bahwa “hubungan seks diperbolehkan apabila dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang sudah disahkan dalam hukum perkawinan menurut aturan Gereja Katolik”. Dalam hal ini juga, Agama Islam memposisikan LGBT sebagai penyakit masyarakat yang dapat menghancurkan moralitas bangsa termasuk anak-anak sebagai regenerasi bangsa.

Perbuatan LGBT ini dasar hukumnya sudah jelas dilarang ini jelas dalam teks ayat suci al-quran sebagai pegangan sumber hukum Islam dimana kesucian teks al-quran tersebut memberikan pandangan dalam firmanNya yang artinya bahwa “sesungguhnya kamu mendatangkan lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka) bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”. Qs. Al-Araf: 81). Dan ada keterangan lain dalam teks al-quran yang senada yang artinya adalah “dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. (Adz-Dzariat: 49). Kesucian teks ini sudah jelas bahwa pandangan Agama telah memposisikan laki-laki dan perempuan sesuai dengan fitrahnya mereka (hubungan laki-laki dan perempuan) diperbolehkan melakukan hubungan seks seuai dengan hukum perkawinan yang diatur oleh Agama Islam dan pancasila dan ini semata agar mereka dapat melahirkan generasi yang menumbuhkan dan menjaga nilai-nilai moralitas dan ketaatannya terhadap Allah SWT.

Dalam fiqih Islam, klasifikasi gender pada aspek biologis dapat dikategorikan kepada tiga jenis yaitu; 1. Mudzakkar (Laki-laki), Muannats (Perempuan), dan Khunsa (orang yang mempuanyai dua jenis kelamin yang berbeda). Dalam hal ini laki dan perempuan itu sudah jelas mempunyai dua jenis kelamin satu sesuai jenis kelamin masing-masing dan fitrahnya. Tapi dalam hal ini Khunsa merupakan dua jenis kelamin yang berbeda sehingga dalam pendekatan fiqih ini perlu dikaji dengan begitu matang dalam aspek muamalah dan ubudiyah termasuk seperti halnya dalam ibadah sholat, khunsa tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki karena jenis kelaminnya masih belum jelas dan banyak hal ikhtilafiyah dalam aspek ubudiyah lainnya. Maka disini fiqih mengkaji kata “Khunsa” sehingga dapat mengklasifikasikan makna “Khunsa” kedalam dua kategori yaitu “Khunsa Musykil” dan “Khunsa Wadih”.

Dalam hal ini khunsa Musykil merupakan orang yang mempunyai dua jenis kelamin yang berbeda dan keduanya memberikan karakteristik yang dominan dalam aspek sosial sehingga susah untuk dihukumi tendensi dominannya apakah ke laki-laki atau perempuan dan ini memberikan khilafiyah dalam ubudiyah. Ini dapat dilakukan oleh kesadaran orang yang bersangkutan apakah mau mengambil ke gender dalam aspek biologis laki-laki atau perempuan. Sedangkan Khunsa wadih merupakan orang yang mempunyai dua jenis kelamin yang berbea tapi karakteristik dari salah satunya memiliki dominan dalam aspek sosial sehingga itu mudah untuk dihukumi karakter laki-laki atau perempuan dan itu diperbolehkan untuk memilih ke biologis laki-laki atau perempuan sesuai dengan tendensi gender dan karakteristiknya. Proses ini diperbolehkan dalam fiqih Islam.

Apabila ini dikaitkan dengan kasus LGBT tentu ini tidak ada kaitannya Karena LGBT itu didasarkan atas dasar gaya hidup dan hasrat nafsu yang tinggi terhadap sesama jenis. Ini merupakan problem sosial sedangkan Khunsa itu merupakan problem biologis. Jadi dalam istilah ini sudah berbeda, maka LGBT dalam pandangan fiqih Islam tentu itu diharamkan apalagi kalau sudah ada pelegalan pernikahan sesama jenis itu sudah keluar dan bertolak belakang dengan sumber hukum Islam termasuk fiqih Islam itu sendiri. Bahkan menurut Imam Ahmad (Imam Madhab Fiqih) bahwa lesbian dan juga gay atau istilah sekarang LGBT itu hukumnya haram dan dosa bahkan proses pemberian hukumannya ialah dengan diterapkannya hukuman mati melebihi dari perbuatan zina antara lawan jenis.

Dalam hal ini sharusnya Badan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif mempunyai suara yang sama terkait dengan LGBT dan pemberlakuan hukum pidana yang jelas terhadap LGBT karena merupakan bagian dari proses perjinahan. Ini dapat di interpretasikan bahwa LGBT merupakan perbuatan keji dan kejahatan yang sudah masuk ranah “Munkar” bukan ranah “Fahsa” karena sudah mengganggu jiwanya sendiri, ketentraman publik dan merusak moral bangsa termasuk anak-anak sebagai regenerasi bangsa Indonesia.

Terus bagaimana dengan HAM? Mereka selalu menyuarakan bahwa LGBT merupakan hak mereka dalam mengekspresikan kemauannya pada ranah sosial. Apabila kita kaji makna HAM itu sendiri. Menurut Kaelan (2002) yang menyatakan bahwa HAM merupakan hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kodratnya. Apabila HAM ini dikaitkan dengan sosio dan antropologis di tanah air Indonesia tentunya ini harus merujuk pada pancasila yang artinya bahwa HAM mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa yakni Pancasila. Ini mengandung arti bahwa HAM tersebut harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam pandangan hidup bangsa Indonesia dimana terdapat beraneka ragam budaya, agama dan nilai-nilai moral.

Maka dalam hal ini HAM harus memperlihatkan aspek budaya, Agama dan sosial yang ada. Dalam hal ini kita dapat mengkategorisasikan HAM kedalam dua pemahaman yaitu Universalisme dan Partikularisme. Universalisme ini mengandung makna bahwa ketentuan HAM seperti kasus LGBT. Ini merupakan pemaham terkait dengan hak yang seharusnya di fasilitasi oleh pemerintah tanpa mempertimbangkan dengan komprehensif terkait dengan nilai moral, sosial, budaya dan Agama. Sedangkan Partikularisme merupakan pemahaman HAM yang mempertimbangkan aspek moral, budaya, masyarakat dan nilai agama.

Seperti apa yang telah disampaikan oleh Prof. Mahmud MD. Menyatakan bahwa “partikularime merupakan HAM yang bergantung pada kebutuhan moral, lokal, masyarakat, nilai agama dan ketertiban umum”. Apabila kita fahami ini dengan seksama maka HAM yang diadopsi di Indonesia merupakan HAM yang mengandung pemahaman Partikularistik. Maka apabila kita kaitkan LGBT dengan HAM partikularistik tentunya itu juga bertolak belakang. LGBT tidak pantas diterapkan di Indonesia karena Indonesia merupakan bangsa yang beragama, berbudaya dan bermoral. LGBT merupakan penyakit sosial yang semestinya dilarang. Lalu apa sikap kita sebagai masyarakat terkait dengan pelaku LGBT itu?

Maka dalam pandangan konstitusi bangsa ini tentunya mereka merupakan bagian dari warga Negara Indonesia yang mempunyai hak yang sama dipandangan hukum maka mereka tidak boleh dikucilkan justru harus di rangkul dan di obati dengan pendekatan aspek sosial, spiritual dan psikologi. Yang harus kita benci ialah perbuatannya bukan orangnya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.