Lima Kompetensi Yang Harus Dimiliki Guru NU

Hal tersebut disampaikan oleh H Saepuloh sekretaris Pergunu Jawa Barat pada kegiatan Seminar Pendidikan dan Bedah Buku Aswaja “Penguatan Pendidikan Karakter Menuju Masyarakat Madani Berbasis Aswaja” di Aula Yayasan Pondok Pesantren Darul Ma’arif Jl Raya Kaplongan No. 28, Karangampel, Indramayu, Jawa Barat (10/12/2017)
Lebih lanjut Saepuloh menjelaskan, bahwa kompetensi Aswaja dan Ke-NUan merupakan hal mendasar yang membedakan antara Pergunu dengan organisasi profesi lainnya.
“Kompetensi Aswaja dan Ke-NUan, merupakan ciri khas Pergunu yang membedakan dengan organisasi profesi lainnya.” tutur Saepuloh
Lebih dari itu, Saepuloh mengatakan bahawa kompetensi Aswaja dan Ke-NUan merupakan jawaban atas radikalisme dan telorisme yang dihadapi oleh bangsa ini.
“Kompetensi ini merupakan jawaban atas semua masalah yang dihadapi oleh bangsa saat ini, mulai dari Radikalisme, Liberarisme dan faham-faham yang mengancam Pancasila dan tegaknya NKRI. Diharapkan dengan kompetensi Aswaja dan Ke-NUan ini, guru bisa menangkal siswa agar tidak berfikir radikal, liberal, ekstrim kiri dan atau kanan” tutur Saepuloh
Kompetensi Aswaja dan Ke-NUan tersebut, merupakan integrasi dari amaliyah (perbuatan), fikroh (pemikiran), harokah (gerakan) dan ghiroh (semangat).
Pertama, Amaliyah guru NU harus berpegang teguh pada salah satu madzhab fiqih yang empat; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Berakidah sesuai dengan akidah islam yang diajarkan Rasulullah dengan manhaj Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dan bertasawuf dengan disiplin ilmu yang telah dirumuskan Imam Al-Ghazali dan Imam Junaidi al-Baghdadi.
Kedua, Fikroh atau cara pandang guru NU, harus senantiasa mengusung nilai-nilai tasammuh (toleran), tawassuth (pertengahan), tawazzun (seimbang) dan mu’addalah (adil). Guru NU tidak boleh condong pada pemikiran liberal, tidak pula pada radikal.
Ketiga, Harokah atau gerakan guru NU harus senantiasa selaras dan satu koordinasi dengan keorganisasian NU dan berjuang bersama struktural, maupun hanya sebagai kultural.
Dan Ghiroh, jangan ada keraguan dalam hati guru NU untuk merawat NU dengan penuh keyakinan ahwa kita lahir sebagai orang NU, tumbuh besar sebagai orang NU, dan akan mati sebagai orang NU.
Keempat hal tersebut harus terintegrasi pada setiap individu guru NU dan ditanamkan pada setiap peserta didik.