The news is by your side.

Mang Haji Usep: Dari Cleaning Service, Bersih Hati Hingga ke Tanah Suci

Wahyu Iryana, kader muda NU, pernah dibuatkan kopi pekat oleh Mang Haji Usep – Di Gedung Dakwah PWNU Jawa Barat, ada sosok yang tidak banyak bicara, tapi selalu ada. Setiap tamu yang datang, baik kiai sepuh maupun santri muda, pasti pernah melihatnya: bersarung, berkemeja sederhana, dengan senyum tipis yang lebih sering muncul daripada suaranya. Dialah Mang Haji Usep, lelaki bersahaja yang membersihkan lantai, mengatur sandal para tamu, menyiapkan gelas-gelas kopi, hingga akhirnya—dengan ikhlas dan penuh tawakal—melangkahkan kaki ke Tanah Suci.

 

Ikhlas Itu Pekerjaan Sehari-hari

Di dunia ini, ada orang-orang yang bekerja untuk sekadar mendapat upah, ada pula yang bekerja dengan hati. Mang Haji Usep termasuk yang kedua. Setiap pagi, sebelum orang-orang datang ke kantor PWNU, ia sudah ada di sana, mengepel lantai yang tak pernah benar-benar bersih karena lalu lalang tamu, menata sandal yang entah kenapa selalu berantakan, dan memastikan meja para pengurus tetap rapi meski berkas-berkas berserakan.

Ada yang bilang, “Mang Usep mah orang paling sabar. Buktinya, sandal tamu, anak anak IPNU, anak anak PMII yang baru ditata, semenit kemudian berantakan lagi, tapi dia tetap dirapihkeun deui!”

Ia tidak pernah mengeluh. Baginya, membersihkan Gedung Dakwah adalah bagian dari khidmat kepada Nahdlatul Ulama. “Abdi mah teu bisa ceramah cara kiai, teu bisa nulis cara wartawan NU Online, tapi insyaallah abdi bisa nyapu jeung ngepel,” katanya suatu kali kepada seorang tamu. Dan ia mengatakannya dengan penuh kebanggaan, bukan dengan keluhan.

 

Haji yang Tak Pernah Dulu Dibayangkan

Sejak bekerja di Gedung Dakwah, Mang Usep tidak pernah berpikir untuk naik haji. “Makan sehari-hari weh kudu diirit, bareng ngaliwet sareng kang Haji Ijal,” katanya sambil tertawa suatu hari. Tapi siapa sangka, justru NU yang memperjuangkan jalannya ke Tanah Suci.

Kisahnya dimulai dari obrolan para pengurus PWNU yang menyadari betapa besar pengabdian Mang Usep. “Kita ini sibuk mengurusi haji orang lain, tapi ada orang yang bertahun-tahun mengurusi kita, malah belum pernah mencium Ka’bah,” kata seorang pengurus dalam rapat. Maka dimulailah ajuan ke Kakanwil Provinsi Jawa Barat agar nama Mang Usep diusulkan oleh PWNU Jawa Barat.

“Insyaallah, kalau Allah menghendaki, Mang Usep bisa ke Mekah!” kata seorang ajengan sepuh dengan penuh keyakinan.

Ketika akhirnya panggilan untuk memberangkatkan Mang Usep ke Tanah Suci, ia sempat tak percaya. “Henteu wani, Abdi mah saha?” katanya dengan mata berkaca-kaca. Tapi para kiai menenangkannya, “Justru karena ikhlas dan tawadu, Allah memilih Mang Usep”

 

Keajaiban Ikhlas

Ketika hari keberangkatan tiba, semua orang di Gedung Dakwah berkumpul melepas Mang Usep. Ia mengenakan kemeja koko putih dan kopyah dengan wajah canggung. “Bener ieu kedah abdi?” tanyanya, seakan masih belum yakin bahwa dirinya benar-benar akan berangkat haji.

Di Mekah, cerita tentang Mang Usep menjadi inspirasi bagi banyak orang. “Luar biasa ya, ada orang yang tidak pernah bermimpi ke sini, tapi justru Allah yang memanggilnya,” kata seorang jamaah.

Ketika kembali ke Indonesia, orang-orang mulai memanggilnya “Mang Haji Usep.” Awalnya ia merasa canggung. “Teu biasa, abdi mah biasa disaur Mang Usep wungkul,” katanya merendah. Tapi para kiai Ajengan justru menegaskan, “Kalau haji itu jadi kebanggaan, biarkan jadi kebanggaan! Tapi tetaplah jadi Mang Usep yang dulu!”

Dan memang, tak ada yang berubah dari dirinya. Ia tetap bangun pagi-pagi, tetap mengepel lantai, tetap menata sandal, dan tetap menyajikan kopi bagi tamu yang datang. Satu-satunya yang berubah hanyalah bahwa kini, orang-orang melihatnya dengan lebih hormat.

 

Pelajaran dari Mang Haji Usep

Mang Haji Usep adalah bukti bahwa keikhlasan selalu menemukan jalannya sendiri menuju keberkahan. Ia tidak pernah meminta, tapi justru diberi. Ia tidak pernah mengeluh, tapi justru dihargai. Dan ia tidak pernah merasa pantas, tapi justru dipilih oleh Allah untuk mengunjungi rumah-Nya.

Di dunia yang semakin sibuk dengan pencitraan, Mang Haji Usep adalah pengingat bahwa pengabdian yang tulus tetap memiliki tempatnya. Ia mungkin tidak pernah naik mimbar seperti para Ajengan, tapi tanpa dirinya, Gedung Dakwah NU Jawa Barat tidak akan serapi dan sehangat yang orang-orang rasakan.

Di akhir cerita ini, mungkin ada yang bertanya: apakah setelah berhaji, Mang Haji Usep ingin pensiun? Jawabannya, dengan senyum khasnya: “Tugas abdi di dieu sanes kanggo nyiar jabatan, tapi kanggo nyiar berkah.”

Dan dengan itu, ia kembali mengambil sapunya, kembali merapikan sandal, dan kembali menjadi Mang Haji Usep yang dulu—hanya saja, kini dengan pengalaman sujud di Masjidil Haram.
Subhanallah.

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.