Menetapkan Kewaspadaan Pasca-Pembubaran HTI
Oleh Faisol Ramdhoni
Tertolaknya gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta semakin menegaskan kebijakan pemerintah yang membubarkan dan melarang keberadaan HTI di Indonesia. Setelah sebelumnya diawali dengan terbitnya Perppu Ormas No. 2 tahun 2017, yang kemudian dijadikan UU resmi oleh DPR RI.
Akan tetapi, apakah setelah HTI dibubarkan para pangusungnya juga akan bubar? Apakah ideologi khilafah yang sebelumnya terus dikampanyekan di telinga masyarakat awam secara langsung hilang juga? Tentu jawabannya tidak. Karena ada sisi perbedaan antara ide dan sekumpulan masyarakat.
Jacques Derrida dalam bukunya Specter of Marx menyatakan bahwa pada dasarnya ideologi-ideologi di dunia tak pernah benar-benar mati melainkan hanya bersembunyi dan melatenkan diri. Pernyataan ini harus menjadi perhatian dan kewaspadaan siapa saja, bahwa secara organisasi HTI boleh bubar, namun sebagai sebuah kekuatan idiologi Khilafah yang diusung oleh HTI menjadi ideologi laten dan akan terus bergerak. Secara de facto gerakan ini akan terus mengupayakan indoktrinasi paham kepada masyarakat atau kelompok lain. Meski pemerintah telah dengan tegas memberikan sanksi kepada mantan anggota HTI yang bersikukuh mendistribusikan ideologi khilafah namun tampaknya ini justru dimaknai sebagai gertak sambal.
Fakta sejarah juga menguatkan hal di atas, proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1953 oleh Daud Beureuh Pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) menjadi bukti nyata bahwa idiologi khilafah sudah ada di republik ini sejak lama. DI/TII boleh saja telah dilumpuhkan puluhan tahun silam beserta pemimpin tertingginya, tetapi obsesi ideologis untuk membangun khilafah islamiyah di republik ini takkan pernah benar-benar punah. HTI menjadi penerus ideologi, meski garis genealoginya tidak lahir dari DI/TII namun bisa dilihat dari kesamaan obsesinya tersebut. Bagi para eks-HTI, penegakan Khilafah bukan lagi sekedar gagasan namun telah menjelma sebagai sebuah keyakinan.
Seorang sosiolog Islam, Ali Syariati menyampaikan bahwa keyakinan merupakan faktor paling pokok yang mendorong dan menguatkan seseorang dalam beridiologi dan kuat dalam memperjuangkan cita-cita idiologinya. Maka sangat dimungkinkan para eks-HTI akan tetap bermetamorfosa menjadi gerakan model baru. Para eks-HTI selalu punya langkah tersembunyi untuk menghindari politik identitas. Kenapa demikian? karena kelompok ini sengaja mengurungkan niat agar dianggap tenggelam begitu dalam sehingga kebanyakan mengira bahwa eks-HTI sudah lost power. Proses doktrinasi ideologi akan terus berkembang dengan pola gerakan yang variatif. Gerakan bawah tanah dan penguatan sisi ekspansi akan menjadi strategi shoot on target untuk menginvasi negara.
Pada titik itulah, kewaspadaan menjadi penting untuk dimiliki oleh kita semua para pecinta NKRI. Kita tidak boleh lengah dan terninabobokan dengan telah dibubarkan dan dilarangnya HTI oleh Negara. Apalagi dalam amatan penulis, ada situasi internal dan eksternal yang sangat berpotensi mendorong keberadaan HTI di Indonesia. .
Pada situasi internal, kita dihadapkan pada situasi kebangkitan populisme di Indonesia yang turut ditandai dengan adanya kebangkitan radikalisme Islam, yang mendorong sentimen anti-China dan nasionalisme ekonomi. Gerakan ini dipimpin oleh kelompok Islam radikal yang semakin tumbuh kuat di Indonesia. Walaupun mereka telah gagal untuk mendominasi politik utama, namun para populis Islam berada di posisi yang bagus dalam mengambil keuntungan sosial, politik, dan ekonomi, untuk meningkatkan pergerakan mereka, terutama mengingat ketimpangan antara etnisitas masih sangat tinggi, dan Muslim di Indonesia masih terus merasa terpinggirkan di negara di mana mereka adalah kelompok mayoritas.
Isu-isu ketimpangan dan kesenjangan tersebut terus diproduksi dan dipropagandakan sembari menawarkan konsepsi formalisme syariat Islam sebagai solusi. Terbukti gerakan Islam Radikal ini banyak masuk dan diterima di organisasi-organisasi Muslim, partai-partai politik, serta universitas. Penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2011 di lima universitas ternama seperti UGM, UI, IPB, UNAIR dan UNDIP menunjukkan peningkatan pemahaman konservatif atau fundamentalisme keagamaan khususnya di kalangan mahasiswa di kampus-kampus umum.
Selain itu, Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo –yang juga guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal. Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84, 8% siswa dan 76, 2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52, 3% siswa dan 14, 2% membenarkan serangan bom.
Survei Alvara Research Center juga menemukan ada sebagian milenial atau generasi kelahiran akhir 1980-an dan awal 1990-an, setuju pada konsep khilafah sebagai bentuk negara. Survei yang dilakukan terhadap 4. 200 milenial yang terdiri dari 1. 800 mahasiswa dan 2. 400 pelajar SMA di Indonesia menghasilkan mayoritas milenial memang memilih Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara. Namun ada 17, 8 persen mahasiswa dan 18, 4 persen pelajar yang setuju khilafah sebagai bentuk negara ideal sebuah negara
Data-data di atas mengajak kita untuk lebih membuka mata untuk melihat bahwa di ladang kebangsaan kita telah terjadi proses transformasi idiologi radikalisme yang sudah berjalan lama. Bahwa di tubuh sebagian generasi penerus bangsa kita tersimpan virus khilafah. Kemudian, akan mereka sebarkan secara senyap meski tanpa harus berbaju HTI.
Kondisi ketimpangan dan kesenjangan yang membangkitkan gerakan pupulisme di Indonesia akan dimanfaatkan sebagai penggerak laju gagasan Khilfah sebagai solusi. Jiwa idealisme yang masih tinggi berada di generasi muda/millenial menjadi titik untuk mempertemukan isu ketimpangan dan idiologi khilafah sebagai pembebasan. Potensi membesarnya penerimaan Khilafah di generasi muda/millenial inilah yang patut kita waspadai secara ketat.
Sementara di situasi eksternal, Mantan Panglima TNIJenderal TNI Gatot Nurmantyo pernah mengatakan bahwa di skala Internasional sedang terjadi konflik antar negara di seluruh dunia yang sejatinya dilatarbelakangi oleh perebutan energi dan pangan. Indonesia yang selama ini dikenal dengan kekayaan sumber daya alamnya bisa menjadi sasaran selanjutnya.
Terkait dengan itu, menarik untuk menelisik lontaranKH As’ad Said Ali, Wakil Ketua PBNU periode 2010-2015, terkait Hizbut Tahrir yang mempunyai izin dan dibiarkan berkembang dengan baik hanya di Amerika dan Inggris. Padahal di banyak negara HTI dianggap ancaman dan dilarang keberadaannya. Sebagai tokoh yang pernah bekerja di dunia intelejen, tentu analisanya tidak bisa disepelekan. Kecurigaannya terhadap keberadaan HTI di dua negara besar tersebut memang disengaja untuk menjadi corong negara-negara Barat yang bertujuan mengobok-obok negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam layak dicermati. Dan tujuannya untuk merebut kekuasaan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Memang, untuk Indonesia, dampak negatif dari keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) belum terasa. Namun, jika mau mencermati keterlibatan mereka di negara lain, seperti Libya maupun Suriah, tentu kita bakal berpikir dua kali. Dalam kasus Libya, misalnya, diawal-awal revolusi negeri ini, HT membangun persepsi bahwa Moammar Qaddafy adalah antek Barat, Inggris. Akibatnya, pecah revolusi Libya yang telah meluluhlantakan seluruh sistem infrastruktur negara itu, menewaskan ribuan warga negara, serta mengakibatkan terpecah-belahnya wilayah Libya.
Situasi chaos semacam itu ternyata kemudian hanya menjadi “karpet merah” bagi Barat untuk menguasai sumber daya alam Libya. Sebab beberapa hari berselang setelah tumbangnya Moammar Qaddafy, ENI perusahaan minyak asal Itali mulai beroperasi. Mereka memompa dengan awal produksi 31. 000 barel per hari. Sedangkan TOTAL, perusahaan minyak asal Perancis memulai produksi di fasilitas produksi lepas pantai Al-Jurf memulai dengan kapasitas produksi 40. 000 barel per hari.
Ironisnya, pasca tumbangnya rezim berkuasa dan porak-porandanya Libya akibat perang saudara, kelompok radikalis yang sempat bermimpi menegakkan daulah Islamiyah dengan sistem khilafah, tidak kelihatan batang hidungnya. Sementara saudara-saudara mereka, baik yang seiman atau tak seiman, kalau tidak tewas akibat perang, mereka kehilangan sanak saudaranya, atau mengungsi ke negara-negara Eropa, negeri Barat yang non-muslim. Alih-alih meraih kemakmuran/kesejahteraan, yang rakyat Libya temukan saat ini adalah kesengsaraan dan kemiskinan jika tidak menjadi warga kelas dua wilayah pengungsian.
Apa yang terjadi di Lybia dan di sejumlah negara timur tengah tersebut bisa jadi di replikasi di Indonesia. Untuk itulah, penting kiranya bagi kita semua, segenap elemen kebangsaan untuk menetapkan kewaspadaan pasca dibubarkannya HTI. Apalagi perkembangan situasi internal dan ekternal kekinian seperti yang dibahas di atas sangat mendukung untuk muncul dan dimunculkannya kembali HTI, untuk bangkit dan dibangkitkannya kembali HTI, untuk hadir dan menghadirkankembali HTI. Baik dalam memakai baju lama mapun baju baru. Baik untuk tujuan agenda penegakan Khilfah maupun agenda melapangkan jalan infiltrasi negara luar dalam perebutan kekuasaan dan penguasaan sumber daya alam Indonesia.
Sebagai penutup tulisan, ijinkan penulis berpesan satu kalimat yakni “Tetaplah terus waspada terhadap gerakan idiologi HTI demi NKRI!”
Penulis adalah Ketua Lakpesdam PCNU Sampang
Sumber : NU Online