Melacak Akar Intoleransi di Jawa Barat
Tulisan Dede Mariana, “Masyarakat Jawa Barat Intoleran, Apa Sebabnya ?” di Harian Umum Pikiran Rakyat (11/01/2011) menarik dicermati jauh. Tulisan yang sepenuhnya berangkat dari temuan Moderate Muslim Society (MMS) ini menunjukkan Jawa Barat berada di ranking tertinggi dalam urutan wilayah intoleransi di Indonesia. Kekerasan di Bekasi, Bogor, Garut dan Kuningan dijadikan sampel untuk menyimpulkan hal tersebut.
Temuan MMS bagi saya bukanlah hal baru. Dua tahun lalu juga diungkapkan dalam sebuah penelitian bahwa Jawa Barat menempati urutan teratas dalam hal hasrat kiblat masyarakatnya untuk memasuki penghayatan keberagamaan yang ditengarai masuk dalam tipologi “garis keras”. Bahkan tempo hari, dalam penelitian sebuah ormas keagamaan Jawa Barat, disimpulkan juga bahwa klaim kenabian paling banyak terjadi di wilayah Jawa Barat, walaupun “Nabi”-nya sendiri kebanyakan KTP-nya bukan orang Jawa Barat.
Kalau ditarik jauh ke belakang lagi, geneologi intoleransi yang berkelindaan dengan ideologi kekerasan berjubahkan agama akan kita dapati, dalam gerakan yang sudah tidak asing lagi, DaruI Islam (DI). Walaupun pimpinan DI sendiri bukan asli orang Jawa Barat, namun pengikutnya, diakui atau tidak, arus utamanya datang dari Priangan.
Moderasi Sunda
Kalau mau jujur sesungguhnya intoleransi itu bukanlah watak asli masyarakat Jawa Barat, bukan tabeat orang Sunda. Hanya cangkokan dari “luar” kebetulan masyarakat Sundanya sekarang banyak yang tercerabut dari akar kulturalnya, sehingga dengan mudah menerima cangkokan itu.
Seandainya membuka falsafah yang ada, kita temukan kearifan lokal yang sangat menjunjung tinggi multikulturalisme, memuliakan tamu dari mana pun datangnya dan apa pun agamanya.
Pada zaman keemasan Sunda masa Prabu Siliwangi, rakyat mendapatkan kebebasan penuh memeluk agama yang diyakininya. Bahkan ketika agama baru (Islam) datang, tidak ada larangan dari Prabu Siliwangi bagi rakyatnya untuk memeluk agama baru tersebut. Dari sekian istrinya sendiri, ada yang memeluk agama Islam, yaitu Nyi Subanglarang. Agama dalam konteks Siliwangi, satu sama lain umatnya silih wangikeun dengan cara menebar kasih sayang dan memunculkan toleransi satu dengan yang lainnya.
Merayakan kebebasan dan toleransi yang luhur, di sisi lain, mesti diimbangi dengan kesediaan pemerintah membangun kehidupan yang berkeadilan. Sebab, tidak tertutup kemungkinan kekerasan dan intoleransi itu adalah reaksi dari rasa frustrasi masyarakat melihat penguasa yang tidak tegas, ekspresi dari hilangnya elan vital kehidupan.
Semangat seperti inilah yang tempo hari disampaikan Prabu Siliwangi; Pun, ampun ka Sang Rumuhun/Seja medar tutungkusan/Carita anu ba-heula/Seja ngelingan manusa/Geus niti wanci mustari/ninggang mangsa keur nyarita/Kiwari keur Uga laju/Nyawalakeun bebeneran/Sing waspada nu keur nyoren hirup/Sabab aya nu rek balitungan/Pek, geura regepkeun/Sangkan hirup panggih jeung huripna.
Sangkan hirup panggih jeung huripna, hanya dapat diwujudkan dengan toleran dan santun. Menurut istilah sekarang, dengan upaya menciptakan birokrasi yang bersih, akuntabel, transparan, dan jauh dari sifat basilat dan korup. Para pemimpin (dahulu raja) harus bisa mendistribusikan kesejahteraan yang merata kepada semua pihak. Adil palamarta menjadi target utama dalam setiap kebijakan yang hendak diambil. “Henteu pantes raja, anu somah sakabehna, lapar bae jeung balangsak” (tidak pantas jadi raja jika rakyatnya susah dan kelaparan) .
Kearifan Sunda itu menunjukkan kesadaran bahwa moderasi dan toleransi merupakan modal dasar untuk membangun tertib sosial tanpa melihat afiliasi kultural, politik, budaya dan keyakinan, di satu sisi. Di sisi lain, sikap ini juga akan membuat sesorang (sebuah suku atau bangsa) dapat bergaul dengan lentur. Dalam penafsiran Hasan Mustapa, sikap moderasi ini menjadi syarat mutlak guna mewujudkan keadaban hidup. Pusakana nyaah ka sasama, jadi rapih pada silih pihapekeun diri, rumasa pada dadasar sabar tawekal (Kuncinya kasih kepada sesama, damai saling menitipkan diri, merasa berpijak pada sikap sabar dan pasrah).
Ungkapan lain Hasan Mustapa juga menyiratkan keniscayaan manusia Sunda untuk mengembangkan sikap moderat dalam segala aspek kehidupan.
Lamun jalma kudu ngagugu kabeh kana kahayang batur
tangtu ripuh anu ngagugu ngeunah anu digugu
Lamun jalma embung ngagugu kana kahayang batur
tangtu ripuh nu hayang digugu
ngeunah nu embung ngagugu
Anu matak rapihna lamun silih gugu
satengah jeung satengah
sakadar henteu matak ripuh salah saurang
Modal Sosial
Dalam kasus Hasan Mustapa, moderasi ini juga telah membentuk pribadinya menjadi sosok manusia Sunda yang tidak terlampau sulit melakukan mobiIisasi vertikal sekaligus menjadi tempat bertanya masyarakat luas. Namun, juga harus dicatat bahwa posisinya sebagai sufi seringkali refleksi pemikirannya tidak dipahami, bahkan tidak sedikit yang disalahpahami sehingga ia mendapat stigma negatif dari ulama tradisional.
Tuduhan itu tidak membuat dirinya kemudian surut. Sebab, sejak awal, dia yakin betul bahwa pada saatnya nanti, pemikirannya akan dikaji banyak orang, dan sebaliknya, pemikiran tradisional yang eksklusif dan jauh dari paradigma moderat akan ditinggalkan karena dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan kehidupan bersama :
Kiwari tacan arusum
Nepi kana pamake kami
Heulaanan kuring mundur deui
Tacan tega ka barudak urang
Basana serab pangilo
Sapedah kula kitu
Matak risi nu sisip budi
Budi daya kula
Geus tepi ka kitu
Dongkap ka masyaaliohna
Kajeun teuing hararemeng galih
Moal matak doraka
Moderasi dan toleransi bagi orang Sunda ternyata tidak berarti seseorang kemudian menjadi bunglon dan selalu cari selamat. Justru, moderasi yang dikembangkan adalah sebuah sikap jalan tengah yang ditancapkan di atas pijakan kokoh: keberpihakan. Bedanya, keberpihakan di sini tidak atas nama kepentingan sesaat, namun di atas landasan prinsip kebenaran, kejujuran, dan nilai-nilai kebaikan bersama lainnya sebanding lurus dengan falsafah kearifan yang hidup di Tatar Sunda: henteu cueut ka nu hideung ulah ponteng ka nu koneng.
Maka, tidaklah aneh bila dari paradigma moderasi ini, kita dengan mudah menemukan sosok Mundinglaya Dikusumah, Hariang Banga, Ciung Wanara, Sunan Ambu, Prabu Siiiwangi, Ratu Galuh, Dayang Sumbi yang bisa ‘berjabat tangan’ dengan kisah tokoh-tokoh historis Muslim khas Timur Tengah tanpa satu sama lain kehilangan identitasnya, minimal dalam literasi Hasan Mustapa.
Merenungkan kembali ajaran keberagamaan yang moderat-toleran seperti nampak dalam filsafat Sunda menjadi urgen di tengah keberagamaan yang intoleran itu. Namun, tidak adil iuga apabila pada yang sama, pemerintah pusat dan pemerintah provinsi justru tidak memiliki langkah sigap dan konsep holistik dalam membungkam setiap potensi intoleransi dan kekerasan, baik yang mengatasnamakan agama maupun “kekerasan politik”, dengan dibiarkannya hukum mewajahkan rupa yang pucat.
Sumber : Buku Sufisme Sunda : Hubungan Islam dalam Masyarakat Sunda (2017) ditulis oleh Dr. Asep Salahudin