Menggagas ‘Home Pesantren’ di Rumah Sendiri
Oleh Muhammad Ishom
Membangun home pesantren (pesantren rumahan) di rumah sendiri kenapa tidak? Anda bisa menjadikan rumah Anda sebagai pesantren bagi anak-anak Anda agar kelak mereka bisa menjadi imam keluarga yang baik. Memang sederhana sekali visi misi home pesantren ini, namun tak perlu dipandang sebelah mata. Banyak home pesantren mampu menghasilkan anak-anak berkualitas dan berguna di masyarakat sesuai profesi atau bidang keahlian masing-masing. Bahkan secara historis banyak pesantren konvensional bermula dari home pesantren.
Di home pesantren, urusan pendidikan formal diserahkan pada sekolah/madrasah yang tak jauh dari rumah. Kekurangannya di bidang ilmu-ilmu agama yang menjadi khas pesantren bisa ditutup dengan meniru kurikulum pesantren konvensional. Kurikulum yang ditiru tidak perlu banyak-banyak dan cukup yang dasar-dasar saja sesuai kebutuhan karena targetnya hanya mengantarkan anak-anak kelak mampu menjadi imam bagi keluarga sendiri dan bukan imam masyarakat. Imam masyarakat itu menjadi garapan pesantren konvensional.
Ngendikane Gus Mus, yang namanya santri itu tidak hanya mereka yang tinggal atau mondok di pesantren-pesantren konvensional, tetapi siapa saja yang akhlaknya seperti santri. Jadi disebut santri atau bukan sebetulnya bukan semata-mata persoalan tempat di mana seorang anak tinggal, tetapi lebih pada persoalan akhlak. Home pesantren memang lebih menekankan pada kesalehan atau akhlak daripada kealiman atau keluasan ilmu agama. Hal ini tentu saja berbeda dengan pesantren konvensional yang memang menekankan pada keduanya.
Jika Anda berminat menjadikan rumah Anda sebagai pesantren bagi anak-anak Anda, tentu saja Anda harus belajar dan sanggup menjadi “kiai” bagi anak-anak sendiri. Demikian pula istri Anda menjadi “nyai” bagi mereka. Ini tidak sulit khususnya bagi pasutri yang dulu pernah nyantri di pesantren konvensional. Para lulusan pesantren konvensional yang tidak tertampung dalam jajaran imam masyarakat karena ketatnya “persaingan” atau akibat sistem sosial budaya yang tidak adil bisa berperan sebagai pencetak imam-imam keluarga di rumah sendiri.
Kaitannya dengan genealogi keilmuan atau sanad ilmu, santri-santri dalam home pesantren tetap memiliki sanad yang jelas melalui orang tua mereka yang bersambung dengan guru-guru mereka di pesantren konvensional hingga sanad itu bersambung kepada Rasulullah SAW.
Inilah salah satu alternatif jawaban ketika banyak pesantren konvensional kini semakin tak terjangkau biayanya bagi kalangan tertentu. Bahkan banyak dari guru-gurunya sendiri tak mampu memondokkan anak-anaknya di pesantren ini kecuali mereka “nekat” mengajukan keringanan biaya.
Sudah begitu, beberapa dari pesantren-pesantren ini di zaman now tak lagi mampu menjadi “bengkel” moral yang handal sebagaimana umumnya pesantren di zaman old. Hal ini bisa dilihat dari jumlah anak dikeluarkan yang relatif tinggi setiap tahunnya, padahal kenakalannya tidak selalu merupakan bawaan dari rumah tetapi bisa karena salah memilih teman di pondok.
Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta