NU dan Tantangan Ulama Muda
Nahdlatul Ulama tidak selalu diidentikkan dengan kumpulan orang-orang tua. Namun, organisasi keagamaan berbasis sosial-kemasyarakatan ini juga mempunyai anggota dan kader-kader muda berkapasitas tinggi, baik dalam bidang ilmu agama, memahami kitab kuning, dan mengadaptasi perkembangan teknologi.
Para generasi muda dan mudi ini mempunyai wadah tersendiri dengan pengkaderan yang jelas di tubuh NU, baik di Gerakan Pemuda Ansor, IPNU, Fatayat, maupun IPPNU. Di level mahasiswa pun, NU memiliki PMII yang konsisten meneguhkan prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) di kampus meskipun fenomena yang ada saat ini, mereka lebih banyak menerjunkan diri pada aktivitas-aktivitas politik organisasi sehingga melupakan khittah pergerakannya.
Para generasi muda NU yang dikader secara mapan tersebut sesungguhnya para penerus kiai atau ulama di tubuh organisasi. Sebab di organisasi yang dideklarasikan pada 1926 di Surabaya ini, para kiai berharap generasi muda tidak hanya mumpuni dalam ilmu agama, tetapi juga mampu memahami kitab-kitab klasik (turats) karya para ulama.
Prinsip ‘alim dan memiliki jiwa organisatoris inilah yang barangkali generasi penerus di tubuh NU layak disebut ulama muda. Meskipun beberapa kiai kerap merasa malu sendiri disebut seorang ulama. Karena sosok ulama yang dijelaskan dalam Al-Qur’an merupakan pewaris para Nabi (al-‘ulama waratsatul anbiya) sehingga bagi sebagian kiai, mereka merasa diri tidak pantas menyandang gelar pewaris para Nabi.
Kendati demikian, para ulama muda NU harus menjadikan prinsip di atas sebagai pelecut dan motivasi untuk meneruskan perjuangan para orang tua di tubuh NU ke depannya. Jelas bagi para kiai yang memahami dinamika organisasi yang dibangun untuk kemaslahatan umat, hal ini merupakan proses berkelanjutan, bukan proses instan. Sehingga para ulama muda dipacu untuk terus berproses agar memahami prinsip ulama yang mempunyai jiwa bangkit.
Harapan ulama yang mempunyai jiwa bangkit ini termaktub di dalam makna Nahdlatul Ulama, yaitu kebangkitan ulama. Dalam proses berdirinya, para ulama sudah memiliki jiwa bangkit, namun belum terorganisir dengan baik sehingga perlu mendirikan jam’iyah, perkumpulan atau organisasi.
Tentang nama Nahdlatul Ulama itu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga punya pendapat. Dalam sejumlah kesempatan ia mengatakan bahwa nama ini diilhami oleh kalimat Syekh Ahmad ibn Muhammad ibn Atha’illah as-Sakandari, pengarang kitab Al-Hikam yang populer di kalangan pesantren itu.
Akar kata Nahdlatul Ulama termuat dalam salah satu aforismenya yang berbunyi: Lâ tashhab man lâ yunhidluka hâluhu wa lâ yadulluka ‘alallâhi maqâluhu (Janganlah engkau jadikan sahabat dari orang yang perilakunya tak membangkitkan dan menunjukkanmu kepada Allah). Menurut Gus Dur, KH Hasyim Asy’ari sering mengutip ungkapan itu. Kata yunhidlu, artinya membangkitkan, dan ulama termasuk orang yang bisa membangkitkan ke arah jalan Allah.
Prinsip kebangkitan ini perlu menjadi pondasi kokoh bagi para ulama muda NU agar organisasi tetap pada marwah dan cita-cita para kiai pendiri dan orang-orang tua yang saat ini sedang memegang tampuk kepemimpinan NU. Menjaga kehormatan (marwah) para kiai sering didengung-dengungkan oleh para generasi muda. Ini menunjukkan bahwa kehormatan organisasi terletak pada karakter ulama yang bersemayam dalam diri para kiai.
Sebab itu, meskipun generasi muda identik dengan karakater bebas, namun jangan melepaskan diri dari karakter-karakter para ulama sehingga marwah organisasi bisa terus terjaga. Bahkan, karakter ulama NU yang telah cukup umur bisa diperkuat dengan progresivitas generasi mudanya. Tentu hal ini saling melengkapi, karena keberadaan ulama juga menjadi dasar atau fundamen bagi pergerakan-pergerakan generasi mudanya. Wallahu’alam bisshowab. (Fathoni Ahmad)
Sumber : NU Online