Para Wali, ‘IKON-nya,’ Bandung itu, ke Cirebon Berkiblat Ajaran Tarekatnya
Tulisan ini mencoba untuk menguak rahasia terbesar, yang sudah di lupakan para keturunan anak wali, aulianya orang Pasundan.
Terkhususnya para keturunan dari para Mama Eyang di Bandung dan sekitarnya.
Hal ini terkait kepewarisan ilmu, ajaran Karuhun, kebenaran pikukuh sejati, kiblat kewilayahan ajaran, atau pusat tarekatnya.
Dimana kiblat pusat tarekat, yang di pakai para Karuhun kita, khususnya dalam menaiki tangga jenjang kewalian, yang bisa mereka peroleh, sudah sangat jelas dan terang benderang sesungguhnya dalam hal berthoriqah.
Dan pada akhirnya, karena salah berkiblat, berthoriqah yang salah, atau mengambil Thoriqah asing, tidak mengambil pusat ke arah Kiblat ketarekatan seperti para karuhunnya ke Cirebon.
Lantas hasilnya apa yang terjadi…?
Seperti apa yang penulis lihat, para anak cucu, cicit dari para aulia yang ada di Bandung itu, usaha mereka untuk mencapai maqom Kewalian, ingin seperti karuhun mereka, kini seakan sulit digapai oleh para keturunannya.
Hingga yang ada…
Seperti yang penulis banyak saksikan…
Mereka anak turunannya, hanya bisa menjadi pendongeng, hanya cuma bisa menceritakan ke istimewaan kakek buyutnya, bahwa karuhun, moyang mereka dahulu, punya karomah ini dan itu, yang nyatanya, dia, anak turunannya, tidak bisa mencapai maqom mulia seperti kakek moyangnya tersebut.
Bahkan mirisnya lagi…
Ini penulis saksikan sendiri, suatu hal yang nyata dan kongkrit, dimana anak turunan para tokoh mulia, aulianya Bandung, mereka seakan tidak mau berberat-berat jadi santri, mau mesantren, atau belajar memdalam ilmu agama hingga mumpuni, sehingga kedepan minimalnya, mereka bisa jadi ustad, atau bagus-bagusnya bisa jadi kiai nantinya.
Yang terjadi, dan penulis juga merasa miris, anak seketurunan aulia itu, malah mau-mau nya menjadi penjaga pintu makam karuhunnya, mengharap shodaqoh dari pengunjung, padahal bukan itu yang di mau oleh kakek moyang para karuhunnya.
Doa mereka terus melangit saat masih hidup, menginginkan anak putunya bisa jadi penerus penegak syiar agama.
Yaa, sungguh, mereka para kakek moyang kita, sangat berharap anak incunya jadi manusia bermanfaat, bukan memanfaatkan para penziarah yang sudah datang dari jauh-jauh mendoakan kakek moyangnya, dan hanya berharap para penziarah mengisi keropak amalnya.
Mengapa Demikian ?
Sejauh pengamatan penulis…
Mengapa fenomena ini terjadi ?
Hingga bahkan mereka para keturunan Aulia ini, akhirnya kembali menjadi manusia biasa, jauh dari kefahaman pada ilmu agama, tidak menjadi ahli ilmu, yang ada malah ahli menunggu sedekah para penziarah.
Yaa, itu bisa jadi karena faktor kurangnya semangat, kurangnya faktor kesadaran, tidak adanya visi masa depan, dan tidak adanya kemauan yang besar untuk mau,” merih,” terlebih dahulu.
Jadi persisnya, jika didunia persepakbolaan, mereka keturunan para Wali ini, sudah terdegradasi dari divisi utama turun kelas kedivisi paling bawah.
Yang pada akhirnya, mereka malah rela menjadi Muhibbin-muhibbin, para kiai atau habaib.
Dan itu terjadi, karena mereka tidak mengenali lagi potensi dirinya, dan potensi karuhunnya yang sudah seharusnya menjadi contoh serta acuan segenap anak turunannya.
Mengapa bisa seperti itu ?
Ya, itu karena sudah terlampau menjauh dari amanah kepewarisan ilmu, hingga akhirnya, kapoekan, atau kegelapan, tidak bisa melihat, sebab ia tidak teguh memegang amanah pewarisan ilmu para karuhunnya.
Mengapa ?
Mereka para keturunannya, kini telah meninggalkan warisan ke arifan lokal, dan warisan kiblat ajaran moyangnya…yang berkiblat ilmu Thariqah nya ke Cirebon, ke eyangnya Sunan Gunung Djati, ke ajaran Prabu Siliwangi, “silih asah, asuh silih wangikeun” dan ajaran buyutnya Nyi Mas Subang Larang, seperti apa yang di ajarkan Syeh Quro, dan syeh Datul Kahfi.
Yaa, para karuhun dari mulai mama eyang Mahmud, mama Eyang Cibaduyut, yang juga di ikuti oleh murid-muridnya, santri-santrinya yang melanjutkan arah kiblat ajarannya ke Cirebon, ke Sunan Gunung Djati, mereka terwarisi keberkahan.
Hasilnya para santri itu bisa mengapai maqom kewalian, jadi penerus para Aulia (Wali) dan akhirnya, mampu menjadi paku bumi di seluruh daerah yang mereka tinggali.
Eyang Mahmud selalu mengajak anak dan para santrinya untuk mengingat ke istimewaan Cirebon, mengingat keberkahan nyata dari Cirebon, hingga ada kecap, atau ada kata,” Hayu Urang ka Keraton Cirebon, ka Sunan Gunung Djati !”
Dan ketika ajakan itu di turuti para anak, Incu dan santrinya, ternyata mereka di ajak ke maqbaroh eyang Adipati Kertamanah di Cikabuyutan, Pasirjambu, Kabupaten Bandung
Lho ko bukan ke Cirebon langsung, ke Makamnya Sunan Gunung Djatinya yaa ?
Itulah PR untuk anak cucu, seluruh keturunan para wali aulia pasundan, yang hidup di tatar sunda saat ini, khususnya yang ada di daerah wewengkon Bandung, Purwakarta, Cianjur, Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya.
Yang jika itu diterjemahkan ,PR dari karuhun ini, bisa jadi berarti, …
“hei anak incu Putu kaula, yeh…perjalanan bersuluk, bertharekat, ngalakuken ihtiar bathin, spiritual teh, nya kudu apal berkiblatna, kiblat maraneh teh kudu ka eyang maneh, anu di Cirebon, nyaeta ka eyang Sunan Gunung Djati, lain ka anu sejen.”
“Yeh tempo ku araranjen, kakara sampe ka eyang Adipati Kertamanah bae, barokah kawalian ges silaing benangkeun, komo dei mun bener bisa sampe ka Cirebon mah !”
Atau terjemahannya, ” hei anak cucu, cicit ku, nih..perjalanan bersuluk, bertarekat, melakuka ikhtiar bathin, spiritual itu harus hafal berkiblatnya, kiblat kalian itu harus ke eyang Sunan Gunung Djati, bukan me yang lain.”
“Coba lihat oleh kalian, baru sampe ke eyang Adipati Kertamanah saja, barokah ke walian sudah kalian dapatkan, apalagi kalo benar bisa sampai ke Cirebon.”
Yaa, bisa jadi itu pesan yang kita artikan dan jabarkan secara harfiah, itulah maksud sebenarnya yang ingin diungkapkan…kiblat berthoriqahnya harus ke Cirebon.
Dalam hal ini, para keturunan wali yang sekarang ada itu, memiliki keterbatasan dalam hal membaca petanda, sign sytem karuhunnya.
Hingga yang terjadi akhirnya, petanda tersebut atau pesannya tak bisa di baca, hingga hilanglah jejak, hilanglah arah, tidak ada kompas lagi buat para anak turunannya.
PR itu menjadi pesan yang disamarkan, bahasa kiasan, penuh metafora, hal ini agar, itu hanya bisa di tangkap oleh anak turunannya yang cerdas, yang memiliki genetika unggul, bisa menangkap pesan.
Dan cucu atau cicitnya terssbut yang dapat membaca petanda, adalah seorang yang benar-benar faham, dan tidak sembarangan kualitas keturunannya.
Sebab hal ini merupakan isyarat, tidak semua anak turunan itu mewarisi semangat karuhunnya, yang siap digodjlok, dengan tempaan Qonaah, kesabaran, dan mau berperih-perih di awal perjalanan kesufiannya.
Yaa.. hanya anak turunan yang cerdaslah yang bisa menangkap pesan tersembunyinya itu, dan dia siap merih, berperih diri, dengan menjauhi popularitas dadakan, sambil mengandalkan nasab, yang sekarang banyak di pakai untuk mempengaruhi umat.
Padahal mereka yang yang seperti itu, bak tong kosong nyaring bunyinya, tidak ada manfaat keilmuan yang berarti buat umat.
Dan ingat, yang seperti itu, ia hanya sampai pada maqom pendongeng profesional, tidak secuilpun ia bisa sampai pada maqom kewalian.
Dan posisinya Ia hanya sampai pada Maqom menjadi Kiai Pendongeng….
Kiai penghibur yang mampu memukau umat, dengan dongeng karuhunnya yang bisa terbang, konon bisa menghidupkan orang mati, bahkan bisa memadamkan api neraka, dan bisa membuat malaikat pencatat amal soleh dan keburukan sampai bisa beristirahat.
Waaaddduuuh…
Masyaallah, Nauzubillahi Mindzalik, kebodohan teramat sangat, dan bualannya itu semua sangat khurafat, Nol besar ilmunya, maka jika ada kiai atau ustad, bahkan Habib seperti itu, ia telah jadi penipu, menjual kebodohan, yang bermaksud membodohi umat.
Waadduuuh ko bisa begitu yaa…
PR yang kitabdapat dari moyang kita, ternyata ini sungguh sangat luarbiasa, para karuhun membuat peta jalan rahasia, yang cuma bisa di baca oleh keturunannya yang cerdas.
Sebab jika tak cerdas, tidak awas, dan bolohok,(Bodoh).
Para anak keturunannya bisa menganggap pewarisan ke ilmuan dari kakek moyang, karuhunnya itu kuno.
Ia beranggapan warisan ilmu karuhunnya ketinggalan jaman, hingga mereka berkiblat ke kiblat yang baru.
Dan lantas meninggalkan peta yang sudah pasti, yang telah dibuat oleh karuhunnya.
Dan kesembronoan itu, dengan mengambil peta jalan yang baru mereka kenali, jalan tarekat asing, bukan dari tarekat karuhunnya yang dari Cirebon…
Awalnya terasa memuaskan.
Mereka percaya diri mengambil tarekat asing itu.
Hingga mereka merasa beruntung dan mau mengambil jalan melingkar-lingkar, berputar-putar, yang bagi mereka anak turunan aulia itu, ini seperti jalan yang asik, seperti jalan mulus yang enak di lalui.
Karena hanya menjalankan ritual ringan yang enteng, jauh dari apa yang sudah dijalankan para aulia jawa, seperti sunan kalijaga, yang bertapa di pingir sungai, sampai ia berlumut dan sulit dikata itu manusia.
Yaa mau enak,
Tak mau meurih…
Itu menyebabkan anak turunanya yang ia cintai, terjebak, dan mereka hanya bisa berharap, bisa seperti karuhunnya memiliki karomah dan Allah mempercayainya jadi wali.
Sungguh, cara enteng, tak mengambil pewarisan ajaran buyutnya itu, yang jadi penyebab ia tak pernah akan sampai ke tujuannya, untuk bisa menjadi wali.
Ia tak akan pernah mencium kewalian, karena ia sendiri, tak mau menapaki jalan kewalian seperti jalan-jalan yang dilalui para kakek moyangnya, yang sudah membukakan jalan bagi turunannya.
Beda jalan, beda tujuan !
Para turunan yang sudah berbeda jalan, tak lagi menempuh jejak langkah karuhunnya dalam menapaki tangga kewalian, yang sebetulnya telah jelas, dan telah terang benderang, seterang cahaya matahari, karena saking silaunya, menyebabkan mereka buta hingga terperosok jatuh saking tidak taunya cara melihat kebenaran.
Semesta menjawab bahwa ajaran karuhun kita, untuk bisa mencapai maqom kewalian itu sudah jelas, hanya dengan berjuhud, menjaga ketawadhuan hatinya untuk terkait pada Allah, dengan cara ekstrim mereka mau berujlah, pergi dari sebuah keramaian ke tempat yang aman bagi hatinya.
Yaa, Itu di buat, agar bisa mengapai maqom ke Wali an, yang memerlukan perjuangan rasa dan raga, hingga harus merasakan bagaimana perih dan getirnya tempaan untuk membuat hati selalu bersama illahi.
Ingat !
Para Karuhun aulia Bandung mereka merupakan,” IKON-nya,” Bandung dan sekitarnya, seperti nama besar Mama Eyang Mahmud, dan Mama eyang Cibaduyut.
Jangan salah berkiblat !
Jangan juga salah mengambil sahabat.
Karena jalan pewarisan karuhun kita sudah jelas, untuk bisa menjadikan kita mulia, hingga bisa mengantar kita, untuk sampai pada jenjang maqom kewalian sejati, yang mulia seperti para karuhun bapak kakek moyang kita.
Bukan sampai jadi seorang pendongeng, yang menceritakan hebatnya karuhun.
Maka ingat, jangan ambil jalan baru, “omat, omat !”
Hingga kamu, kalian, wahai para anak cucu Aulia Ikon Bandung, jangan sampai tega, kalian meninggalkan ajaran Cirebon, meninggalkan ajaran sunan Gunung Djati, yang merupakan arah kiblat thareqatmu yang asli.
Hayyu balik deui, hayu geura inget ka karuhun!
(Mari pulang lagi, mari segera ingat moyang kita)
Inget ka ajaran nana, jeng ka ajakan nana, “Hayu Urang ka Keraton Cirebon, ka Sunan Gunung Djati !”
Ingat pada ajarannya, ingat juga pada ajakannya,” Mari ke Keraton Cirebon, ke Sunan Gunung Djati.”
Alhamdulillah
Semoga bermanfaat
Bambang Melga
Penulis Nakal
Ketua LTN NU Kab. Bandung.