Perihal Pembatalan Pemberangkatan Ibadah Haji RI

Pemerintah, saat membuat keputusan tentang Pembatalan Pemberangkatan Ibadah Haji, sudah barang tentu merupakan hasil kajian dari berbagai aspek. Intinya kebijakan tersebut sebagai konsekuensi dari menjaga kemaslahatan bagi masyarakat secara umum.
Kaidah fikih telah memberi rambu-rambu bagi pemerintah ketika membuat sebuah keputusan, tahsarruf al-imam manuth bil maslahah, bahwa kebijakan pemerintah senantiasa harus mengikuti prinsif kamaslahatan.Koridor utamanya adalah langkah yg diambil ketika dihadapkan pada kasus yang mengandung potensi kerusakan dalam sebuah kebaikan, maka menolak potensi kerusakan harus didahulukan dari pada meraih kebaikan, dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalb al mashalih.
Bukan kali ini saja, dulu, tahun 1947, Menteri Agama saat itu, Prof. KH. Fathurrahman Kafrawi, mengeluarkan Maklumat No. 4 Tahun 1947 yang menegaskan penghentian pemberangkatan jemaah haji selama kondisi masih genting. Hal tersebut berangkat dari fatwa yg dikeluarkan oleh Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari yang memfatwakan bahwa pergi haji saat kondisi genting dihukumi tidak wajib.
Dan kalau membaca kutipan dalam tafsir Al-Jami’ al-Ahkam, karya Imam Al-Qurthubiy, bahwa Sahal al-Tustariy, gurunya al-Halaj, berkata bahwa rakyat harus taat kepada pemimpinnya dalam 7 hal, yaitu: kebijakan keuangan, timbangan, hukuman, ibadah haji, jumatan, hari raya Ied, dan seruan perang.
Maka kita selaku rakyat harus mengapresiasi keputusan pemerintah tersebut, meski memang terasa menyesakkan.Ingat pula, dalam kitab kuning, tidak sedikit diceritakan kisah tentang ibadah haji yg diterima malah dari orang-orang yang tidak jadi berangkat karena biayanya malah disedekahkan bagi orang yg jauh lebih membutuhkan.
Satu lagi, bagi seseorang yang seandainya bisa dikembalikan ke dunia saat dirinya telah mati, ternyata pertama yg dia ingin lakukan adalah bersedekah, bukan yang lain. Intinya bahwa, masih banyak jalan lain utk beribadah menyembah Allah, bukan sekedar ibadah haji, yang memang dibatasi hanya wajib bagi yang mampu (istitha’ah) saja, dan salah satu unsur mampu itu adalah aman saat berangkat, saat beribadah, juga saat kembali.
Itu saja, semoga kita semua dapat berlapang dada, dan senantiasa dalam curahan kasih sayang Allah SWT… Aamiin
Reff:
Tafsir al-Qurtubi, VI/429.
Menteri-menteri Agama RI (Biografi Sosial-Politik), 49.