The news is by your side.

Perjalanan Kang Bambang Melga ke Pesantren Buntet Cirebon

Penulis bersama Kiai Hasan Kriyani, dan Kiai Lutfi
Penulis bersama Kiai Hasan Kriyani, dan Kiai Lutfi

Jum’at siang 24/03/2023, bada sholat Jum’at di masjid Guntur tengah perumnas Cirebon, Penulis langsung menuju Pesantren Buntet, yang sangat tersohor itu.

Dari Perumnas Cirebon, daerah dimana tempat kang Bambang Melga dibesarkan ini, menuju ke pesantren Buntet Cirebon hanya berkendara sekitar 20 menit saja, itu pun andai tak salah jalan terlebih dulu.

Menyusuri jalan Pantura yang panas, berkejaran dengan banyak kendaraan yang memacu kendaraannya dengan cepat, memerlukan kehati-hatian, dan harus ekstra konsentrasi, agar selamat sampai tujuan, sampai akhirnya, berhasil juga penulis tiba di Pesantren Buntet Cirebon.

Pesantren Buntet, tempat yang sekarang ini, pesantrennya berada di posisi ada di antara dua Desa: + 80% Pesantren ini menjadi wilayah administratif Desa Mertapada Kulon, dan sisanya bagian Barat milik Desa Munjul.

Pesantren ini sendiri bukanlah nama Desa, melainkan hanya tempat/padepokan santri, ada sekitar 70 pondokan saat ini, dan semua pondokan itu terikat oleh satu yayasan YLPI, yang menaungi semua pondok yang ada.

Sambil menanti kabar dari teh Ika, seorang yang menjadi pemandu informasi bagi penulis, untuk menghubungi siapa di Pesantren Buntet yang akan dijadikan Narasumber, penulis sengaja bercengkrama dulu dengan para santri yang baru masuk satu tahun kemarin ke Pesantren Buntet ini.

Penulis bersama santri Buntet
Penulis bersama santri Buntet

Canda dan tawa pun mewarnai obrolan dengan para santri baru ini, sambil sesekali menggoda mereka, bahwa mereka menjadi santri bukan sebab sedang di hukum orangtuanya, dijauhkan dari mereka, namun, mereka sedang disiapkan masa depannya, untuk bisa sukses nanti di akheratnya.

” lha kok, mang… sukses cuma di akherat, lalu di dunianya bagaimana?” Tanya satu santri yang paling kocak yang ditemui penulis saat itu.

Dan Jawab penulis,” untuk sukses di dunianya… insyaallah harus ada ikhtiarnya dulu nantinya, karena jika ilmunya sudah punya, dunia akan mudah di dapatkan.” Begitulah pesan penulis pada para santri yang ikut mengerubungi penulis saat itu.

Sampai akhirnya, ada pesan dari teh Ika, bahwa penulis harus bertemu dengan Kang Darda Ketua Sekretariat Pesantren Buntet, karena dari beliaulah, nantinya yang akan memberi informasi terkait apa yang di butuhkan oleh penulis.

Penulis bersama Kang Darda
Penulis bersama Kang Darda

Ya, Pesantren Buntet adalah pesantren tua di wilayah Cirebon dan sekitarnya, diperkirakan Pesantren ini dirintis dan berdiri, pada tahun 1770, setelahnya Mbah Muqoyyim meninggalkan Jabatannya sebagai Mufti atau penghulu dibidang keagamaan yang berwenang mengambil fatwa dan ijtihad dalam bidang keagamaan.

Dari sini tentunya kita faham, Mbah Muqoyyim dengan jabatan sebagai Mufti, tentunya ia adalah seorang yang luas ilmunya, menguasai ilmu ushul fikih, fikih dan syariat Islam serta memiliki sifat yang mulia, berkarakter kuat, wibawa, seorang yang terhormat, dan sehat secara lahir bathin, dan linuih pandangan kebatinannya, sehingga ia berhak mengenalkan dan menerapkan syariat Islam pada umat disaat itu.

Pesantren Buntet Cirebon tidak sehebat seperti sekarang jika kita ingat perjalanan perintisannya di masa lalu, Mbah Muqoyyim harus uzlah, pergi mengasingkan diri, menjauh dari hingar bingar Keraton di mana ia mengabdikan dirinya di sana, di Keraton Kanoman.

Pada akhirnya dipertengahan abad 17 tepatnya tahun 1770 ia memilih meninggalkan Keraton Kanoman menuju ke arah timur selatan Cirebon (A. Zaini Hasan, 2014: 19)

Lantas, ia pun kemudian mendirikan Pesantren Buntet yang berjarak 12 kilometer dari Keraton. Kiai Muqoyyim pun mulai mendirikan pemondokan sederhana, didampingi beberapa santri yang mengikutinya. Tentunya daerah Buntet masa itu, adalah daerah hutan belukar, dan jauh dari mana-mana.

Jika melihat pergolakan politik di Cirebon pada tahun 1788-1808, bisa dikatakan zaman itu, ada semangat peralihan Medan dakwah, yang semula dilakukan dari keraton, beralih akhirnya dari pesantren-pesantren yang di miliki para Kiai sahabat Mbah Muqoyyim ini.

Ini khususnya terjadi, setelah keraton-keraton di Cirebon, berhasil disetir, dan didominasi Belanda, sehingga marwah keraton di mata masyarakat, dianggap tidak mampu lagi mengemban amanah rakyatnya, maka pada saat itulah pesantren yang akhirnya menjadi tumpuan harapan masyarakat, dan pesantren mengambil alih peran tersebut.

Maka pantas pihak pesantren, baik yang ada di Babakan Ciwaringin yang di dirikan Ki Jatira, maupun Mbah Muqoyyim di Buntet, menjadi sasaran kemarahan Belanda, karena mereka melakukan perlawanan terhadap penjajah yang dipelopori oleh para kiai-kiai pesantrennya.

Pergerakan keagamaan Mbah Kiai Muqoyyim yang militan, membuat Belanda mencurigainya, hingga sampai dua kali Belanda menyerang pemukiman Mbah Kiai Muqoyyim, dan pesantrennya, sehingga ia pun harus menghindar sampai ke Pemalang Jawa tengah.

Dan itu baru reda, setelah wilayah Cirebon di serang wabah penyakit yang mematikan, sehingga Belanda dan Keraton memerlukan Mbah Muqoyyim untuk membantu mengatasi itu semua, hingga kedatangan Mbah Muqoyyim pun bisa meredakan wabah penyakit, dan Belanda pun akhirnya mengakui keberadaan Mbah Muqoyyim yang merupakan Rahmat untuk semuanya.

Apa tarekatnya Mbah Muqoyyim ?
Mbah Muqoyyim seperti yang terdapat dalam beberapa naskah yang mencatatkannya, bahwa ia pernah belajar tarekat kepada Syekh Muhyi Pamijahan tetapi ia tidak menyebarkannya secara terbuka. Hal ini memungkinkan silsilah tarekat Syatariyah yang ada di pesantren Buntet memiliki jalur yang sama seperti di Keraton Kanoman (Mahrus Elmawa, 2015: 6). Adapun tarekat lainnya adalah tarekat Tijaniah.

Silsilah Tarekat Syatariyah Mbah Muqayyim bisa ditemukan dalam naskah Kiai Mas Arifin di Tuk, (Talun-Sumber). Ia menerima ijazah tarekat Syatariyah ketika tinggal di Talun, Sumber, daerah sekitar kabupaten Cirebon, kemudian ia berikan kepada Kiai Mas Arifin. Dalam naskah tersebut tersusun silsilah tarekat Syatariyah Mbah
Muqayyim sebagai berikut :
Silsilah Tarekat Syatariyah Mbah Muqayyim
Rasulullah SAW /Ali kang putra Abi Thalib ra. /Husain al-Syahid Zain al-Abidin / Muhammad Baqir / Ja’far al-Sidiq / Sultan Arifin Abi Yazid al-Bustami / Syaikh Muhammad Magrib Abu Mudlfar Maulana Rumi Tusai / Abi Hasani al-Harqani Huda Aqli Mawar al-Nahari Sayyid Muhammad / Asyiq Syaikh Abd Allah al Syatari / Hidayatu Sarmasani / Syaikh Haji Husuri / Syaikh Muhammad Gaus kang putra Hatir al-Din Sayyid Wajh al-Dini kang putra bangsa Uluwiri Sigat Allah kang putra Sayyid Rauh Allah Sayidina Abi Mawahib Abd Allah Ahmad kang putra Ali kang bangsa Abbas ing Syanawi negarane Syaikh Ahmad kang putra Muhammad ing Madinah negarane
kang masyhur kelawan Syaikh Ahmad ing Qusasi / Syaikh Abd al-Ra‟uf kang putra Ali kang bangsa Syaih Fansuri ing Singkil negarane. Syaikh Haji al-Muhyi ing Karang negarane ing Safarwadi Pedukuhane Kiyahi
Pengulu ing Batang negarane kiyahi Talabuddin arane Kiyahi Muqayyim ing Syarbon negarane ing Sampiran Pedukuhane Kiyahi Mas Arifin Syirbon negarane Atuk Pedukuhane / Kiyahi Haji Syarqawi Majalengka negarane Babakan Pedukuhane. Kiyahi Bulqiyah Syirbon negarane Sidapurna Pedukuhane.
(Sumber Yoyon, 67/68)

Apa amalan yang sering dilakukan Mbah Muqoyyim ini ?
Amalan yang sering di amalkan Mbah Muqoyyim hingga dilanjutkan oleh anak cucu juga para santri dari pesantren Buntet ini, adalah mengamalkan Dzikiran, Sholawatan, pembacaan kitab-kitab, santunan atau sedekahan, dan hal-hal lainnya yang di anjurkan oleh agama.

Di bawah ini adalah nama pendiri dan penerus kepemimpinan
Pondok Pesantren Buntet, adalah sebagai berikut:
1. Kiai Haji Muqoyyim bin Abdul Hadi (Pendiri Pondok Pesantren Buntet)
2. KH. Muta‟ad (Periode pertama setelah wafatnya Mbah Muqoyyim 1785–1852)
3. KH. Abdul Jamil (1842–1919)
4. KH. Abbas (1879–1946)
5. KH. Mustahdi Abbas (1913–1975)
6. KH. Mustamid Abbas (1975–1988)
7. KH. Abdullah Abbas (1988– 2007)
8. KH. Nahduddin Abbas (2007- hingga sekarang)

Dari seluruh keturunan Kiai Muqoyyim Buntet ini, Kiai Abbas Buntetlah yang paling fenomenal dan di catat dalam tinta emas perjuangan umat Muslim Indonesia, itu karena, ia lah yang ikut mengkomando’i pergerakan santri melawan agresi militer Belanda pada 10 November 1945.

Khyai Abbas membawa pasukan khusus dari kalangan ulama dan santri dari wilayah Cirebon, diantaranya Mbah Kiai Amin Sepuh dari Babakan Ciwaringin yang ikut menyertainya, juga adik-adik beliaunya, sehingga bersama Khyai Hasyim Asy’ari para santri akhirnya berhasil membuktikan kecintaannya pada tanah air, hubbul Wathon minal iman, pada proses selanjutnya, pertempuran 10 November ini, adalah Klimak dari ada gelora resolusi Jihadnya Mbah Hasyim Asy’ari, yang di fatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, yang akhirnya dijadikan cikal bakal dari lahirnya hari santri Nasional.

Mbah Muqoyyim ahirnya di panggil Allah Swt. Beliaunya dimakamkan disalah satu tempat petilasannya, yaitu di desa Tuk di daerah Sindanglaut, Kabupaten Cirebon.

Dan makamnya ini berdekatan dengan makam kiai Ardi Sela teman seperjuangannya. Mbah Muqoyyim meninggalkan Pondok Buntet pesantren untuk selamanya.

Beliau telah menanamkan semangat perjuangannya kepada putra-putranya, dan sekaligus kepada para santrinya semua, untuk terus menerus bersemangat memperjuangkan Islam, menjaga Pondok Pesantren nya, dan menyebarkan semangat syiar Islam pada para santrinya, untuk membangun pondok pesantren diseluruh pelosok negeri ini, Alhamdulillah.

Pewarta Bambang Melga Suprayogi M.Sn

Leave A Reply

Your email address will not be published.