Pilihlah Karakter Kita yang Terbaik
Hidup pada hakekatnya adalah sebuah perjalanan, sepanjang usia, dimana kita sebagai pelakonnya, dipersilahkan untuk mengambil peran, karakter, dan faham apa yang melandasi pemikiran-pemikiran kita, untuk menjadi penguat prinsip kita, dalam kiprah kita sendiri mewarnai kehidupan yang kita jalani.
Maka hadirlah beragam peran, yang kesemuanya hadir berdasarkan pijakan-pijakan yang kita pilih sendiri skenario diri ini, tampa tersadar, kita masuk dalam perangkap-perangkap yang membuat kita berkubang pada jebakan-jebakan semu, yang dianggap sebagai suatu kebenaran.
Maka hadirlah karakter, “antagonis,” yang merasa ia sudah benar memerankannya.
Malah semakin membatu tak mau mendengar si tokoh antagonis ini, sebab ia merasa, ialah kebenaran itu sendiri.
Sehingga perwatakannya, jauh dari mau mendengar, jauh dari kebenaran.
Di tambah ia selalu ingin menang, ingin populer, apapun caranya, semua orang ia rasa, ada di bawah level dirinya, dan mereka buatnya, tak berarti apa-apa, dan dia lah yang terkuat yang tak bisa dikalahkan.
Manusia seperti ini, jika ia menjadi pemimpin, ia akan memperlihatkan egosentrisnya, berani mengorbankan orang lain, berani menunjukan kekakuannya, dan sikap dinginnya, padahal sebelumnya ia adalah bukan siapa-siapa, hanya karena Allah ingin mengujinya lah, akhirnya Allah beri ia nasib baik, yang sebetulnya itu ujian yang tiada ia sangka.
Lalu muncul karakter yang mampu berpijak pada prinsip-prinsip kebaikan, yang condong memihak jalan kebenaran, dengan spiritnya yang utama menyuarakan kata hati, sama dengan apa yang diperbuatnya, dilandasi kejujuran, moralitas, rasa hormat, dan prinsip-prinsip kesetaraan saling menghargai sebagai mahluk Tuhan yang sama dalam pandanganNya, peran protagonis merupakan tipikal penguat hidup, ia tak merasa sebagai sesuatu yang hebat, tapi, keberadaannya mampu memberi sentuhan dan warna tersendiri pada kehidupan.
Kemudian muncullah manusia dengan sikap dan karakter yang sudah “masagi,” sempurna pemahamannya pada esensi-esensi, sehingga apa yang ia lihat secara kasat mata, dari berbagai perangai perwatakan beragam manusia, yang ada dalam dirinya, adalah bentuk-bentuk kasih sayang, ia seperti medan magnet, yang mampu terasa oleh siapapun tarikan magnitnya, bahkan mampu sampai menarik berbagai karakter type manusia yang beragam.
Dan manusia dengan karakter Tritagonis seperti ini, adalah manusia langka, sebab ia memang terlahir dengan takdirnya tersendiri, yang Allah selamatkan ia dari pengaruh buruk.
Sehingga dalam hatinya, tak ada noda sedikitpun, untuk menyimpan dendam, benci, dengki, hasud, dan sifat buruk seperti umumnya manusia kebanyakan.
Maka manusia semacam ini merupakan anugrah Tuhan untuk dunia, takala ia memegang suatu amanah sebagai pemimpin, maka, “tak ada lagi dirinya,” sebab, ia sudah menyatu dalam spiritnya Tuhan itu sendiri, yang menebar rasa kasih sayang, dan membangun rasa saling mencintai, dengan menghilangkan sekat atas nama agama, atas nama etnis, atas nama ras manusia.
Yang ada pada pandangan manusia tipe seperti ini adalah cinta !
Rasa cinta, dan hasratnya membangun cinta.
Teruntuk cinta yang harus ia terus pupuk !
Sehingga jalan menuju cinta, mampu ia buka, dan akhirnya… melahirkan panen cinta, dari manusia lainnya yang menyadari memiliki cinta yang sama, seperti apa yang telah di contohkan oleh manusia Tritagonis tersebut.
Mari kita pilih karakter kita mau seperti karakter yang mana, untuk mewarnai kehidupan kita.
Semua karakter di atas, khusus yang satu dan kedua, adalah gambaran karakter yang ada pada kebanyak manusia.
Khusus pengambaran karakter yang ketiga, kita jangan mimpi memilikinya, jika masih ada dalam diri kita rasa hasud, dendam, benci, amarah, iri, dengki, dan segudang karakter jelek lainnya.
Menjadi orang yang mau naik kelevel karakter ketiga, perbaiki hati kita, perbanyaklah menyenangkan sesama manusia dengan membangun persaudaraan, tumbuhkan rasa cinta, dan mulailah menekan ego kita, sehingga kita bisa menuju menjadi manusia utama, manusia unggul paripurna yang mampu memberi kebermanfaatan hidup kita bagi semesta…aamiin.
Semoga bermanfaat.
Bambang Melga Suprayogi M.Sn.