Relasi Sosial Hizbut Tahrir dan Militer di Indonesia (1) : Pendahuluan
Sebagai sebuah paham, radikalisme menyasar ke semua elemen masyarakat. Ibarat debu, radikalisme dapat menempel di mana saja. Termasuk di kalangan militer (Ayik H 2022). Radikalisme di kalangan militer pertama kali diungkapkan oleh Menteri Pertahanan (2014-2019) Ryamizard Ryacudu, bahwa 3% prajurit Tentara Naional Indonesia (TNI) terpapar paham radikal (Hadi 2019). Tiga tahun kemudian, hal ini mencuat kembali setelah Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo pada Rapat Pimpinan TNI-Polri, selasa 1 Maret 2022, menyinggung tentang penceramah radikal yang diundang oleh istri-istri TNI-Polri (Nugraheny Erika Dian 2022). Kemudian dalam rangka menindaklanjuti arahan Presiden tersebut, Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal, Dudung Abdurrahman memerintahkan kepada semua Panglima Daerah Militer (Pangdam) dan Panglima Resort Militer (Danrem) supaya tidak mengundang penceramah radikal (Noviansah Wildan 2022) .
Menurut Brigjen. Pol. R. Ahmad Nurwakhid, SE, MM, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI), ada lima ciri penceramah radikal antara yaitu: 1) Anti Pancasila dan pro khilafah transnasional; 2) Berpaham takfiri kepada sesama agama dan kepada agama lain; 3) Anti pemerintah yang sah, dan melakukan kegiatan memutus kepercayaan masyarakat kepada pemerintah (distrust) dengan cara menyebarkan fitnah, hoaks, adu domba dan ujaran kebencian; 4) Bersikap eksklusif, intoleransi dan anti pluralitas; 5) Anti budaya dan kearifan lokal (JPNN 2022).
Dalam arahannya, Presiden Joko Widodo menyebut sikap sebagian oknum prajurit TNI dan anggota Polri yang turut menolak keputusan pemerintah tentang pemindahan ibukota negara di grup-grup WA (Whatsapp) (Andri 2022). Hal ini mengarahkan kepada kelompok radikal yang dimaksud adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI adalah kelompok radikal paling keras menolak ibukota negara (IKN) dari Jakarta ke Penajam Kalimantan. Mereka melakukan penggalangan opini secara terstruktur, sistematis dan massif agar masyakarat menolak IKN. Melalui media dalam jaringan (daring), akun dan channel media sosial (Facebook, Youtube dan Tiktok) dan aplikasi pesan (Telegram dan Whatsapp) yang berafiliasi dengan HTI. Tercatat dari 12 April 2020 sampai 25 Maret 2022, website Tintasiyasi menurunkan 52 artikel tentang IKN. Website Media Umat sebanyak 34 artikel. Sedangkan channel youtube Pusat Kebijakan Analisis Data (PKAD) merilis 48 video yang membahas IKN. Mimbartube 35 video, Ahmad Khozinudin 30 video, RayahTv sebanyak 16 video, Muslimah Media Center 12 video, Multaqa Ulama Aswaja TV 3 video, Ngaji Shubuh 2 video dan Media Umat 1 video. Media-media tersebut memiliki kemiripan dalam isu, narasi, narasumber dan ide pokok.
Radikalisme yang mengarah kepada terorisme, tidak dapat dipisahkan dari upaya penanggulangan terorisme secara keseluruhan. Hubungan erat antara radikalisme dengan terorisme dapat digambarkan sebagai berikut; Jika radikalisme itu jiwa, maka terorisme yang menjadi raganya. Jika radikalisme itu hulu, maka terorisme adalah hilir. (Ahmad Nurwakhid 2021). Jika radikalisme itu software, maka terorisme yang menjadi hardware. Jika radikalisme itu adalah sebab, maka terorisme adalah akibatnya. Radikalisme merupakan faktor independen, sedangkan terorisme faktor dependen. (Ayik H 2020). Artinya, terorisme pasti dilatarbelakangi oleh radikalisme, namun, radikalisme tidak otomatis berujung kepada aksi terorisme (Ahmad Nurwakhid 2021).
Radikalisme terdiri dari kata radikal dan isme. Radikal berasal dari bahasa Yunani: radix yang berarti akar. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan, radikal berarti (a) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); (b) amat keras menuntut perubahan (undang-undang atau pemerintahan); (c) maju dalam berpikir atau bertindak. Kamus Cambridge mendefinisikan radikal sebagai upaya dalam mempercayai dan mengekspresikan keyakinan bahwa perubahan sosial atau politik harus dilakukan secara ekstrem. Radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan secara mendasar dan menyeluruh terhadap sistem politik, pemerintahan dan negara. Sedangkan proses meradikalkan pemikiran dan tindakan seseorang disebut radikalisasi (Galib, Islam, and Alauddin 2021).
Radikalisme dilatarbelakangi oleh beberapa hal, salah satu di antaranya adalah pemahaman agama, berupa kekurangpahaman dan atau kesalahpahaman. Radikalisme yang berujung kepada aksi terorisme merupakan bentuk penyimpangan dari ajaran agama. Hal ini terjadi karena asumsi, sangkaan, tafsiran dan pemahaman, bahwa penggunaan kekerasan dalam menegakkan ajaran agama sebagai bagian dari ajaran agama yang disebabkan oleh faktor ketidaktahuan, kesempitan jiwa dan ketidakjujuran hati seorang radikalis (Setiawandari, Munandar, and Hannase 2020). Oleh sebab itu, pencegahan terorisme harus dimulai dari pencegahan radikalisme. Ibarat sebuah pohon, radikalisme berperan sebagai batang, cabang dan ranting; Maka terorisme adalah buahnya (Ahmad Nurwakhid 2021).
Dengan alasan, pertama, HTI sebagai organisasi masyarakat (ormas) yang berbadan hukum tidak berperan positif dalam pembangunan guna mencapai tujuan nasional; Kedua, kegiatan yang dilakukan oleh HTI terindikasi kuat bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, NKRI sebagaimana yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013; Ketiga, aktivitas HTI dinilai dapat memicu benturan masyarakat dan mengancam NKRI, maka pemerintah melalui Menteri Politik, Hukum dan Keamanan, mencabut badan hukum HTI. Pencabutan badan hukum HTI pada tanggal 19 Juli 2017 oleh Kementerian Hukum dan HAM, (Hukum 2017; Humas Kemenko Polhukam 2017), dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung RI dengan nomor putusan 27 K/TUN/2019 (Kepaniteraan Mahkamah Agung RI 2019), tidak serta dapat menghentikan kegiatan mereka. Sebagai gerakan pemikiran dan politik (gerakan ideologis), pencabutan badan hukum bukan berarti pencabutan ideologi. HTI menegaskan bahwa mereka tetap bergerak, sebagaimana yang ditegaskan oleh M. Ismail Yusanto (Jurubicara HTI) setelah mendengar putusan Mahkamah Agung (Imam 2017).
Sampai sekarang HTI tetap eksis. M. Ismail Yusanto masih menggunakan jabatannya sebagai Jurubicara HTI ketika mengucapkan selamat selamat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha channel ALWaqiyah TV yang berafiliasi kepada Hizbut Tahrir (Al-Waqiyah 2021). Tekad yang mereka buktikan dengan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif dari sejak pencabutan badan hukum sampai penelitian ini ditulis (Maret 2022). Mereka menggunakan aneka ragam nama lembaga samaran. Kegiatan-kegiatan mereka terpublikasi di website, akun dan channel media sosial yang berafiliasi dengan HTI. Aktivitas HTI juga dipublikasi di website dan akun media sosial HT di luar negeri (Al-Waqiyah 2021).
Tabel 1. Website, akun dan channel yang berafiliasi dengan HTI.
No |
Website |
Media Sosial |
1 |
al-wa’ie.id |
Khilafah Channel Reborn |
2 |
buletinkaffah.id |
Fokus Khilafah Channel |
3 |
mediaumat.news |
News Khilafah Channel |
4 |
shautululama.co |
Multaqa Ulama Aswaja TV |
5 |
tintasiyasi.com |
UIY Official |
6 |
pojok-aktivis.com |
Media Umat |
7 |
trenopini.com |
Pusat Kajian dan Analisis Data |
8. |
fokusmedia.xyz |
Peradaban Islam ID |
9 |
lbhpelitaumat.com |
LBH Pelita Umat |
10 |
wakafquran.org |
Wakaf TV |
11 |
cintaquran.or.id |
Cinta Quran TV |
12 |
mahadsyarafulharamain.com |
Rayah TV |
13 |
muslimahnews.com |
Muslimah Media Center |
14 |
Yukngaji.id |
YNTV |
Sumber: Diolah oleh penulis dari penelusuran di internet.
Meskipun demikian, aktivitas HTI tidak berpengaruh terhadap masyarakat, karena masyarakat sudah mengetahui visi, misi dan tujuan di balik semua kegiatan HTI, terlebih pasca pencabutan badan hukum. Masyarakat mengetahui bahwa HTI sudah dibubarkan. HTI terus mendapat penentangan, dan perlawanan. Dalam pandangan HTI, keadaan ini membuat masyarakat beku untuk dapat menerima keberadaan, kegiatan dan propaganda mereka.
Ruang gerak mereka semakin sempit dan terbatas. Secara legal formal, HTI tidak bisa lagi melakukan kegiatan di ruang-ruang publik. Arus penolakan dari masyarakat terhadap kegiatan HTI semakin deras. Masyarakat menutup pintu bagi HT, sebagai bentuk dukungan terhadap keputusan pemerintah. HTI memandang, masyarakat sipil sudah apatis, dan stagnan. Masyarakat sipil tidak dapat diharapkan untuk mendukung dan menjadi jalan guna meraih kekuasaan.
Di sini titik krusial bagi HTI, ketika masyarakat (sipil) sudah tidak dapat diharapkan menjadi jalan menuju kekuasaan, maka, mereka berharap ke militer guna melindungi, dan menjadi jalan menuju kekuasaan pemerintahan. HTI melakukan aktivitas meminta pertolongan kepada militer, yang dianggap memiliki kekuatan riil berupa prajurit yang terlatih, persenjataan dan peralatan perang (ahlu quwwah) serta sistem organisasi yang berbasis komando. Aktivitas ini disebut dengan thalab an-nushrah (Abu Fuad 2018; an-Nabhani Taqiyuddin 2001a, 2006, 2016; Hizbut Tahrir 1989, n.d.; Radhi Muhsin 2012; Zallum Abdul Qadim 1985).
Menurut HT, thalab an-nushrah adalah metode yang syar’i dalam mendirikan khilafah. Metode yang pernah dilakukan oleh Muhammad saw ketika mendirika negara di Madinah. Menyimpang, apalagi meninggalkan metode ini, merupakan dosa. Bagi HT, metode ini sudah baku dan tak dapat diubah (thariqah), walaupun sampai saat ini HT belum berhasil mendirikan khilafah dengan metode tersebut (Abdurrahman Hafidz 2017; Ahmad 2011; Hawari Muhammad 2010; Khalid Abdurrahman Muhammad 2015; Qal’ahji Muhammad Rawwas 2020).
Penelitian paling awal tentang HT terkait dengan kekerasan dan terorisme dilakukan oleh Zeyno Baran yang dipublikasi dalam bentuk laporan penelitian dengan judul Hizb ut-Tahrir: Islam’s Political Insurgency (2004). Zeyno menyimpulkan bahwa Hizbut Tahrir menjadi conveyor belt (karet pengantar) bagi terorisme. Penelitian ini mengambil data dari pergerakan Hizbut Tahrir di Asia Tengah (Baran Zeyno 2004). Hizbut Tahrir Indonesia membuat artikel khusus untuk mengkritik, menyanggah dan membantah hasil dari penelitian Zeyno Baran yang dimuat pada majalah al-Wa’ie edisi Desember 2009 dengan tajuk Hizbut Tahrir Teroris? HTI mengatakan mereka berdakwah tanpa kekerasan, bukan kelompok teroris (HTI 2009). Akan tetapi artikel jurnal yang berjudul Relation Between Hizb ut Tahrir and Terror Group yang ditulis oleh Zopfan Aseanata Bayudhita pada tahun 2020, mengungkap adanya hubungan antara HTI dengan kelompok teror (Bayudhita 2020).
Untuk kasus Indonesia, upaya penggalangan militer yang dilakukan oleh HTI dibahas secara umum pada buku Hizbut Tahrir Indonesia and Political Islam: Identity, Ideology, and Religio-Political Mobilization, karya Mohamed Nawab Mohamed Otsman. (Nawab Mohamed Mohamed Otsman 2018). Sedangkan Fathoni Riza (2022) dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) membuat penelitian yang berjudul Model Pemolisian Kebangsaan Terhadap Revivalisasi Transnasionalisme HTI Sebagai Ancaman Keamanan Asimetris (Studi Kasus Kota Bogor, Indonesia – Islamabad, Pakistan).
Artikel ini secara spesifik mengungkap hubungan antara HTI dan TNI dalam perspektif sosiologi. Jenis penelitiannya adalah penelitian kualitatif berdasarkan wawancara, observasi, studi literatur, media daring, media sosial dan dokumen pribadi milik penulis utama. Penulis utama adalah seorang pengurus HTI periode 2004 – 2010. Penelitian kualitatif dianggap dapat mengungkap realitas serta dinamika sosial secara lebih rinci dan holistik dibandingkan penelitian kuantitatif karena realitas sosial sangat kompleks dan dinamis, yang apabila dikuantisir, akan mereduksi fakta dan realitas sosial yang pada akhirnya menghilangkan makna yang ingin diperoleh dari suatu penelitian sosial (Bungin Burhan 2001).
Bagaimana implimentasi doktrin HT tentang peralihan kekuasaan melalui jalan militer dijelaskan berdasarkan jejak-jejak interaksi dan relasi yang terjadi antara HTI dan TNI.
Data-data utama dalam penelitian ini diambil dari jejak-jejak digital hubungan HTI dan TNI, yang terdapat pada website resmi TNI, akun-akun media sosial resmi TNI website duplikat dari website duplikat dari website resmi HTI, website-website yang berafiliasi dengan HTI, website media berita utama, dan akun-akun media sosial yang berafiliasi dengan HTI, Penulis menggunakan website duplikat dari website resmi HTI, mengingat website resmi HTI telah diblokir oleh Kementerian Informasi dan Komunikasi pada tahun 2017.
Tulisan ini pertama kali tayang di Jurnal Pemikiran Sosiologi UGM, Naskah asli dalam bentuk file PDF dapat dibaca / download langsung di website sumbernya, Di sini.