Politisasi Agama Dijadikan Alat dalam Kampanye
Oleh : Hapid Ali
Isu yang terjadi saat ini yang bersentuhan dengan isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) pada ruang publik, menjadi kajian seksi yang memicu reaksi loyalis negara maupun loyalis agama. Kajian yang lebih spesifik dalam pergesekan saat ini dengan aksi yang dibalut dengan aroma agama dan kesadaran bersama terkait bangsa atau biasa disebut denga istilah “politisasi agama” (politicization of religion) yang ramai dijadikan alat dalam pentas kampanye.
Semua itu merupakan bentuk penguatan identitas socio-religious. Penguatan identitas socio-religious sudah ada sejak manusia mulai berinteraksi dengan lainnya. Penerapan model politisasi agama secara teoritis awalnya bermuara dari perdebatan klasik antara agama (al-din) dan negara (al-daulah) dalam kajian politik Islam (al-islam al-shiyasiy atau siyasah syar’iyyah) yang terus berkembang sampai saat ini.
Hal ini semakin jelas pada masa transisi politik multikultural yang telah memperkuat paradigma etnosentrisme politik—menggunakan pandangan dan cara hidup dari sudut pandangnya sebagai tolok ukur untuk menilai kelompok lain. Awal mula munculnya gerakan etnosentrisme di Indonesia yang nampak bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Bentuk dari etnosentrisme tersebut dengan munculnya gerakan islamisasi dan kristenisasi.
Seperti kita ketahui bersama pada akhir pemerintahan Orde Baru menjelang transisi reformasi, gerakan islamisasi memberikan ketegangan antara masyarakat Muslim dan Kristen. Ketegangan tersebut terjadi karena adanya diskriminasi pemerintahan Soeharto terhadap masyarakat Kristen dengan adanya upaya peminggiran daripada kelompok Muslim. Hal ini Nampak sekali dengan berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), secara tidak langsung mempunyai afiliasi dengan penguasa Orde Baru.
Runtuhnya Orde Baru pada 21 Mei 1998, memberi kesempatan dan peluang terhadap hadirnya dinamika kultur politik yang kembali memainkan peran masyarakat sipil (civil society) sebagai ujung tombak perubahan politik di Indonesia. Keterbukaan ruang politik civil society melalui hak kesamaan atas berserikat yang merupakan amanat Undang-undang Dasar 1945 dan bentuk dari demokrasi partisipatoris. Akan tetapi, peran tersebut masih dimaknai sebatas menggalang “kekuatan” dalam berpolitik.
Dengan demikian itu menjadikan perilaku “tarik ulur” kepentingan politik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok lainnya, dengan menggunakan media atau alat yang dipandang mempunyai kekuatan untuk mensuport dalam menduduki kekuasaan politik.
Dalam hal ini sehingga ini memicu perubahan paradigma masyarakat, seperti halnya sikap etnosentris infleksibel yakni suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya atau tingkah laku orang lain begitujuga keompok.
Bagian kedua ini lebih mengarah pada lahirnya isu SARA. Isu SARA dalam kehidupan masyarakat multi-religius, menempati diferensiasi politik yang menyediakan isu agama dan etnik pada tempat yang lebih sempit, isu tersebut sudah terjadi sejak masa klasik sampai pada post-modern, bahkan sampai sekarang dengan diskursus yang berbeda.
Gerakan post-modern lahir pada tahun 1960-an, sebagai respon terhadap kekecewaan janji-janji gerakan modern yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan bersama. Gerakan post-modern dengan konkret menunjukan adanya kepanikan terhadap gerakan modern dengan menggelar aksi di St. Louis, Amerika Serikat. Post-modern membantah tentang superioritas masa kini atas masa lampau.
Karena itulah gerakan post-modern kembali membangkitkan relevansi nilai-nilai tradisional yang suci (keagamaan) bagi kehidupan manusia. Gerakan modernis selama ini tidak menganggap adanya relevansi nilai-nilai tradisional suci dalam dinamika kehidupan yang terjadi. Bangkitnya relevansi keagamaan di ruang publik melahirkan kembali gerakan-gerakan islamisme di beberapa negara Muslim.
Pada akhir abad 20, yang ditandai dengan berakhirnya kolonialisme Barat, di negara-negara Muslim (Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, Indonesia dan Aljazair), mengalami kesulitan dengan lahirnya kembali gerakan-gerakan islamisme dalam sistem kenegaraan sebagai bentuk kuatnya ideologi pergerakan politik Islam. Lahirnya kembali gerakan islamisme, membangkitkan kembali konsep-konsep tentang radikalisme yang berujung pada konflik politik antara loyalis Islam (otoritas agama) dengan loyalis negara (otoritas negara) seperti lahirnya SI asal muasal dar SDI, Masyumi, termasuk di era reformasi lahirnya FPI, HTI dan gerakan Islam Fundamentalis lainnya dimana terjebak dengan pemahaman symbol semata.
Dari fenomena tersebut, melahirkan kembali kajian yang sistematik antara isu SARA dan politik yang terus berkembang sampai saat ini dengan adanya transformasi ke arah dinamika isu kontemporer. Seperti halnya yang disampaikan oleh Alwi Sihab (!999) yang menyatakan bahwa diskursus agama dan politik lebih pada konteks isu primordialisme yang terjadi dalam setiap kepentingan politik.
Penguatan isu SARA di ruang publik, tidak bisa dipisahkan dari tekanan untuk memengaruhi konsensus keagamaan dan keetnisan. Pengaruh konsesus tersebut merupakan strategis dalam memuluskan kepentingan fanatis primordialisme ke arah agenda politik guna memengaruhi opini dan konsepsi masyarakat. Seperti halnya isu SARA yang dijadikan alat untuk menggulingkan Basuki Cahya Purnama atau yang disebut dengan Ahok Gubernur DKI Jakarta sebelumnya dengan isu penistaan Agama. Ini yang disebut politisasi agama dengan memobilisasi masa dengan menggeser paradigmanya sehingga terjebak dengan isu SARA dibalik memuluskan politiknya.
Politisasi Agama itu tidak berhenti sampai disitu ini beranjut pada hajat demokrasi yang akan dihadapi saat ini satu sama lain saling mengangkat isu untuk memuluskan politiknya.
Hajat demokrasi atau yang disebut dengan Pilpres nanti ini telah melahirkan salah satu pendukung untuk menjatuhkan pendukung lainnya dengan menggoreng isu SARA dalam memuluskan kepentingannya. Seperti halnya isu PKI, pro Asing dan isu lain yang ditujukan untuk calon tertentu dalam meriaih simpati publik termasuk isu Nasakom yang ditujukan oleh mereka kepada warga NU tanpa mereka fahami historis yang sebenarnya dan dengan isu tersebut NU harus dibenturkan dengan publik.
Hal yang masih hangat yaitu dengan memobilisasi masa dalam menarik simpati publik yaitu dengan mengadakan kegiatan Malam Munajat 212” yang dilaksanakan di Monas, Jakarta Pusat, pada Kamis 21 Februari 2019 malam tadi, dimana ini dihadiri sejumlah politikus yang tergabung dalam Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Di antaranya: Fadli Zon, Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, Zulkifli Hasan, Neno Warisman, hingga Titiek Soeharto.
Kegiatan tersebut dengan dalih berdoa/munajat bersama, justru kegiatan tersebut merupakan bagian dari mobilisasi massa denga pendekatan santun yang diarahhkan untuk mendukung Prabowo. Jelas kegiatan tersebut bukan untuk kepentingan agama dan umat, tapi ini disebut politik praktis,” atau disebut juga politisasi Agama dalam meraih suara nanti karena kita fahami bahwa tidak ada hari besar Islam diwaktu dekat ini yang ada hanyalah menghadapi pilpres nanti.
Melihat hal tersebut maka penulis mengajak kepada pembaca khususnya warga NU untuk sadar akan politisasi agama atau kegiatan yang dibalut dengan aroma agama sehingga itu seolah-olah kegiatan untuk kepentingan umat dan agama melainkan untuk kepentingan kelompok atau politik semata. Jam’iah NU khususnya Kiayi NU sudah harus turun gunung dalam mengatasi problematika yang mengoreng isu agama oleh pihak-pihak tertentu jangan sampai keberagaman ini pecah dengan kepentingan tertentu apalagi kalau sudah mengancam NKRI maka ini fardu ain bagi warga Indonesia khususnya jam’ah dan Jam’iah NU termasuk pigur Kiayi NU menjadi central dalam pembinaan publik karena kalau Kiayi NU tidak terjun dalam ranah ini ditakutkan Kiayi NU terjebak dengan simbol agama.
Kiayi NU mempunyai tugas besar yaitu Pertama berperan langsung bersentuhan dengan masyarakat dalam pembinaan umat baiok dari aspek sosial maupun keagaman. Kedua Kiayi NU harus terjun di dunia maya dalam artian bahwa Kiayi NU harus dapat memberikan pembinaan keagamaan dan kebangsaan melalui media sosial lainya sehingga media tidak dikuasai oleh orang yang menyalah gunakan agama untuk kepentingan ideology dan politik tertentu.
Kesadaran dalam membina dan menjaga keutuhan Bangsa dan Agama itu merupakan tanggung jawab bersama bukan hanya warga NU saja maka dalam hal ini Keutuhan Bangsa dan Agama harus berada diatas kepentingan individu atau kelompok jangan sampai Agama dan Bangsa dijadikan alat dalam kepentingan tertentu.
Ditulis oleh:
Hapid Ali, Ketua Tanfidziyah MWC NU Cibiuk, Garut dan aktif di PW Lakpesdam NU Jabar focus pada penguatan SDM dan Intelektual