RAIS ‘AAM PBNU : NU, Ulama Penggerak Umat, Pendiri Republik, Pemimpin Masa Depan
Rais ‘Aam PBNU, KH. Ma’ruf Amiin mengingatkan NU secara struktural dan kultural untuk mampu menjalankan tugas besar yakni menyiapkan kader ulama sebagai agen perubahan, menjadi pemimpin yang mampu menggerakkan ummat menjaga keutuhan Bangsa dan Negara. Hal ini disampaikan dalam acara Silaturahim dan dialog Kebangsaan Alim Ulama dan Pengasuh Pondok Pesantren Se-Jawa Barat, bertempat di Pondok Pesantren Sukamiskin, yang di gelar PWNU Jawa Barat dan LTN NU JABAR Sebagai rangkaian dari Dialog kebangsaan Rais ‘Aam PBNU yang dilakukan di seluruh Indonesia. Dalam acara ini pun turut hadir Ridwan Kamil, Walikota Bandung; Prof. Dr. KH. Rahmat Syafi’i, Wakil Rais Syuriah PWNU, KH. Abdul Aziz Haidar Pimpinan Pondok Pesantren Sukamiskin. Tidak hanya di hadiri alim ulama dan sesepuh pengasuh pondok pesantren Jawa Barat, acara tersebut dihadiri para santri, Selasa (5/9/2017).
Beliau menegaskan pentingnya menghidupkan semangat nahdlatul ulama di seluruh Indonesia, karena Nahdlatul ulama sesungguhnya memiliki tugas yang besar sekali, setidaknya memiliki tiga tanggung jawab, mas’uliyah diniyyah (tanggung jawab keagamaan), mas’uliyyah ummatiyyah (tanggung jawab keummatan), dan mas’uliyah wathoniyah (tanggung jawab kebangsaan dan kenegaraan). Inilah mandat yang diberikan para ulama kepada nahdlatul ulama. Karena Nahdlatul Ulama adalah tempat berkumpulnya para ulama.
Yang membesarkan NU itu bukan saja pengurus struktural tetapi semua ulama-ulama non-struktural, ulama-ulama pondok pesantren. Karena yang memiliki NU adalah ulama, NU itu gerakannya ulama. Pengurus struktural itu hanya supir, tetapi pemiliknya adalah ulama. Karenanya, KH, Ma’ruf mengajak seluruh para ulama untuk menyiapkan mutafaqqih fiddin (orang yang mendalami agama, kader ulama) dan rijalul islah (tokoh-tokoh perbaikan, agen perubahan). Sehingga tidak terjadi kekosongan ulama, mengutip sabda nabi, “Kalau tidak tersisa seorang ulama, maka seseorang akan menjadikan pemimpin orang bodoh. Ketika dimintai fatwa karena tidak memiliki ilmu, ia sesat dan menyesatkan”, Ujarnya.
NU itu aqidah ahlussunnah wal jamaah, beliau menyebutnya an-Nahdliyyah, ini yang membedakannya dengan yang mengaku ahlussunnah wal jamaah al-Wahabiyah, kelakarnya. Lebih hebat lagi, hari ini ada madzhab baru, madzhab salafi, padahal kata imam syekh Said Ramadhan, assalafiyyah laisa madzhaban islamiiyah, marhalatun zamaniyyah, salafiyah itu periodisasi bukan madzhab. Kalau ada yang mengatakan madzhab salafi, maka itu adalah bid’ah dhalalah.
NU itu manhajul fikr, cara berfikir. Dalam rangka cara memahami nash, cara menafsirkan nash, cara mengeluakan prinsip-prinsip dari nash, dan cara mengeluarkan hukum dari Nash. Cara berfikirnya, pertama at-tawasutiyyah yakni moderat, tidak tekstualis, tetapi juga tidak liberalis. Kedua, at-thathawurian yakni dinamis. Ketiga, manhajiyyan, mengikuti salah satu madzhab yang empat. Jika orang tidak bermadzhab, itu sangat berbahaya. Tidak hanya itu, NU itu juga amaliyah. Penjaga tradisi terbaik para ulama.
NU harus bergerak juga menggerakkan. Gerakan NU, di antaranya Harakatul ulama, harakatul islahil ummah dan harakatul khidmatil ummah.
Pertama, Harakatul ulama. Gerakan ulama dalam menjaga ummat, memperbaiki ummat, dan melayani ummat. Terkait cara berfikir kebangsaan dan kenegaran. Beliau, menegaskan negara ini sudah final, pancasila itu sudah final. Karena konsep dasar perumusan pancasila tidak bertentangan dengan Islam, sehingga tidak perlu di pertentangkan. Ulama mempoisikan Indonesai bukan bukan sebagai Darul Islam juga bukan daarul kufri, bukan daarul harbi, tetapi daarul ahdi, negara kesepakatan. Hubungan antar masyarakatnya, muahadah, saling berjanji. Saling berjanji untuk hidup saling berdampingan secara damai, saling mencintai dan menyayangi, saling menolong dan membantu. Kata al-Ghazali, negara itu terjadi karena saling tergantung, interdependensi. Saling bergantung dalam tolong-menolong dan membantu maka lahirlah negara.
Negara Indonesia yang sudah baik ini jangan sampai di rusak oleh kelompok intoleranisme, radikalisme, yang menimbulkan kegaduhan. Inilah tugas NU, Menjaga negara. Mengutip Prof Saptono kartodierejo bahwa di akhir abad 19 akan terjadi kebangkitan agama, namun KH Ma’ruf, lebih menguatkan lagi bahwa yang akan terjadi bukanlah kebangkitan agama tetapi kebangkitan islam, lebih-tepatnya adalah kebangkitan ulama, karena sesungguhnya yang melakukan pemberontakan terhadap penjajah itu sesungguhnya adalah santri-santri indonesia yang pulang dari mekah. Kebangkitan ulama ini menginsiprasi lahirnya kebangkitan nasional, lahirnya indonesia merdeka. Ketika belanda hendak menjajah kembali, tentara dan polisi belum terkonsolidasi, tampil KH. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, yang memberi seruan atau fatwa resolusi jihad pada tanggal 22 oktober 1945, menggerakan perang 10 november, dan mengusir tentara Belanda. Karena itu tanggal 22 oktober dijadikan hari santri nasional, tandasnya.
Tugas NU adalah menjagai agama, menjaga ummat, menjaga negara. NU itu Pendiri Repulik. Kalau pendiri, berarti punya saham. Kalau sudah punya saham berarti mempunyai deviden. Adil itu Itthau maa ‘alaihi, wa akhdu maa lahu, mengambil apa yang menjadi haknya, memberi kewajiban. NU itu memberi kewajibannya banyak mengambil haknya belum. Kita harus menjaga cara berfikir yang bisa merusak negara. Menjaga agama ya. Negara utuh, negara harus stabil, negara harus kondusif. Setidaknya ada tiga elemen pilar negara yang tidak boleh hilang. Pertama, Islam. Kedua, Nasionalis. Ketiga TNI – Polri.
Khusus himayatul Ummat, menjaga ummat terutama pertempuran di dunia medsos, dunia maya. Mengingat kebohongan-kebohongan hari ini dapat dipesan dan dirumuskan dalam bentuk yang lebih praktis di dunia maya, medsos, karena ia dapat menghasilkan keberlimpahan. Medsos ini memberikan ancaman bagi ummat juga negara jika hanya digunakan untuk merumuskan kebohongan yang dapat memecah belah ummat bangsa dan negara, tetapi juga memberikab peluang kebaikan yang dahsyat bagi keutuhan bangsa dan negara ketika digunakan secara baik. Inilah tantangan dalam menjaga ummat, yang berdampak ancaman negara yang lebih besar, sehingga menjaga dan membina Ummat untuk menggunakan medsos yang bijak dan berakhlakul karimah wajib dilakukan untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara.
Kedua, Harakatul Ishlahil Ummmah, Gerakan perbaikan ummat. Terutama perbaikan aqidah, pendidikan dan ekonomi. Seperti diketahui, Paradigma NU itu ada dua, al-Muhafadlatu ‘ala qodimi as-sholih, wal akhdu bil jadidil ashlah, Menjaga tradisi lama yang baik, mengambil tradisi baru (melakukan tranformasi) yang lebih baik.
Beliau menambahkan paradigma ketiga, al-ishlah ila maa huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah. Melakukan perbaikan kepada yang lebih baik secara terus menerus maka perbaikannya lebih baik. Perbaikan itu tidak permanen, karena itu perbaikan ke arah yang lebih baik itu harus berkelanjuitan, sustainable, continuous improvement, perbaikan terus-menerus.
NU harus kondusif, organisasinya harus terkonsolidasi, ke depan NU bukan minta tetapi menyumbang. Pesantren Mandiri, NU Mandiri, dan kita tidak menjadi beban pemerintah tetapi berkontribusi kepada pemerintah, kepada bangsa dan negara, tandasnya.
Ketiga, Harakatul Khidmatil ummah. Gerakan pelayanan ummat, yakni pelayanan publik untuk mempermudah kepada yang membutuhkan. Karena itu NU harus kuat, mengingat tanggung jawabnya yang di emban besar, maka secara bersama-sama bergerak memberikan pelayanan terbaik demi ummat bangsa dan negara.
Sebentar lagi NU 100 tahun, NU harus terus melahirkan gerakan, likulli ra’si miati sanatin mujaddidun, di tiap awal seratus tahun ada pembaharu. Bukan isinya yang di rubah tetapi gerakannya, harakatutajdiid, gerakan pembaharuan yang lebih inovatif dan transformatif. Oleh karenanya Pemimpin NU harus jadi dinamo, yang menggerakkan bukan menjadi gasing, panggal, dia bergerak tetapi tidak menggerakkan, ungkapnya
KH. Ma’ruf pun mendoakan agar orang NU itu harus menjadi pemimpin negara. Yang memimpin negara harus NU, yang belum harus di NU kan. NU itu bukan penakut tetapi di takuti, NU itu kewajibannya menjaga negara, mana mungkin mengorbankan negara, mari negara ini kita jaga bersama-sama. Oleh karenanya, orang NU itu harus jadi bupati, walikota, menteri, bahkan presiden supaya bisa berkontribusi kepada ummat, bangsa dan negara. Mudah-mudahan Ridwan Kamil tetap NU, mudah-mudahan bisa terus berlanjut mengabdi kepada negara dan bangsa, ujarnya menutup pembicaraan.
Di sesi yang berbeda, dialog kebangsaan yang di pandu KH. Dasuki, Ridwan Kamil yang akrab di sapa kang Emil menegaskan, pada dasarnya kita harus berbagi peran, para kyai memberikan petunjuk dan arahan, para pemimpin seperti saya menerjemahkan tafsir-tafsir tadi ke dalam tindakan. Dilapangan saya mendapati ancaman itu nyata adanya seperti radikalisme dan intoleran. Kang Emil meyakini nasihat KH. Ma’ruf Amin, kalau negara ingin selamat, maka harus seperti NU yakni moderat, tidak tekstual juga tidak liberal. Jadi siapa saja yang ingin menggeser terlalu ke kanan atau ke kiri, ujungnya akan melenceng. (Jamil, 5/9/2017)