The news is by your side.

Salah Kaprah Praktek Sunah

Salah Kaprah Praktek Sunah | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa Barat

Oleh: Toufik Imtikhani, SIP.

PENAMPILAN seorang Ustadz kondang yang sedang mengajarkan agama kepada ke-dua istrinya, plus istri ketiganya sebagaimana dapat kita saksikan di laman Youtube, menjadi perhatian banyak Nitizen. Tentu publik yang diwakili oleh Nitizen sangat terkejut dengan amaliah yang dilakukan oleh Ustadz kondang tersebut, yaitu menikah untuk yang ke-tiga kalinya. Artinya, sebelumnya masyarakat sudah mengetahui bahwa Sang Ustadz  telah memiliki dua orang istri. Tetapi rupanya Sang “ Ustadz “ merasa kurang sempurna dalam melakukan praktek sunah berupa poligami, sehingga kemudian me-rekrut istri yang ketiga.

Tidak ada yang tahu ke depan, masihkan Ustadz akan menyeleksi perempuan-perempuan  lain untuk dinikahi sebagai sitri-istri berikutnya. Kalau mengacu kepada yang dipahami umum sebagai syariat, berarti tinggal ada satu formasi istri untuk Sang ustadz, kecuali kemudian ada istri-istri yang dinikahinya kemudian diceraikan. Tidak ada yang dapat meramalkan masa depan poligami Sang ustadz.

Jauh sebelumnya publik pun disuguhi oleh praktek poligami ulama kondang dari Bandung, yang menikahi sekretaris pribadinya, seorang mantan fotomodel yang dipujinya sebagai ahli ibadah. Sedikit banyak tindakan ulama tersebut menimbulkan perselisihan dengan istri pertamanya, meskipun nampak dapat diatasi, tetapi publik tidak pernah mengetahuinya apa yang sebenarnya kemudian terjadi.

Pada laman Youtube yang berbeda, kedua ulama tersebut memperlihatkan praktek-praktek “ Sunah “ yang lain, yaitu olah raga berkuda dan memanah. Sebuah cabang olah raga yang telah menjadi gaya hidup orang-orang “ the have“. Ya, karena olah raga jenis ini adalah olah raga yang mahal. Berapa harga dan perawatan seekor kuda yang bagus ( Kuda Australia, misalnya ), dan berapa harga satu buah busur dan anak panah?

Poligami, olah raga berkuda dan memanah, semua berlindung dibalik kata-kata nan indah. Syareat agama. Apakah yang bersifat wajib ataukah sunah. Ironis sekali praktek sunah tersebut dihidangkan dalam konteks masyarakat, keadaan dan situasi yang tidak tepat. Mengapa demikian?

***

Praktek ibadah, baik wajib atau sunah, harus melihat syarat-syarat kualifikasi dan kategorisasi, bukan asal dapat apalagi sekedar senang dilakukan. Hampir seluruh ibadah yang diperintahkan oleh agama, tidak berlaku umum, dari aspek  wajib, rukun dan sunah. Allah berfirman dalam Al Baqarah( 2 ): 286, bahwa Dia tidak membebankan kepada seseorang yang melebihi batas kemampuanya.

Kita ambil contoh misalnya kewajiban sholat yang merupakan ibadah pokok. Syarat wajibnya adalah orang-orang yang dewasa. Anak-anak tidak wajib sholat, meskipun harus diajarkan untuk mengerjakan sholat. Orang dewasa pun masih ada kriterianya, yaitu tidak dalam keadaan tertidur dan atau gila. Orang yang dalam perjalanan pun masih diberi keringanan dalam hal mengerjakan sholat, kendati ada ketentuan fiqih bahwa mengerjakan sholat harus pada waktunya. Bahkan hadist Nabi menyebutkan sebaik-baik sholat adalah yang dikerjakan pada awal waktunya. Sholat dapat dikerjakan dengan cara “ mengumpulkan” atau jamak, baik pada sholat yang awal atau yang akhir, terserah keadaan yang menurut kita baik, atau meringkas ( jamak qashar ).

Artinya hukum Islam sangat toleran, bahkan terhadap hal ibadah yang sangat pokok sekalipun. Apalagi kepada ibadah-ibadah yang tidak pokok, termasuk yang dikatakan sebagai sunah.

Disini kita melihat kontekstualisasi ibadah dengan dimensi ruang dan waktu. Jangan sampai ibadah itu ditarik dari dimensi ruang dan waktu, sehingga bersifat anakronistik. Bukankah ibadah dalam perspektif Islam selalu menekankan dan menjaga harmoni antara yang bersifat transendensi dan yang imanensi.

Dimensi ruang dan waktu yang saya maksud adalah masyarakat dan segala dinamikanya. Agama dan segala implementasi tafsirnya harus selalu mencari ruang dan waktu terhadap masyarakat.  Agama tidak boleh ditinggalkan dan meninggalkan masyarakat. Agama harus selalu mencari penyesuaian-penyesuaian ( ajusment ) baru dengan dinamika masyarakat.

Sejarah telah mewariskan sisi gelap peradaban di Eropa, ketika agama tidak bisa menjaga “ fitrah “ relasinya dan mengabaikan ruang dan waktu dengan masyarakat. Bahkan Karl Mark sampai menyebut agama sebagai candu rakyat. Jika agama gagal mengatasi ruang dan waktu berupa masyarakat dan perkembanganya, bukan sesuatu yang mustahil bahwa sejarah akan terulang kembali.

****

Tokoh agama adalah personifikasi dari agama itu sendiri. Bahwa memang salah melihat dengan cara partikular semacam itu.  Tetapi cara pandang seperti itu sulit untuk di-di-vestasikan dari asosiasi pemikiran budaya masyarakat yang personalism, paternalistik, feodal dan  patron-client. Nilai-nilai objektifitas agama, dan subjektifitas yang ada pada para tokoh agama, bercampur baur menjadi satu. Dalam bahasa agama, metode semacam ini disebut taqlid.

Taqlid selama ini diperlukan, karena tidak mudah untuk kembali keepada ajaran agama yang murni. Memerlukan waktu dan instrumen yang tidak sederhana untuk mempelajari ajaran pokok agama. Salah-salah dalam belajar, akan memunculkan efek  penafsiran yang radikal dan fundamental. Maka masih diperlukan waktu yang panjang, mungkin sepanjang jaman untuk dapat menangkap nilai-nilai objektif agama yang bersifat  umum.

Oleh karena itu, ketika dimensi ruang dan waktu masyarakat umat beragama bersifat demikian, ke-arifan para tokoh agama dalam memberikan dan dengan cara apa menerapkan praktek-praktek agama, dari yang wajib apalagi yang sunah, perlu dikedepankan. Prisip ushul fiqhnya adalah al imamu khodimul jamaah, imam adalah pelayan umat. Artinya, seluruh keadaan dan kepentingan umat harus menjadi perhatian, bukan asal ia melakukan suatu kewajiban dan kesunahan, karena ada perintah dan apalagi hanya sekedar senang ( Nafsu ). Dalam hal kewajiban sholat, misalnya, sebagai pokok ibadah, dan sholat ini merupakan sholat berjamaah, Nabi mengatakan, dari Abu hurairah, jika salah seorang kalian sholat bersama manusia, maka hendaklah mentakhfif ( meringankan ), karena pada mereka ada yang sakit, lemah, dan orang tua. Tetapi jika sholat sendirian, berlamalah sekehendaknya.

Bercermin pada uraian di atas, lalu bagaimana dengan apa yang dilakukan Sang Ustadz dalam berpoligami. Jika atas dasar syareat, syareat yang mana, apakah hanya berpedoman kepada  Surat An-Nisaa ( 4 ): 3, tentang diperbolehkannya menikahi perempuan sampai empat orang, sedang syarat pentunjuk pelaksanaan dan teknisnya telah digariskan oleh Nabi dengan alasan-alasan demi kepentingan sejarah dan kemanusiaan?

Apa alasan kemanusiaan kedua Ustadz ini, atau ustad-usatad lain? Sejarah yang bagaimana dan kemanusiaan yang mana? Maukah mereka menikahi janda-janda jelek dan atau  tua yang hidup miskin, banyak anak, berakhlak mulia? Kadang hafal Al Qur’an. Hidup di kampung-kampung dengan fasilitas yang sederhana?

Para perempuan istri para Ustadz ini mungkin berpikiran melaksanakan sunah para ummahatul mu’minin, yang diperistri Nabi dalam kedaan sederhana bahkan kekurangan. Maukah mereka menjadi istri para kyai yang hidup di pondok pesantren salaf di kampung dan di desa, hafal al Qur’an, hidup sesuai dengan yang dicontohkan Nabi, yaitu sederhana, berakhlak mulia, berilmu tinggi, tidak kalah dengan Sang Ustadz dan kyai. Menjadi istri pertama saja? Maukah? Apalagi menjadi istri kedua, ketiga, dan seterusnya dari mereka? Mereka harus hidup tanpa fasilitas modern; mobil, Handphone keluaran terbaru, pakaian yang bagus dan glamour, rumah yang megah dengan halaman dan kebun yang luas. Melainkan mereka harus hidup di sawah, kotor dengan tanah, kepanasan dan kehujanan, rumah lantai biasa, dan tempat tidur yang tidak empuk. Inilah nilai-nilai kesederhanaan yang dimiliki Nabi   dan para ummahatul mu’minin. Inilah sunah yang harus ditiru oleh para kyai dan tentu istri-istri kyai. Mengapa mereka mencontoh sunah yang enak-enak saja dan seenaknya?

Banyak laki-laki yang membujang tidak laku menikah, karena alasan ekonomi yang lemah, tapipara pemimpin agama berpoligami karena kaya. Para perempuan juga memilih menjadi istri kedua, ketiga, dan istri simpanan dari para pemimpin yang kaya, daripada menjadi istri pertama laki-laki yang hidup susah atau sederhana. Dan semua itu mengkambinghitamkan sunah.

Satu lagi implementasi sunah yang salah kaprah dari kedua ustad ini, yaitu olah raga berkuda dan memanah. Apa suatu keharusan, meskipun ada perintah. Eranya sudah berbeda, Ustadz? Kuda dan memanah diperintahkan oleh Nabi dalam rangka kepentingan perang, bukan gaya hidup. Artinya kedua sunah tersebut dapat ditinggalkan, diabaikan, dan tidak perlu dilakukan ( lagi ). Jika dilakukan, maka itu dapat menimbulkan ke-ria-an. Semata-mata gaya hidup, karena mahalnya ke-dua jenis olah raga tersebut sekarang ini. Kalau konteksnya mau perang, ini negara aman. Dan kalau perang benar terjadi, tentu berkuda dan memanah akan kalah dengan tank dan bedil. Jadi ini contoh ibadah yang menarik dan ditarik dari dimensi ruang dan waktu, dikarenakan ke-kurang-arifan di dalam memahami syareat. Intinya adalah hal-hal yang dicontohkan tentang sunah lebih berimplikasi kepada keduniaan dibanding ibadah, bahkan dapat menimbulkan fitnah. Kaidah ushul fiqh menyebutkan, bahwa mencegah kerusakan harus diutamakan dibanding mencari suatu kebaikan.

Poligami baik, berkuda dan memanah, juga baik, tetapi tetap harus melihat dimensi ruang dan waktu, berupa keadaan masyarakat ( yang mayoritas hidupnya susah ), bukan sekedar karena adanya perintah dan contoh yang dilakukan oleh Nabi. Maka diperlukan kearifan dalam beribadah, dengan memperhatikan batasan-batasan kualifikasi dan katagorisasi, kepantasan, dan penyusunan skala prioritas, dari yang wajib ke sunah atau mubah, dan dari yang utama, kepada yang bukan utama. Masih banyak kewajiban-kewajiban dan sunah-sunah utama yang harus dilakukan, tetapi terabaikan. Tetapi mengapa kita memprioritaskan  poligami, berkuda dan memanah yang sebetulnya tidak terlalu penting bagi masyarakat  Islam  kita saat ini, karena sunah-sunah itu bukan skala prioritas yang harus dilaksanakan terlebih dahulu.***

*) Penulis Kader NU Pinggiran Kab. Cilacap.  pengasuh Ponpes Bumi Aswaja Daarut Taubah wa Tarbiyah Lapas Klas IIB Cilacap.

Penulis
Toufik Imtikhani, SIP.
Leave A Reply

Your email address will not be published.