The news is by your side.

Cinta Buta dalam Pilpres

Oleh: Toufik Imtikhani al Kalimasi*)

“ CINTA itu buta”. Tahi kucing pun rasa coklat. Ungkapan klise itu dapat menggambarkan kondisi psikologi dan hati para pendukung Pilpres yang ada. Kalau kita ikuti dari menit ke menit, waktu ke waktu, dari acara demi acara, sejak obrolan warung kopi, chating di medsos, acara seminar, ceramah di youtube, hingga talk show di TV, dalam rentang waktu tahun politik ini, semua menggambarkan rasa cinta yang irrasional kepada paslon peserta Pilpres pujaannya. Nampaknya para pendukung ini fall in love tanpa reserve. Ya namanya cinta memang buta. Semua keadaan yang ada pada yang dicintainya, adalah baik dan menyenangkan, tanpa syarat dan guarantee. Cinta yang sebenarnya memang cinta tanpa syarat. Sementara kepada yang dibencinya, semuanya tak ada yang baik dan menyebalkan.

Kecintaan rakyat kepada Jokowi-( dan Ma’ruf Amien ), tentu dimulai ketika Jokowi menjadi Walikota Solo periode 2005-2012. Sepak terjangnya dalam mengelola pemerintahan dan kekuasaan di Solo membuat Solo menjadi kota yang maju. Gaya kepemimpinannya yang merakyat menyebabkan Jokowi dekat dengan rakyat, dan mengetahui secara persis persoalan yang diahadapi oleh rakyat. Jokowi sering melakukan turba dan blusukan untuk memupuk rasa empati-simpati, dan jarang hanya duduk di belakang meja serta menerima laporan dari bawahan yang asal bapak senang ( ABS ). Keberhasilannya dalam memimpin Solo menyebabkan ia terpilih kembali untuk periode ke-duanya, yaitu pada tahun 2010-2015.

Namun nampaknya popularitas dan tingkat kecintaan rakyat yang tinggi ini, menjadi alasan kuat bagi Partai Demokrasi Perjuangan dan partai-partai lain, termasuk Gerindra waktu itu, untuk mengusung Jokowi pada Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2012. Jokowi bersama Basuki Tjahaya Purnama ( Ahok ), pun memenangi kontestasi politik di daerah Ibu Kota tersebut, mengalahkan petahana Fauzi Bowo, yang justru merupakan orang asli Jakarta. Jokowi hanyalah seorang pendatang. Tapi ini membuktikan bahwa Jokowi dicintai oleh rakyat, dari kalangan manapun dan dimanapun.

Kecintaan dan harapan rakyat pun tidak sampai di situ. Tahun 2014, sebelum usai masa jabatan satu periode sebagai Gubernur DKI, rakyat menghendaki agar Jokowi maju dalam pemilihan presiden. Harapan rakyat itu ditangkap oleh PDI-P dan partai-partai koalisi lainnya. Maka dipasangkan dengan Jusuf Kalla, politisi senior Golkar, mantan Wapres periode 2009-2014, Jokowi berhasil memenangkan pemilu presiden, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Suatu bukti lagi bahwa rakyat benar-benar jatuh cinta dengan Jokowi.

***

Pada Pilpres tahun 2019 ini, Jokowi berpasangan dengan figur yang sudah “ sepuh” untuk ukuran anggapan sebagian rakyat kita, KH. Ma’ruf Amien. Beliau bukan seorang politisi masa ini, tetapi ulama yang negarawan. Ketua MUI dan Rois Syuriah Nahdlatul ‘Ulama. Apa yang membuat rakyat mencitainya?

Figur kyai dalam tradisi santri adalah figur yang sentral. Sikap santri kepada kyainya adalah “ sami’na wa atho’na”, tanpa reserve. Apapun yang diperintahkan dan dilakukan oleh sorang kyai atau guru, maka seorang santri tidak akan membantah.

Posisi kyai Ma’ruf dalam struktur kaum santri, adalah berada dalam puncak piramida, baik dalam kapasitasnya sebagai Ketua MUI atau Rois Syuriah NU, pada waktu itu. Jadi dapat dikatakan saat ini, kyainya kyai ya Kyai Ma’ruf Amien. Secara struktural. Tentu menjadi lain jika bicara secara kuktural. Di daerah-daerah masih banyak Kyai yang reputasinya jauh di atas Kyai Ma’ruf. Dengan kondisi dan posisi inilah, Kyai Ma’ruf dicintai oleh rakyat, terutama dari kalangan muslim tradisional.

***

KECINTAAN rakyat kepada Jokowi tentu tidak sepenuhnya terjadi. Berbagai ketidakpuasan dan ketidaksenangan pasti ada. Juga kepada Kyai Ma’ruf Amien. Sehebat apapun pembuktian mereka dalam bidangnya, tentu menciptakan ruang-ruang kosong dalam hati rakyat yang tidak dapat ditutupi dengan rasa cinta.

Apalagi Jokowi dalam perjalanan karier politiknya seperti tidak me-representasikan simbol-simbol islami. Padahal kita semua tahu bahwa rakyat Indonesia mayoritas beragama Islam. Nah, representasi inilah yang tidak nampak sekali, sampai kemudian sebagai puncak ketidaksenangan itu, memunculkan isu bahwa Jokowi adalah keturunan PKI. Secara bersamaan dalam kurun karier politik Jokowi sejak di Solo sampai sekarang, secara masifada trendatau kecenderungan semakin menguatnya kelompok-kelompok Islam yang mengedepankan simbol-simbol secara legal-formal. Dan signal-signal ini tidak dapat ditangkap oleh Jokowi, dengan misalnya mengikuti alur pemikiran dan budaya legal-formal. Jokowi tetap tampil apa adanya seperti awal dia nampak di depan rakyat pemilihnya. Ia tidak melakukan metamorfosa atau kamuflase demi memuaskan keinginan beberapa pihak.

Maka pada tahun 2016-2017, Jokowi diserang dengan isu-isu SARA. Titik awal penyerangan itu salah satunya lewat Basuki Tjahaya Purnama. Pada periode itulah, fragmentasi umat Islam sangat parah. Konstelasi politik sulit untuk ditebak arahnya. Kebencian kepada pemerintahan Jokowi meluap. Medsos diisi dengan berbagai ujaran kebencian dan hoaks.

Untuk meredam situasi itu, Jokowi justru merapat kepada kelompok muslim tradisional ( NU ) dan Muhammadiyah serta komponen Islam moderat lainnya. Salah satu wujudnya adalah mengangkat Ma’ruf Amien sebagai calon wakilnya dalam Pilpres 2019. Ma’ruf Amien adalah figur puncak yang mewakili kelompok muslim moderat.

Di sini peran NU lebih dominan. Panggung politik Jokowi menjadi panggung politik NU. NU kemudian banyak berhadapan dengan kelompok-kelompok muslim radikal dalam politik. Berbagai konflik di daerah menjadi bukti bahwa lawan menjadi berubah. Kalau pada awalnya mereka melawan, katakanlah, Jokowi dan pemerintahannya, maka spektrum pertarungan itu menjadi luas lagi dengan kelompok muslim tradisional.

***

Kekosongan hati dalam “Cinta” kepada Jokowi inilah yang kemudian terisi dan diisi oleh Figur Prabowo Subianto. Kelompok ini fall in love dengan Prabowo, tanpa reserve. Namanya saja cinta, tentu apapun yang terjadi, dan bagaimanapun keadaannya, tetap cinta, tanpa syarat, tanpa guarantie. Susah senang bersama.  Semua yang datang dari figur Prabowo, semuanya baik dan benar. Karena sudah jatuh cinta.

Jika sebagian rakyat kita jatuh cinta kepada Prabowo, tentu tidak salah. Bukan semata-mata karena alasan demokrasi, tetapi figur Prabowo juga bukan orang sembarangan. Lama meniti karier di dunia militer, dengan reputasi yang mentereng, Prabowo jelas mempunyai kelebihan yang dapat diandalkan dalam memimpin bangsa ini ke depan. Pada saat di dunia militer, ia jauh melesat di atas kawan-kawan se-angkatannya di AMN. Pada tahun 1995-1996 pada saat berpangkat kolonel, ia bersama Soesilo Bambang Yudhoyono di juluki the rising star. Ini menjadi bukti bahwa pilihan kepada Prabowo oleh sebagian rakyat kita, tidak salah.

Dikarenakan kemungkinan, dan ini jelas, bahwa pemilih Prabowo sebagian besar adalah muslim, untuk memperkuat kedudukan politik dan karakter ke-islaman, beberapa kelompok ulama dan Habaib, serta politisi muslim, membuat kesepakatan yang kemudian disebut ijtima” ulama, untuk mendukung Prabowo sebagai calon presiden pilihan “ orang islam “. Dengan label ini maka kaum muslim yang “ belum cinta” kepada siapapun, setelah tidak senang dan patah hati dengan Jokowi, mengalihkan pilihannya kepada Prabowo, sebagai pilihan yang diarahkan oleh ijtima’ ulama. Sehingga arah politik mereka menjadi jelas.

Adapun Sandiaga Uno, ternyata banyak dicintai oleh kelompok ibu-ibu. Mungkin karena figur yang segar, muda, tampan dan kaya raya. Kecintaan mereka kepada Sandi kemudian dibuktikan dengan pengelompokan mereka membentuk semacam partai bayangan yang disebut Partai Emak-emak.

Seorang perempuan kalau sudah jatuh cinta, ternyata sulit untuk melupakan. Pembuktian cinta mereka kepada Sandi sangat luar biasa, setia dan rela berkorban untuk yang dicintainya. Inilah cinta seorang ibu, istri, kekasih, yang tidak peduli apa kata orang terhadap Sandi. Mereka berharap Sandi bersama Prabowo menang dalam pilpres 2019. Saking cintanya kepada pasangan ini, sampai-sampai seorang emak-emak yang bernama Neno Warisman, memperingatkan Tuhan, akan bahayanya kalau pilihan mereka kalah dalam Pilpres 2019. Inilah wujud cinta. Dengan maksud tentu unntuk membakar “ gelora asmara” para pendukung Prabowo-Sandi, agar mencapai titik kulminasi yang diharapkan, jangan sampai mengalami ejakulasi dini atau impotensi di tengah jalan. Inilah makna dan pembuktian kata “ cinta”.

***

KARENA rasa cinta, semuanya nampak baik. Yang dikatakan yang terbaik. Yang buruk tidak nampak, karena seorang pecinta tidak akan menampakkan keburukan kepada yang dicintainya. Maka cinta jauh dari rasionalitas dan berpikir yang logis, apalagi sistematis. Cinta itu buta.

Maka pendekatan rasa cinta ini sulit untuk merubah konstelasi politik, meskipun dengan propaganda dan agitasi sekalipun. Karena rasa cinta kepada paslon tertentu berjalan sangat natural. Berbagai survey yang dilakukan dari waktu ke waktu hingga sekarang, dan bisa jadi sampai pilpres selesai, juga tidak menunjukan perubahan yang signifikan. Elektabilitas Jokowi-Ma’ruf berkisar antara 53,5 % dan Parabowo-Sandi rata-rata 35,5 %, swing votters, atau kelompok yang belum menentukan pilihan sekitar 11 %. Barangkali yang 11 % adalah pemilih yang rasional, karena sedang meng-elaborasi keunggulan komparatif masing-masing paslon.

Namun demikian, suguhan rasa cinta yang irrasional itu membuat spektrum kebingungan bagi rakyat awam. Dari sisi positifnya mengandung pengertian, bahwa memilih siapapun itu baik dan tidak salah, sepanjang tidak ada tekanan dari siapapun.  Maksudnya, biar rakyat memilih dengan hati nuraninya, sekehendak hatinya. Artinya, tidak ada paslon peserta pilpres yang buruk. Semuanya berkualitas untuk membawa Indonesia ke arah kemajuan. Jadi kata kuncinya adalah, penghargaan setinggi-tingginya kepada pilihan rakyat, meskipun pilihan rakyat itu tidak sesuai dengan kehendak kita. Walapun juga kita sudah berusaha sekuat tenaga agar pilihan rakyat sama dengan kehendak kita. Toh ending point-nya kita harus menyerahkan semua kepada takdir Tuhan. Fox populi fox dei.***

*) penulis adalah pengasuh Ponpes Bumi Aswaja Daarut-taubah wa tarbiyah Lapas Cilacap.

Penulis
Toufik Imtikhani, SIP.

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.