Saran Lakpesdam PBNU soal Gejala Radikalisme di Instansi Negara
Ketua Lembaga Kajian dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Rumadi Ahmad mengaku tidak kaget dengan munculnya gejala intoleransi dan radikalisme di kalangan profesional Indonesia, baik yang bekerja di sektor swasta maupun yang bekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Saya tidak kaget soal ini,” kata Rumadi menanggapi hasil survei Alvara di Hotel Sari Pan Paific Jakarta, Senin (23/10).
Alvara melakukan survei terkait sikap dan pandangank kelas menangah dengan melibatkan 1200 responden profesional yang terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), pegawai BUMN, dan profesional swasta. Hasilnya, enam belas persen dari total responden yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam atau khilafah.
Menurut Dosen UIN Sayarif Hidayatullah Jakarta itu, merembesnya intoleransi di kalangan profesional disebabkan oleh keteledoran masyarakat Indonesia dalam mengawal ideologi Pancasila.
“Rekrutemen aparatur sipil negara di kementerian-kementerian selama ini tidak memperhatikan ideologi kebangsaan (yang direkrut),” ujarnya.
Ia menyesalkan, respon pemerintah terhadap intoleransi dan radikalisme yang berkembang di lingkungan instasni pemerintahan tersebut masih bersifat sporadis. Tidak ada upaya serius yang dilakukan pemerintah untuk menumpas pegawai yang memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Oleh karena itu, Rumadi berharap, pemerintah seharusnya merancang rencana strategis untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Kemenag, Kemendikbud, Kemenristekdikti, dan BNPT semestinya bekerja bersama-sama untuk menyikapi persoalan tersebut.
“Sehingga terbentuk rencara startegis nasional dan peta besarnya,” ucapnya.
Mewaspadai media sosial
Rumadi menerangkan, media memiliki peran yang sangat penting dalam memasarkan ideologi, termasuk ideologi intoleransi dan radikalisme. Naasnya, media sosial adalah sumber utama bagi generasi milenial dalam mencari sebuah informasi.
Maka dari itu, Rumadi mengingatkan agar belajar agama kepada orang yang memiliki otoritas keilmuan, bukan dari orang yang tidak memiliki otoritas keilmuan atau bahkan dari internet.
“Orang yang memiliki otoritas adalah orang yang memiliki sanad keilmuan,” tuturnya.
Selain itu, orang yang memiliki sanad keilmuan seharusnya lebih aktif dalam berdakwah sehingga orang yang mencari informasi seputar keagamaan benar-benar tercerahkan. (Muchlishon Rochmat/Fathoni)
Sumber : NU Online