Sejarah Khilafah
Akhirnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan pemerintah lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Banyak kontroversi tentang Perppu itu; HTI menjadi ‘korban’ pertama, terutama karena gagasan, konsep, tujuan dan gerakannya untuk mendirikan ‘khilafah’ dan menegakkan ‘syari’ah’.
Bagi HTI ‘khilafah’ adalah satu-satunya entitas, lembaga dan sistem politik yang dapat mengatasi kenestapaan dan masalah yang dihadapi Islam dan umat Muslim. Hanya dengam ‘syari’ah’ keteraturan dan ketertiban dapat diwujudkan.
Aktivisme HTI untuk mewujudkan cita-citanya terlihat menonjol sejak masa pasca-Orde Baru; yaitu masa kebebasan, liberalisasi politik dan demokratisasi. Meski HTI menolak demokrasi, dalam kenyataannya HTI memanfaatkannya untuk sosialisasi dan kampanye khilafah dan syari’ah yang tidak sesuai dengan NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. Kenyataan ini membuat HTI dalam masa Orde Baru tidak secara terbuka menampilkan dirinya karena—mudah dipahami—Presiden Soeharto sangat keras terhadap mereka yang tidak sesesuai dengan keempat prinsip (‘pilar) dasar tersebut.
Sebaliknya, pemerintah RI pasca-Soeharto—sejak dari Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono—pada prakteknya tidak menganggap HTI sebagai ancaman serius terhadap NKRI dan Pancasila. Mereka membiarkan HTI bergerak bebas. Barulah Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo mengambil langkah drastis dengan mengeluarkan Perppu No 2 Tahun 2017 yang berujung pada pembubaran HTI.
Aktivisme HTI mengampanyekan khilafah secara terbuka terlihat pada Konperensi Khilafah Internasional yang mulai diselenggarakan HTI pada 12 Agustus 2007 dan tahun-tahun sesudah itu. Tak banyak reaksi kaum arus utama (mainstream) terhadap konperensi khilafah yang berkelanjutan; sampai dua tahun terakhir ini ketika Banser Ansor mulai mengkonter HTI.
Sementara itu, konperensi khilafah HTI selalu menarik perhatian media internasional khususnya. Beberapa hari sebelum dan pada ‘Hari H’ Konperensi Khilafah pertama penulis Resonansi ini diwawancarai beberapa media internasional, termasuk al-Jazeera English live dari Jakarta. Bagi kalangan media internasional yang memiliki persepsi atau bias terhadap Hizbut Tahrir (HT), Konperensi itu memiliki signifikansi sendiri. Dari pertanyaan yang mereka ajukan, tergambar seakan-akan dengan Konperensi itu Islam Indonesia telah berubah drastis; kesan mereka, ‘khilafah’ segera berdiri (entah di mana); dan syari’ah Islam seolah-olah segera berlaku di seluruh Indonesia.
Konperensi itu diselenggarakan bertepatan dengan 28 Rajab (1428 H). Konon di tanggal yang sama dengan apa yang disebut HTI sebagai ‘Khilafah Utsmaniyyah’ di Turki dihapuskan penguasa sekuler Turki, Kemal Ataturk pada 1924. Jika orang Turki saja tidak pernah menangisi tamatnya riwayat ‘khilafah’, sebaliknya HT umumnya di berbagai penjuru dunia meratapi berakhirnya kekuasaan Turki Utsmani itu sebagai tamatnya persatuan Islam.
Apakah sebenarnya ‘khilafah’ tersebut? Masih relevan atau viable kah pembentukan ‘khilafah’ di tengah realitas dunia Muslim dan internasional yang tidak kompatibel?
Penulis Resonansi ini dalam wawancara khusus tentang ‘khilafah’ dengan majalah al-Wa’ie, media resmi HTI, pernah menyatakan, gagasan tentang ‘khilafah’ yang mereka usung merupakan romantisme dan idealisasi sejarah. Karena, kalau rujukan gagasan ‘khilafah’ adalah kekuasaan Turki Utsmani, sejak awal pembentukannya di masa Sulaiman al-Qanuni, para penguasanya hampir tidak pernah menyebut diri mereka sebagai ‘khalifah’, sebaliknya menyebut diri sebagai ‘sultan’.
Meski berhasil menjadi ‘adi kuasa’ di wilayah Timur Tengah dan Laut Mediteranian, para penguasa Usman nampaknya menyadari, institusi khilafah dan jabatan khalifah dan bukan sembarangan. Penguasa Turki Usmani sadar mereka pada dasarnya adalah ghazi, perwira atau pejuang, yang karena perjalanan sejarah menjadi para penguasa. Karena itu kekuasaan yang mereka bangun dalam ilmu politik moderen bisa disebut sebagai ‘oligarki militer’ yang mengalami transformasi menjadi kesultanan.
Sampai masa Tanzimat (reformasi) sejak paroan kedua abad 19, banyak sultan Turki Utsmani lebih dikenal sebagai penguasa despotik, yang lebih asyik dengan diri mereka sendiri daripada mempedulikan rakyat. Akibatnya, Dinasti Usmani mengalami peragian dan pembusukan (decay), sehingga akhirnya tidak mampu menghadapi kekuatan Eropa yang terus ekspansif.
Tetapi untuk menciptakan citra kesalehan diri, penguasa Usmani mendirikan banyak madrasah dan masjid megah di berbagai tempat di Timur Tengah. Selain itu mereka juga memberikan beasiswa bagi para penuntut ilmu, khususnya yang berada di Haramayn (Makkah dan Madinah).
Istilah ‘khilafah’ bisa dipastikan sejak akhir abad 19 sampai sekarang lebih terkait dengan entitas atau lembaga dan sistem politik dan kekuasaan. Istilah itu tidak terlalu terkait dengan agama seperti diungkapkan dalam dua ayat Alquran (al-Baqarah 2;30, dan al-Shad 38;26). Ayat pertama berbicara tentang penciptaan manusia sebagai ‘khalifah’ dan dalam ayat kedua tentang Daud sebagai sebagai ‘khalifatullah’ yang berkewajiban memerintah dengan adil—tidak mengikuti hawa nafsu.
Kedua ayat ini menekankan pengertian manusia sebagai ‘khalifah Allah’—wakil Allah di muka bumi yang bertugas memakmurkan alam semesta dengan mandat yang dia miliki. Tetapi, sejak masa Abu Bakar Shiddiq menggantikan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Muslim, istilah ‘khalifah’ mendapatkan konotasi dengan kekuasaan politik. Khalifah Abu Bakar menyebut diri sebagai ‘khalifah Rasulillah’, pengganti Rasulullah dalam kepemimpinan entitas politik Islam yang kemudian disebut sebagai khilafah.
Gagasan khilafah menyerukan pembentukan satu kekuasaan politik tunggal bagi seluruh umat Islam di muka bumi ini tanpa mengenal batas wilayah, dan tradisi sosial-budaya. Inilah gagasan yang dapat dipertanyakan kelayakan dan keberlangsungannya (viability). Kesatuan semacam itu tidak pernah terwujud, bahkan sebelum berakhirnya kekuasaan al-Khulafa’ al-Rasyidun. Hanya pada masa Abu Bakar (632-634M/11-13H) dan Umar bin Khattab (634-644M/13-23H).
Tetapi sejak masa khalifah ketiga Utsman bin Affan (644-655M/23-35H), terjadi pertikaian dengan ‘Ali bin Abi Thalib—kemudian menjadi khalifah keempat (655-660M/35-40H). Sejak itulah persatuan umat Islam di bawah satu kekuasaan politik tunggal lebih merupakan imajinasi yang jauh daripada bisa diwujudkan dalam realitas. Di masa kedua khalifah ini muncul konflik sektarian antara Khawarij yang disusul dengan konsolidasi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Syi’ah. Semua kelompok dan aliran sektarian ini bukan tidak sering terlibat kontestasi keagamaan dan politik sejak masa Khalifah Usman bin Affan sampai sekarang.
Oleh karena itu, bisa dipahami kenapa sejarawan Ibn Khaldun berkesimpulan, institusi politik khilafah telah berakhir dengan selesainya masa kekuasaan keempat sahabat utama Nabi Muhammad. Institusi dan entitas politik pasca-Khulafaur-Rasyidun bukan khilafah, tetapi mamlakah, kerajaan atau dinasti sejak dari Dinasti Umaiyah dan Dinasti Abbasiyah.
Dinasti Usmani Turki juga mamlakah yang di masa akhirnya yang terus terdesak menghadapi kekuatan Eropa dan epigonnya golongan Turki Muda juga menyebut diri atau diklaim kalangan umat Islam lain sebagai khilafah Usmaniyah. Dinasti Usmani yang di masa puncak kejayaan menjadi kuasa adijaya di kawasan Arabia, Laut Tengah, Afrika dan Lautan Hindia menjadi subyek idealisasi dan romantisasi pendukung gagasan khilafah semacam HTI dan penghapusannya oleh Turki Muda pada 1924 terus diratapi.
Meski lebih merupakan mamlakah, para penguasa Dinasti Umaiyah dan Abbasiyah mengklaim diri sebagai ‘khalifatullah fil ardhi’ atau bahkan juga sebagai zillullah fil ardhi—‘bayang-bayang Allah di muka bumi’. Dengan cara begitu, para penguasa yang menyebut diri khalifah membangun aura keilahian dan absolutisme kekuasaan atas nama Allah.
Dalam perjalanan sejarah, konsep khilafah merupakan kontra-wacana terhadap gagasan dan praksis Eropa tentang bangsa (nation), nasionalisme dan negara-bangsa (nation-state). Konsep dan praksis Eropa ini dipandang sementara pemikir dan aktivis politik Muslim sebagai memecahbelah umat Muslim sehingga selanjutnya kian mudah dikuasai kolonialisme Eropa.
Dalam konteks itu, pembangkitan kembali gagasan khilafah merupakan upaya mengaktualisasikan semangat pan-Islamisme dalam menghadapi kekuatan kolonialisme Eropa. Pan-Islamisme adalah gagasan religio-politik tentang kesatuan umat Islam di berbagai penjuru dunia—sekali lagi, tanpa mengenal wilayah, perbedaan etnis dan suku bangsa, budaya dan tradisi lokal—di bawah lembaga dan entitas politik khilafah.
Meski demikian, gagasan khilafah tidak seragam. Jamaluddin al-Afghani (1838-1897) yang dikenal sebagai tokoh pertama pan-Islamisme mengusulkan pembentukan ‘khilafah politik’ yang berpusat di Istanbul dan ‘khilafah agama’ yang berpusat di Makkah. Gagasan dan konsep tentang adanya dua khilafah itu juga dikemukakan lebih komprehensif oleh Abdul Rahman al-Kawakibi (1855-1902) pemikir asal Syria.
Adanya konsep dan praksis khilafah politik dan khilafah keagamaan bertahan sampai masa kontemporer. Ikhwanul Muslimin dengan berbagai pecahannya mendukung konsep khilafah politik; setali tiga uang dengan HTI. Sementara Ahmadiyah misalnya menegakkan institusi khilafah keagamaan yang berpusat di London, Inggris.
Bagaimana ‘khilafah’ di Indonesia? Sejauhmanakah popularitas dam akseptabilitas ‘khilafah’ sebagai entitas politik universal dan ‘syariah’ sebagai tata hukum yang menjadi tema pokok dan tujuan HTI dalam waktu dua dasawarsa terakhir ketika ormas yang sudah dibubarkan pemerintah RI melalui Perppu No 2 Tahun 2017?
Sejumlah penelitian yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pasca-Soeharto khususnya sejak 1999, menunjukkan ‘khilafah’ sebagai entitas politik untuk menggantikan NKRI tidak pernah populer. Kecenderungan yang sama juga terdapat pada isyu ‘syari’ah’ sebagai dasar hukum.
Dalam survei dan penelitian yang dimaksudkan sebagai ‘barometer’ perkembangan dan dinamika politik Indonesia dari tahun ke tahun hampir selalu ditemukan lebih 80 persen responden menyatakan tetap memiliki komitmen pada NKRI. Sisanya terbagi menjadi pendukung ‘dawlah Islamiyah’ (negara Islam semacam NII/DI) dan khilafah.
Mayoritas umat Islam jelas tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman memadai tentang khilafah. Ketika para responden ditanya tentang hal-hal apa saja yang mereka ketahui mengenai khilafah, umumnya mereka mengakui tidak mengetahui persis. Bagi sebagian mereka, khilafah hanya sekadar alternatif bagi sistem dan lembaga politik yang ada—seperti demokrasi Indonesia—yang berasal dari Barat.
Kebanyakan responden juga tidak memahami hal terkait syariah sebagai dasar dan tata hukum kehidupan negara-bangsa. Mereka mendukung syariah sebagai dasar aqidah, ibadah dan muamalah. Tetapi ketika ditanyakan lebih rinci, misalnya apakah menerima hukum syariah potong tangan atau rajam, mereka rata-rata menolak.
Hasil-hasil berbagai penelitian tersebut menunjukkan NKRI dengan Pancasila sebagai dasar sudah relatif berurat berakar sebagai entitas politik. Meski ada ketidakpuasan terhadap praktek politik yang berlaku dari waktu ke waktu sejak masa Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden B.J. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai Presiden Jokowi sekarang, masih sangat sulit bagi umat Islam arus utama yang tergabung dalam NU, Muhammadiyah dan banyak ormas lain menerima alternatif bentuk negara lain semacam dawlah Islamiyah dan khilafah.
Penting dicatat, penciptaan nation-state Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar juga bisa terwujud karena sikap akomodatif, toleran dan kompromi para pemimpin Islam dan umat Muslimin Indonesia sejak masa persiapan kemerdekaan menjelang berakhirnya Perang Dunia II. Menteri Agama Alamsjah Ratuperwiranegara berulang kali menyatakan, Pancasila adalah hadiah terbesar umat Islam kepada negara-bangsa Indonesia.
Lagi pula, dari waktu ke waktu ormas Islam arus utama menegaskan komitmen penuhnya pada NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan NKRI dan Pancasila dianggap sebagai hasil ‘perjuangan final umat Islam Indonesia’.
Sikap seperti itu nampaknya terkait banyak dengan kenyataan historis politik Islam di Nusantara sejak masa kesultanan atau kerajaan (Islam) dalam akhir abad 13 dan selanjutnya. Hal ini juga terkait kenyataan tentang corak Islam yang berkembang sejak masa awal di Nusantara.
Pertama-tama, corak Islam yang berkembang sejak masa awal sangat diwarnai tasawuf. Memang juga terjadi kontestasi antara Islam berorientasi syariah atau fiqh dengan tasawuf, tetapi sejak abad 17 tasawuf menjadi bagian integral dari Islam Nusantara.
Dalam konteks itu, kebanyakan sultan atau raja memandang diri mereka sebagai ‘khalifah’—bukan sebagai penguasa politik, tetapi sebagai pemimpin kerohanian sempurna. Istilah ‘khalifah’ semula terkait dengan kepemimpinan tarekat. Tetapi lebih dari itu, mereka memandang diri sebagai representasi dari ‘quthb’ (poros rohaniah) atau ‘al-insan al-kamil’ manusia sempurna sesuai konsep Sufistik.
Tidak menerapkan khilafah sebagai entitas politik tunggal, kerajaan atau kesultanan di Nusantara juga tidak memberlakukan berbagai konsep dan praktik politik yang lazim di kawasan Dunia Muslim lain. Misalnya saja, di Nusantara tidak pernah diterapkan pembagian dunia menjadi ‘darul Islam’ atau ‘darus salam’ (ranah Islam atau wilayah damai) di satu pihak dan ‘darul harb’ (ranah non-Islam atau wilayah perang) di pihak lain.
Sebab itulah raja atau sultan tidak membagi warganya sesuai agama mereka menjadi dua kelompok; kaum Muslim di satu pihak dan penganut Hindu, Budha dan agama lokal yang masih cukup dominan di Nusantara di pihak lain. Mereka yang tidak beragama Islam tidak diperlakukan sebagai ahludz dzimmah (dzimmi). Karena itu mereka tidak dikenakan jizyah (pajak per kepala) sebagai imbalan atas perlindungan yang mereka terima dari raja atau sultan atau warga Muslim umumnya.
Sumber : Panrita.id
Sumber: