Sepanjang Selaras dengan Nilai Islam, Produk Perundang-undangan Wajib Ditaati
Banjar, NU Online
Peraturan perundang-undangan merupakan produk politik negara bangsa yang niscaya. Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2019 membahas pandangan Islam mengenai hal itu.
“Pandangan Islam terkait dengan produk perundang-undangan yang dihasilkan negara bangsa sepanjang produk peraturan tidak bertentangan dengan nilai Islam menjadi produk yang mengikat dan wajib ditaati,” tegas KH Najib Hasan, Ketua Sidang Bahtsul Masail Komisi Maudluiyah, di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, Kamis (28/2).
Adapun jika produk peraturan itu bertentangan, maka perlu diluruskan melalui mekanisme konstitusi yang berlaku. “Jika bertentangan dengan nilai Islam, maka umat Islam wajib meluruskannya melalui saluran yang ada,” katanya.
Hal ini diperkuat dengan pandangan KH Afifuddin Muhajir, pengajar di Ma’had Aly Salafiyah Syafiiyah Situbondo, Jawa Timur, bahwa produk peraturan yang bertentangan dengan hukum syariat yang sudah ditetapkan secara qath’i dalam nash, maka harus ditolak.
“Aturan perundangan yang jelas bertentangan dengan tsawabit jelas kita tolak. Hal itu bisa ditinjau ulang (iadatun nadhr),” katanya.
Sebab, menurutnya, aturan perundang-undangan di semua tingkatan itu sangat berpotensi berubah karena tidak ada dalil qathi dan sharih yang menerangkannya.
Lebih lanjut, Kiai Afif juga menerangkan bahwa kewajiban menaati pemerintah itu juga digambarkan dalam suatu hadis tentang Abu Hudzaifah yang dilarang berperang bersama Nabi oleh orang Quraisy. Nabi pun menyetujui hal itu karena terikat perjanjian.
“Artinya umat Islam itu terikat dengan perjanjian dengan siapapun. Sudah barang tentu menyangkut hal-hal yang tidak bertentangan dengan syariat,” terangnya.
Sementara itu, Katib ‘Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menginginkan jawaban persoalan tersebut lebih terperinci dan menyeluruh. Tidak hanya mencakup Muslim di Indonesia, melainkan juga Muslim di negara lain yang cenderung minoritas.
Pasalnya, ia menemukan penyembelihan binatang yang harus dipingsankan lebih dulu di Belgia yang tiga sampai empet persen penduduknya Muslim. Jika tidak demikian, maka pelaku akan terkena pidana.
Pun dengan Perancis yang melarang ekspresi keagamaan di ruang publik. Gus Yahya, sapaan akrabnya, mencontohkan shalat di bandara dilarang.
“Itu gak boleh. Kriminal,” katanya.
Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah ini mempertanyakan perlu tidaknya menaati peraturan yang demikian tersebut. (Syakir NF/Fathoni)
Sumber : NU Online