Sumur Sereh di Eretan, Indramayu: Jejak Pangeran Cakrabuana dan Pendaratan Jepang
Wahyu Iryana, sejarawan dan kader muda NU – Di tepi Laut Jawa yang tak henti bergelombang, Eretan menjadi saksi perjalanan waktu. Dari era dakwah Islam awal hingga pergantian penjajahan Belanda ke Jepang, pesisir kecil di Indramayu ini menyimpan kisah yang lebih dalam dari sekadar debur ombak dan nyiur melambai.
Salah satu jejak sejarah yang tertinggal di sana adalah Sumur Sereh. Sumur ini bukan sumur biasa. Airnya diyakini memiliki keberkahan, tak pernah kering meski kemarau panjang. Namun, lebih dari itu, ia menyimpan cerita lelaku Pangeran Cakrabuana—atau yang dikenal sebagai Ki Kuwu Sangkan Urip—dalam menyebarkan Islam. Dengan tangkai daun sereh sebagai alat sederhana, ia menancapkan ke tanah, dan dari situ, air kehidupan memancar.
Tak ada yang menyangka bahwa berabad-abad kemudian, di tempat yang sama, pasukan Jepang akan menginjakkan kaki, mengubah takdir Nusantara setelah tiga setengah abad dikuasai Belanda. Tangkai daun sereh yang dulu menjadi penanda keberkahan, di kemudian hari menjadi simbol datangnya badai baru dari timur.
Dakwah dan Tangkai Sereh
Pangeran Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi yang memilih jalan dakwah, berjalan jauh meninggalkan kejayaan Pajajaran. Ia tidak membawa pedang, melainkan ilmu dan keteladanan. Di sepanjang pesisir utara, ia berdialog dengan nelayan, petani, dan pendatang, menyebarkan Islam dengan lembut tanpa paksaan.
Saat tiba di Eretan, ia melihat tanah yang kering dan masyarakat yang hidup dari laut, tetapi minim sumber air tawar. Ia lalu menancapkan tangkai daun sereh ke tanah, berdoa, dan dengan izin Allah, dari situ memancar sumur yang airnya tak pernah kering. Sumur Sereh, begitu orang-orang menyebutnya. Ki Kuwu Berujar “Kelak dari sini akan datang Orang orang Bertubuh ayam Kate ke Tanah Air namun tidak lama, seumur jagung untuk menjajah menggantikan Bangsa Londo.”
Di sekeliling sumur itu, Pangeran Cakrabuana mengajarkan Islam. Masyarakat mulai mengenal wudhu sebelum shalat, menggunakan air bersih untuk kehidupan sehari-hari, dan memahami Islam sebagai agama yang membawa keberkahan. Dari sinilah, Islam tumbuh subur di pesisir utara.
Transisi dari Belanda ke Jepang
Zaman bergulir, dan Nusantara kemudian berada dalam cengkeraman penjajahan. Belanda, yang sejak abad ke-17 menguasai tanah ini, menjadikan Eretan sebagai salah satu jalur perdagangan dan sumber daya. Nelayan di sana dipaksa menyerahkan sebagian hasil tangkapan mereka kepada tuan-tuan kolonial. Sumur Sereh, yang dulu menjadi tempat berkumpulnya santri, perlahan kehilangan fungsinya.
Namun, Maret 1942 membawa perubahan besar. Jepang, dengan ambisi militernya, menyerbu Hindia Belanda. Pasukan mereka mendarat di berbagai titik pesisir, termasuk Eretan. Belanda, yang selama berabad-abad bertahan dengan keangkuhan kolonialnya, runtuh dalam hitungan bulan.
Orang-orang Eretan yang dulu mengenal penjajah berbahasa Belanda, kini harus berhadapan dengan serdadu Nippon yang keras dan tak segan bertindak kejam. Jika Belanda menjajah dengan birokrasi dan pajak, Jepang menindas dengan kerja paksa dan propaganda.
Penduduk Eretan mulai melihat tanda-tanda sebelum kedatangan Jepang. Salah satunya adalah jatuhnya tangkai-tangkai daun sereh di sekitar sumur, yang dianggap sebagai pertanda buruk. Orang-orang tua berbisik, mengingatkan kisah Pangeran Cakrabuana yang dulu menancapkan daun sereh sebagai simbol kehidupan. Kini, daun-daun itu berjatuhan tanpa makna, seakan memberi isyarat bahwa penjajahan baru akan segera tiba.
Dari Keberkahan ke Penderitaan
Jika Sumur Sereh dulu membawa keberkahan, pada masa Jepang ia menjadi saksi penderitaan. Tentara Jepang menguasai pesisir, menjadikannya titik logistik untuk kepentingan perang. Nelayan dipaksa menyerahkan hasil tangkapan mereka, rakyat diperintahkan bekerja membangun jalur transportasi, dan tak sedikit yang harus masuk ke dalam romusha—kerja paksa yang menguras tenaga tanpa ampun.
Pesantren dan masjid yang dulu berkembang di sekitar sumur mulai terancam. Ulama yang kritis terhadap Jepang dicurigai dan ditangkap. Namun, seperti air yang tak pernah habis meski ditimba terus-menerus, semangat rakyat Eretan tak padam.
Beberapa santri yang masih setia mengaji di sekitar Sumur Sereh tetap menghidupkan pengajian secara sembunyi-sembunyi. Mereka membaca doa-doa keselamatan, berharap penjajahan segera berakhir.
Tiga tahun kemudian, doa mereka terjawab. Jepang menyerah pada Sekutu setelah bom atom menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki. Namun, penderitaan rakyat tidak langsung berakhir. Indonesia masih harus berjuang mempertahankan kemerdekaannya, dan rakyat Eretan turut mengambil bagian dalam perlawanan.
Sumur Sereh, Tangkai Sereh, dan Ingatan Sejarah
Kini, Sumur Sereh masih ada, meski tak seramai dulu. Ia menjadi penanda bahwa dakwah Pangeran Cakrabuana meninggalkan jejak yang abadi. Sementara itu, tangkai sereh yang dulu menjadi pertanda air kehidupan, juga pernah menjadi simbol datangnya kesengsaraan di masa Jepang.
Sejarah terus berjalan, tetapi pesannya tetap sama: di tanah ini, kehidupan dan perjuangan tak pernah bisa dipisahkan.
Penulis Mencoba Membuat Syair tentang Pantai Eretan
Di tanah kering itu, kau menancapkan doa
tangkai sereh berdiri, seolah tak ingin tumbang
sumur pun lahir, mengalirkan berkah
nelayan datang, santri berwudhu
Angin membawa bisik ajaran
yang lembut seperti embun fajar
Eretan mengenal Islam dari sumur
dari tangan yang tak pernah menggenggam pedang
Lalu datang ombak yang lain
kapal baja merapat di pantai
serdadu turun dengan langkah kasar
menghapus jejak yang kau tinggalkan
Tangkai sereh berjatuhan ke tanah
seperti isyarat yang terlambat dibaca
sumur masih ada, tapi airnya keruh
sejarah berganti, luka bertahan
Namun, seperti doa yang tak habis
sumur itu tetap mengalir
sebab airnya lahir dari ketulusan
bukan dari ketakutan