The news is by your side.

Tiga Kekhilafan HTI Atas An-Nabhani

Oleh M Sulton Fatoni
Sejak lama para kiai Nahdlatul Ulama mengingatkan publik tentang bahaya pemikiran dan gerakan transnasional. Pada tahun 1999 misalnya, saat Muktamar Nahdlatul Ulama di Lirboyo para kiai sudah membaca indikasi adanya gerakan kepemimpinan global, baik berupa gagasan maupun praktik. Para kiai kembali bersuara tentang bahaya gerakan transnasional pada saat Musyawarah Nasional Alim Ulama tahun 2014 di Jakarta, terkhusus gerakan yang mengusung khilafah. Isu ‘khilafah’ mencuat tajam di Indonesia karena ada Hizbut Tahrir Indonesia.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) selama ini mengidentifikasi dirinya sebagai penerus perjuangan dan pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani. Beberapa literatur menunjukkan bahwa an-Nabhani merupakan sosok pemikir di bidang hukum Islam dan pendakwah Islam dari Palestina. Aktivitas dakwah an-Nabhani dalam situasi politik yang tidak menguntungkan bagi Palestina.
Hanya saja memahami HTI tidak semudah memahami pemikiran an-Nabhani. Beberapa kerumitan memahami HTI tidak lepas dari gerakan politik HTI yang menjauh dari gagasan original Taqiyuddin an-Nabhani. Setidaknya terdapat tiga kekhilafan (kesalahan) HTI dalam memahami gagasan Taqiyuddin an-Nabhani.
Kekhilafan pertama, HTI keliru dalam memahami kalimat an-Nabhani, ‘dawlah khilafah’. An-Nabhani memilih teks ‘dawlah khilafah’ bermaksud menjelaskan tentang teori negara. Menurut an-Nabhani, suatu negara itu harus memenuhi beberapa unsur penting, yaitu konstitusi, wilayah yang berpenduduk (berpenduduk muslim atau termasuk juga non muslim). Sebuah negara dikatakan sebagai negara Islam jika digagas oleh umat Islam dan mempunyai konstitusi yang tidak bertentangan dengan agama Islam. Namun di tangan HTI, gagasan an-Nabhani tentang ‘dawlah khilafah’ dimaknai dengan sebuah bentuk negara bentuk negara khilafah hingga sistem pemerintahan yang dipegang khalifah.
Kekhilafan kedua, tentang teks dan penjelasan an-Nabhani tentang ‘dakwah’. Sudah masyhur di kalangan ulama tentang maksud kata dakwah, yaitu tuntutan setiap muslim untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat manusia. Bahkan an-Nabhani menulis dalam kitabnya, ada atau tidak ada pemimpin bagi umat Islam, dakwah harus terus berlangsung. Artinya, Konsep dakwah versi an-Nabhani tidak berbeda dengan pengertian dakwah yang berkembang di dunia Islam. Namun kata ‘dakwah’ di tangan aktivis HTI menjadi aktivitas propaganda untuk mendirikan ‘negara khilafah’. Sering terbaca dalam tulisan-tulisan mereka bahwa persoalan apapun yang membelit suatu bangsa, solusinya hanya khilafah. HTI telah mempersempit pengertian dakwah menjadi propaganda pentingnya khilafah. Tentu ini langkah politisasi dakwah yang tidak pernah dicetuskan an-Nabhani.
Kekhilafan ketiga, penjelasan an-Nabhani tentang ‘dustur’ itu bermaksud menjelaskan pentingnya sebuah konstitusi bagi suatu negara. Konstitusi itu produk manusia yang disusun dari berbagai sumber yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Di tangan HTI, ‘dustur’ dimaknai dengan hukum Allah, yaitu al-Quran dan Hadits. Produk hukum apapun divonis hukum jahiliyyah karena tidak berdasarkan kepada hukum Allah.
Tiga kekhilafan besar HTI diatas berkonsekuensi melahirkan kesalahan-kesalahan turunannya. Seperti membenturkan Presiden RI dengan ‘khalifah’ yang masih abstrak, menghadap-hadapkan Pancasila dan UUD 45 dengan Al Quran-Hadits, menggugat nasionalisme mengunggulkan ukhuwwah islamiyyah dan lainnya. Kekhilafan-kekhilafan turunan itu semakin menjauhkan HTI dari originalitas gagasan an-Nabhani.
Kekhilafan sebagai Strategi HTI
Jika an-Nabhani tidak pernah menggagas sebagaimana yang dipahami HTI tentu terdapat agenda besar yang sedang dirancang HTI. Pada konteks ini HTI bisa dianalisa  sedang menjalankan strategi politiknya dalam mendirikan khilafah. Kekuatan pengetahuan dan wawasan para aktivis HTI dikerahkan dalam pertempuran wacana untuk kepentingan mencapai tujuan politik, yaitu mendirikan khilafah versi pemahanan mereka sendiri. Analisa selanjutnya adalah HTI melakukan ‘tafsir jauh’ atas teks-teks an-Nabhani sebagai tindakan yang sengaja dilakukan untuk mendapatkan mendapatkan kekuasaan.
Strategi HTI dapat ditelusuri dan dipilah menjadi beberapa isu besar, yaitu propaganda ‘kedaulatan di tangan Allah’ sebagai pengganti ‘kedaulatan di tangan rakyat’. Hukum Islam sebagai pengganti hukum jahiliyah. Targetnya adalah ketidakpatuhan warga negara terhadap hukum positif. Isu selanjutnya adalah propaganda bahwa kekuasaan di tangan Allah yang dimandatkan kepada umat Islam sebagai pengganti kekuasaan di tangan pemodal. HTI juga mempropagandakan konsep nasionalisme yang bertentangan dengan ajaran ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama umat Islam) dan memvonis nasionalisme sebagai biang perpecahan umat Islam. Propaganda lainnya adalah tuntutan mengangkat seorang pemimpin yang disebut “Khalifah” demi menyatukan umat. Selanjutnya memberikan kewenangan kekuasaan kepada khalifah di bidang hukum.
HTI cukup konsisten melakukan propaganda politiknya. Jika berhasil maka akan muncul kondisi-kondisi diyakini menguntungkan HTI. Di antara kondisi itu  terjadi ketidakefektifan Pemerintahan. Kemudian menguat menjadi kekacauan sistem pemerintahan. Puncak dari itu adalah terjadi penyerahan kekuasaan kepada pejabat yang terilfiltrasi HTI. Namun jika mencermati beberapa kasus Hizbut Tahrir di beberapa negara berpenduduk muslim, yang terjadi adalah para pejabat yang terilfiltrasi melakukan kudeta (merebut kekuasaan).
Berdasarkan sejarah, literatur Islam dan kenyataan keindonesiaan ini maka pada Musyawarah Nasional Alim Ulama tahun 2014 lalu para kiai Nahdlatul Ulama telah memutuskan untuk tidak setuju terhadap langkah sebagian umat Islam yang berusaha mendirikan khilafah di Indonesia.
Penulis adalah Ketua PBNU
Sumber : NU Online

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.