Titik Kesalahan Kemendikbud ketika Menyebut NU Radikal

Kalau kita membuka KBBI daring (online), kata radikal memang mempunyai beberapa makna. Malahan maknanya lebih banyak yang positif. Antara lain, bersifat mendasar atau menuntut perubahan yang keras. Kita juga sering mengatakan “perubahan yang radikal” dan tidak ada masalah dengan kalimat itu.
Namun ketika menjadi “radikalisme” maknanya hampir selalu negatif: perubahan yang dilakukan dengan cara kekerasan atau ekstrem.
Memang perubahan kata dari kata dasarnya tidak selalu mempunyai makna yang sepadan. “Kata” selalu terkait dengan maksud penggunaannya pada suatu waktu. Lalu, karena digunakan oleh banyak orang maka kata lebih sering multimakna, kecuali ketika dipakai sebagai teks perundang-undangan.
Kesalahan buku terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang menyebut Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas radikal sebenarnya adalah karena mereka memaknai radikal secara berbeda dengan makna yag digunakan sekarang.
Perlu diingat buku itu ditujukan kepada anak-anak sekolah, bukan para peneliti sejarah atau sejarawan. Para pengkaji sejarah tahu bahwa dalam memahami sejarah kita tidak bisa anakronis, menilai peristiwa tempo dulu dengan kondisi dan tata nilai yang berkembang sekarang. Tapi buku yang dimaksud ini ditulis untuk anak-anak sekolah yang lebih bersifat doktriner, pemahaman dan penanaman karakter.
Ada dua hal kira-kira yang menyebabkan kesalahan itu. Pertama, Kemendikbud (saat ini dipimpin Mendikbud Muhadjir Effendy, red) tidak menerbitkan buku yang sesuai dengan konteks dan kebutuhan sekarang. Kurikulum berubah, proyek penerbitan buku jalan terus tapi isinya tidak pernah dikoreksi sesuai proyeksi perubahan sekarang.
Kedua, ini yang sangat berbahaya, Kemendikbud ingin mengacaukan narasi yang sedang dibangun oleh pemerintah dalam mengatasi maraknya kelompok ekstrem yang mengganggu negara. Dengan memasukkan NU bersama PNI dan bahkan juga PKI sebagai kelompok radikal, Kemendikbud telah “bermain politik” dan berada di barisan kelompok radikal yang sedang berhadapan dengan pemerintah itu.
Padahal saat ini kita sedang mengembangkan narasi moderasi (terutama dalam beragama) agar kejadian-kejadian konflik dan kekacauan yang terjadi di Timur Tengah tidak menjalar ke Indonesia.
A. Khoirul Anam,Wakil Pemimpin Redaksi NU Online
Sumber : NU Online