The news is by your side.

Tradisi Menghafal dan Tradisi Googling

Muhammad Farhan Iskandar – Bagi NU, tradisi menghafal al-Qur’an, menghafal nadzom, menghafal tokoh, nama kitab beserta tahun wafatnya adalah makanan sehari-hari. Untuk memulai satu fan ilmu selalu ada materi yang harus dihafal, biasanya disebut denga nadzoman atau tashrifan.

Akal yang sempurna adalah anugrah tak terhingga yang diberikan Sang Maha Sempurna, akal ditugaskan untuk berpikir, menganalisa, dan membuat keputusan. Dalam Islam akal selalu menjadi syarat diterapkannya suatu hukum bagi seseorang, syarat masuk Islam harus berakal, syarat sah solat dan sebagainya atau dengan kata lain “tidak gila’’.

Meminjam kata dari Tan Malaka ”sebuah benda memiliki kodrat yang disebut hakikat”, akal ialah kodrat dari otak, otak dapat, hancur, lebur, sedangkan akal akan tetap ada walau otak sudah tak ada. Otak merupakan bagian dari organ tubuh manusia yang fungsinya sebagai CPU-pusat oprasional seluruh tubuh, sedang akal sistem yang terdapat dalam CPU.

Manusia yang normal akan terus menerus berproses, terus belajar untuk melakukan sesuatu, dengan terus mengamati, belajar dan beraksi. Menghafal menjadi salah satu aspek pelengkap dalam belajar, ia merupakan akses terbesar karna dapat menampilkan informasi yang telah dianalisa juga telah dihafal. Menghafal bisa juga disebut sebagai proses meresapkan ke dalam pikiran agar selalu hafal.

Sejarawan mengatakan bahwa orang Arab pada masa jahiliyyah tipe orang yang sangat kuat hafalannya, dan selalu mengandalkan hafalan dalam menerima sebuah informasi, satu faktor karna kurangnya dalam kemampuan menulis, terbukti ketika al-Qur’an turun, cara yang tepat untuk mengabadikannya dengan dihafal. Tidak sampai disana, para ulama masa klasik menghafal banyak sekali tulisan bahkan sebuah kitab mampu ia hafal. Seperti Ibnul Qoyyum al-Jauzi yang dapat menghafal satu kitab dalam beberapa jam saja ketika beliau di pasar menginginkan satu kitab namun tak dapat membelinya, ada juga perawi hadis yang memiliki ratusan ribu hadis dalam pikirannya.

Tentu menghafal satu bagian dari sunatullah, sebagai rasa syukur kita karna diberi akal sehat yang dapat berfungsi dengan aik.

Namun seiring revolusi industri, percepatan teknologi, kemajuan dunia maya, informasi yang semula ditulis dan dihafal, lebih mudah, lebih udah diakses, semakin banyak ditulis, juga lebih lama bertahan lama di tempat yang bernama jagat maya dibanding dengan hard paper berbentuk buku.

Kini manusia semakin tenang karna semua informasi terjaga dengan baik tanpa harus khawatir musnah atau hilang. Di sisi lain banyak orang harus terlena dengan akses yang mudah, tak perlu repot menyalin, mencari, menghafal, karna semua info yang diperlukan tinggal diakses, disimpan di ponsel, dan dibuka ketika dibutuhkan.

Tentu jika fenomena ini terus terjadi, manusia akan menyalahi kodratnya sebagai manusia yang berpikir, akan menjadi manusia yang kufur nikmat terhadap anugrah yang Allah berikan. Jika tradisi santri dalam menghafal  khususnya di pesantren, umumnya di luar pesantren pudar, maka apa yang akan diunggulkan kaum santri dalam persaingan teknologi 5 tahun kedepan?

Penulis: Muhammad Farhan Iskandar

Penulis
Muhammad Farhan Iskandar

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.