The news is by your side.

Tradisi Mudik merupakan Wajah Islam Nusantara

Tidak terasa waktu begitu cepat, Ramadhan telah sampai di penghujung pertermuan. Pertengahan Ramadhan dan di penghujung sepuluh hari terakhir menjadi momentum untuk menyibukan diri untuk beriktikaf (mendekatkan diri pada Allah) dengan berdiam diri di mesjid. Demikian juga itu menjadi momen sibuk umat Muslim begitu juga non Muslim untuk melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman. Termasuk di saat lebaran ini menjadi momentum bagi masyarakat untuk bersuka ria pulang ke kampung halaman.

Lebaran menjadi sebuah momentum penting bagi masyarakat Indonesia untuk dijadikan sebagai momen pulang ke kampung halaman atau bisa di istilahkan dengan kata mudik. Hampir tiap tahun ketika menjelang lebaran istilah mudik ini menjadi hal yang sering kita dengar dan kita simak di berbagai media termasuk media televisi.  Pernahkah kita bertanya dan penasaran, mengapa pulang kampung saat lebaran itu sering dikaitkan dengan istilah “mudik”?  apabila kita simak bahwa istilah mudik itu mempunyai makna  tersendiri dimana ini diartikan sebagai kegiatan perantau atau pekerja untuk kembali pulang ke kampung halamannya. Apabila kita bermain sebentar dengan istilah “mudik”, kata tersebut sebenarnya merupakan singkatan dari bahasa Jawa, dimana kata mudik merupakan singkatan dari “mulih dilik” yang memiliki arti pulang sebentar.

Jadi sebenranya kata mudik ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan Lebaran. Namun seiring perkembangan sosial dan budaya istilah mudik telah mengalami pergeseran makna.  Istilah mudik telah mengajarkan kita untuk bersilaturahmi dan dalam Islam menjalin silaturahmi sangatlah dianjurkan. Ini dapat kita jumpai dalam nash baik Al-qur’an maupun sunah yang menganjurkan kita untuk memperkuat silaturahmi dimana ini memberikan kedudukan yang mulia dalam islam. Seperti apa yang telah disampaikan oleh Anas bin malik dimana Rasulullah telah menganjurkan silarturahmi karena dengan silaturahmi itu akan memperluas rizki dan ditambahkan usianya. (HR. Muslim).

Tradisi mudik ini terbentuk sebagai pengejawantahan ajaran islam melalui tradisi hasanah yang kini berkembang dimasyarakat.  Dan istilah mudik pada saat lebaran ini merupakan wajah dari pengejawantahan Islam Nusantara.  Berkaca dari istilah tradisi mudik yang sekarang ini sedang terjadi,  ini dapat kita simpulkan bahwa hal tersebut merupakan karakteristik islam Nusantara.

Islam Nusantara memasuki nilai-nilai  dan ruh ajaran islam dalam kemasan tradisi dan budaya lokal Indonesia dimana tradisi ini tidak merusak substansi dan sakralitas ajaran Islam itu sendiri dalam artian bahwa istilah tradisi dalam wajah Islam Nusantara ini bukan mencampur adukan ajaran Islam dan tradisi (al-adah/uruf) akan tetapi bagaimana ajaran Islam itu dapat diaktualisasikan dan disinergiskan sesuai dengan konteks sosial dan budaya karena istilah mudik ini tidak ditemukan di Negara lain termasuk di Timur Tengah apabila kita sinergiskan dengan kemeriahan Timur Tengah justru Lebaran Idil Adhalah yang dijadikan tradisi kemeriahan bagi mereka termasuk di Arab Saudi sebagai bentuk rasa syukur mereka terhadap Allah SWT.  

Jadi berbeda terbalik dalam mencurahkan kebahagian dan kemenangan (iedil adaha dan iedil fitri di masing-masing Negara), di Indonesia, iedil fitri dijadikanmomentum mudik dalam dalam mencurahkan kemeriahannya agar dapat bisa bertemu dengan keluarga dan masyarakat dengan bentuk syukur walaupun substansi keduanya (iedil adha & iedil fitri) sama dalam ajaran Islam, yang membedakan hanyalah penyambutan publik di masing-masing Negara dalam memaknai kemeriahan Ied yang di pengaruhi oleh konteks sosial dan buidaya di masing-masing Negara. 

Justru dengan cara ini ajaran Islam bisa diterima oleh semua pihak termasuk masing-masing Negara bisa saling menghormati. Dengan karakteristik dan tradisi di setiap negara termasuk di Indonesia sudah setiap tahun mengenal istilah “mudik” , justru inilah yang menjadi karakteristik dan kulrtural Islam Nusantara dimana bisa menempatkan kebhinekaan dan keberagaman antar golongan bisa hidup bersama dan saling tegur sapa karena didalamnya kita membangun silaturahmi dalam ikatan mudik inilah merupakan sublimasi ajaran islam baik secara fiqih, aqidah dan tasawuf yang diejawantahkan melalui silaturahmi dalam bingkai “mudik”. 

Walaupun pada sesungguhnya tradisi “mudik” ini merupakan hal yang bid’ah karena tidak dicontohkan oleh rasulullah SAW atau tidak dapat di temukan dalil qaullinya akan tetapi tradisi mudik ini memberikan nilai positif dan nuansa religiusitas dalam membangun kebersamaan baik dalam keluarga, tetangga, termasuk konteks negara secara global bahkan berbeda keyakinanpun bisa saling tegur sapa dan saling menghormati dalam membangun kebersamaan dan kebhinekaan. Inilah hal positif yang dapat kita petik dalam memaknai mudik, sehiingga istilah mudik ini merupakan bid’ah hasanah yang menjadi washilah dalam menumbuhkan nilai dan religiusitas setiap individu.

Pada dasarnya penulis telah menyampaikan arti mudik diatas dimana istilah mudik ini memberikan makna tersendiri pada setiap individu untuk pulang ke kampung halaman baik dalam keadaan suka maupun duka.

Tapi pada hakiklatnya, apablika kita fahami dalam pendekatan tasawuf bahwa istilah mudik (ied) ini merupakan perbuatan setiap individu baik ataupun buruk sebagai bekal nanti untuk pulang pada sang Ilahi Rabbi dimana setiap individu mempersiapkan dan mempertanggungjawabkan setiap amal perbuatannya. Pada hakikatnya tradisi mudik (ied) ini memberikan hikmah besar pada setiap individu yaitu; litukmilul iddah (untuk menyempurnakan setiap proses kehidupan dan usaha dengan ikhlas);  litukabbirullaha ala ma hadzakum (untuk selalu menggemakan takbir  yang memberikan makna tersendiri yaitu untuk mengagungkan Allah baik dalam bentuk lisan, perbuatan dan dengan keikhlasan hati untuk terus diejawantahkan  dalam melalui pendekatan spiritual dan sosial kapan dan dimanapun); litaskurallah (agar dapat mensyukuri setiap apa yang kita jalani dan terima baik melalui perkataan, perbuatan dan dengan hati sehingga semua itu dapat di pertanggungjawabkan ketika setiap individu kembali kepada sang Khalik.

Penulis sampaikan dengan mudik ini semoga hati kita selalu dibersihkan dari setiap hal yang menjerumuskan kita pada kebathilan. Mudik merupakan tradisi hasanah (bid’ah hasanah) yang menumbuhkan nilai religiusitas kita dalam membangun kebersamaan dan keharmonisan kita antar sesama dan yang terpenting mengeratkan keharmonisan kita pada sang Khalik tempat kita kembali kepada-Nya.

Ditulis oleh:

Hapid Ali (merupakan Ketua Tanfidziyah MWC NU Cibiuk, Garut dan aktif di PW Lakpesdam NU Jawa Barat fokus pada Penguatan Intelektual dan SDM).

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.