2 Sisi Mata Uang Ruang Digital Sehat, Literasi Digital dan Literasi Baca-Tulis
Literasi digital saja tidak cukup, mengapa ?

LTN NU Jawa Barat, Dindin Nugraha – Tentu bukan tanpa alasan jika Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mendukung peluncuran program Literasi Digital Nasional oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Tidak hanya mendukung, namun juga ikut serta, turun langsung melaksanakan program Literasi Digital Nasional dengan mengerahkan 5 lembaganya, Lakpesdam, LTNNU, RMINU, LDNU dan LP Ma’arif NU.
Ada kekhawatiran akan suasana pergaulan digital yang harus kita akui sudah mendominasi kehidupan sehari-hari. Di sisi lain ada ikhtiar agar pergaulan digital membaik, positif dan membawa maslahat ketimbang menghadirkan potensi negatif dan merusak.
Data-data menunjukkan warga +62 memang memiliki masalah serius dengan literasi digital, maupun literasi-literasi lainnya seperti literasi baca-tulis.
Melihat Data yang Tidak Seimbang
Di satu sisi, Indonesia adalah salah satu pengguna internet terbesar di dunia. Data terbaru APJII, awal tahun 2022 pengguna internet di Indonesia mencapai sekitar 210 juta.
Di sisi lain, soal literasi digital Indonesia cenderung stagnan. Survei Global World Digital Competitiveness Index 2020 dari Institute Management Development (IMD) memperlihatkan peringkat literasi digital Indonesia mengalami stagnasi selama dua tahun. Pada 2019 dan 2020, Indonesia menduduki peringkat ke-56 dari 63 negara yang telah disurvei.
Survey lainnya, berdasarkan laporan survey Indeks Kesopanan Digital (Digital Civility Index atau DCI), tingkat keadaban digital masyarakat Indonesia sangat buruk (2021), bahkan terburuk di Asia Tenggara. Data survey menyebutkan 47% media digital warga +62 malah digunakan untuk menyebarkan hoax dan penipuan. 27% untuk ujaran kebencian, dan 13% digunakan untuk diskriminasi.” ( Deputi Bidang Revolusi Mental, Pemajuan Budaya, dan Prestasi Olahraga Kemenko PMK Didik Suhardi )
Serba Paradoks
Nyata-nyata peningkatan tajam pengguna internet ternyata belum berbanding lurus dengan keterampilan yang baik dan benar dalam menggunakan media digital atau yang populer dikenal dengan literasi digital.
Hasil-hasil survey tersebut nyata-nyata juga berlawanan dengan apa yang telah dunia kenal tentang bangsa Indonesia sebagai bangsa ramah, sopan, santun, dan berkebudayaan tinggi.
Dari sisi penyedia media digital, khususnya media sosial pun tidak bisa disangkal, dibuat untuk mencari keuntungan semata-mata. Wacana atau upaya yang dilakukan untuk menciptakan ekosistem media sosial yang sehat pun masih jauh panggang dari api. Tidak bisa sepenuhnya diandalkan.
Bayangkan saja ! Kegaduhan di media sosial bertabur caci-maki dan komentar emosional dimulai dari postingan menggelikan, “Dalam hukum Islam melarang laki-laki Jawa menikah dengan pria Sunda. Hukumnya haram.”
Dorongan untuk memposting informasi yang akurat, teruji kebenarannya dan logis sebelum dibagikan secara online pun belum sepadan dengan jumlah pengguna media digital yang tumbuh gila-gila an.
Literasi Digital
Pasti menjadi kecemasan kita semua, hasil survey tersebut tidak hanya mencerminkan lunturnya keadaban dan menjauhnya nilai-nilai agamis di tengah masyarakat yang konon agamis, tetapi juga berpotensi merusak kerukunan dan persatuan bangsa.
Menggiatkan dan meningkatkan literasi digital serta membekali masyarakat dengan keterampilan mencari fakta, berpikir kritis, dan lain-lain sudah menjadi kebutuhan.
Membangun budaya online yang beradab, berkelanjutan, menciptakan norma online yang positif, dan menjaga keamanan masyarakat di Indonesia saat berselancar di dunia maya menjadi keniscayaan.
Semuanya ada dalam ranah literasi digital yang merupakan keterampilan hidup (life skills) yang tidak hanya melibatkan kemampuan penggunaan perangkat teknologi, informasi dan komunikasi, namun juga melibatkan kemampuan dalam pembelajaran bersosialisasi, berpikir kritis, kreatif, serta inspiratif sebagai kompetisi digital. (UNESCO – 2011).
Setidaknya ada 10 indikator survey Digital Civility Index (DCI) yang merupakan pekerjaan rumah literasi digital untuk terus dikoreksi oleh pemilik kebijakan hingga pengguna media digital. Mengoreksi indeks sebaran hoaks, ujaran kebencian, diskriminasi, diskriminasi terhadap perempuan (misogini), perundungan (bullying), memancing kemarahan (trolling), agresi terhadap kelompok minoritas (microaggression), doxing, pornografi, dan terorisme tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Paling tidak, dengan rintisan peningkatan literasi digital akan mempersenjatai netizen dengan kemampuan mengidentifikasi berita itu akurat atau tidak sebelum menyebarkan informasi.
Literasi digital diharapkan bisa menciptakan tatanan masyarakat baru yang berkualitas dan beradab di era modernitas, industri 4.0, ataupun era metaverse. Masyarakat akan lebih kritis dan kreatif meskipun secara cepat dan bertubi-tubi menerima tsunami informasi baru.
“Core of the core” : Literasi Baca Tulis
Literasi baca-tulis pun tak kurang mengkhawatirkan, dari 70 negara yang diteliti, tingkat literasi di Indonesia berada pada peringkat 62.
Bagaimanapun juga di tengah kondisi tersebut, rasanya menggelikan jika gerakan literasi digital tidak dibarengi peningkatan literasi baca-tulis. Bagaimana bisa meninggalkan yang satu ini ? Literasi pembentuk peradaban manusia sejak awal. Literasi paling vital dan fungsional dalam peradaban manusia.
Literasi baca-tulis itu sendiri merupakan pengetahuan dan kecakapan untuk membaca, menulis, mencari, menelusuri, mengolah dan memahami informasi untuk menganalisis, menanggapi, dan menggunakan teks tertulis untuk mencapai tujuan, mengembangkan pemahaman dan potensi, serta untuk berpartisipasi di lingkungan sosial.
Meningkatnya literasi baca-tulis akan berbanding lurus dengan meningkatnya literasi digital. Literasi baca-tulis tidak hanya menambah referensi dan pengetahuan, namun juga menanamkan kebiasaan menyimak tulisan, tidak hanya membaca namun juga dibarengi keterampilan berfikir kritis dan logis. Suatu hal yang terlihat diabaikan netizen +62 saat menggunakan media digital.
Literasi digital dan literasi baca-tulis layaknya 2 sisi mata uang yang sah dan satu-satunya yang berlaku untuk ekosistem media digital yang sehat dan aman.
Penulis adalah salah satu Wakil Ketua LTN PWNU Jabar, praktisi IT, pegiat media sosial dan blogger kambuhan