Agama dan Tentang Kehidupan Sosial
Toufik Imtikhani, Cilacap – Kehidupan sosial inilah yang menjadi hak wilayah manusia untuk di urusnya. Tuhan telah mendelegasikan kekuasaan kepada manusia ( QS. 2 :30 ). Dalam hal-hal tertentu, Tuhan tidak mencampurinya. Setiap kebaikan dan kerusakan, telah sepenuhnya tanggung jawab dan resiko manusia itu sendiri.
Pada awalnya manusia tidak mempunyai agama. Allah pun tidak tergesa-gesa menurunkan syareat. Allah menurunkan syareat, dalam pengertian lengkap. Dimulai pada Nabi Ibrahiem AS. Oleh karena itu, para ahli antropologi agama menyebut agama-agama yang ada sekarang sebagai agama keturunan Ibrahiem ( Ibrahiemic religious ).
Manusia mempelajari alam pada awalnya secara otodidak, dan menemukan proses-proses alam yang tidak dikuasainya, diluar batas kemampuannya. Proses-proses itu membawa kepada konklusi, bahwa ada kekuatan di luar dirinya dan alam yang mengendalikan semua kejadian yang terjadi. Manusia kemudian meng-asosiasikan kepercayaannya tersebut kepada kekuatan alam sendiri dan roh-roh yang gaib. Lahirlah kemudian agama primitif, animisme dan dinamisme. Kemudian kepercayaan itu mengalami evolusi yang panjang, sebelum agama diturunkan, menjadi polyteisme, dan puncaknya adalah monoteisme.
***
Sebelum agama diturunkan, hubungan antar manusia didasarkan atas kebiasaan dan kesepakatan yang manusia buat sendiri dan kemudian menjadi hukum adat istiadat. Jadi manusia membuat regulasi-nya sendiri untuk mengatur tata hubungan di antara mereka. Beberapa simbol disepakati,sehingga manusia saling mengidentifikasi satu sama lain. Beberapa nama disebut tentang benda, fungsi, guna dan tujuan. Terjadilah beberapa pengelompokan identitas. Di antara beberapa atau seluruh kelompok pun membuat kesepakatan, menyamakan persepsi tentang sesuatu hukum, yang mengatur hubungan di antara kelompok, di samping pribadi. Hukum-hukum adat itu terus berevolusi bersamaan dengan evolusi tentang kepercayaan, tetapi keduanya tidak selalu kait mengait. Maksudnya, kepercayaan manusia saat itu, tidak menghasilkan hukum-hukum sosial. Namun dalam ritual adat, hukum adat bersatu dalam kepercayaan atau sebaliknya. Tetapi menempati dimensi yang berbeda.
Setelah Nabi Ibrahiem AS, yang Tuhan berikan sukhuf ( lembaran-lembaran suci ), agama secara jelas menurunkan syareat yang mengatur, terutama, hubungan yang bersifat transendental, maupun hubungan yang imanen. Yahudi, Kristen, Islam, adalah agama dalam rumpun Ibrahimiec religious, yang secara, katakanlah, lengkap menurut keyakinan masing-masing, membawa aturan untuk manusia.
Agama-agama ini turun tidak dalam keadaan in vacuum. Di muka telah disebutkan tentang eksistensi hukum adat yang ada dan berkembang secara evolutif. Ada yang mengalami evolusi yang panjang, tetapi mungkin ada yang belakangan. Nilai-nilai ini betul-betul telah mendarah daging dan establish, sehingga tidak mudah untuk menghilangkan nilai-nilai tertentu, sebagian, apalagi seluruhnya. Sehingga perpaduan nilai bumi dan langit, tidak dapat dihindarkan dari kemungkinan benturan, dalam skala kecil atau pun besar.
Karena hukum-hukum Tuhan tidak turun dalam suasana kosong, maka diantara hukum adat dan syareat, akal dan wahyu selalu berproses dan diproses oleh para ulama, untuk mencari harmonisasi di antara keduanya. Meskipun Allah adalah mempunyai kehendak tak terbatas, tetapi dengan ke-Maha Bijaksanaan-Nya, Dia tidak berlaku Dumeh, dan memaksa manusia untuk tunduk kepada semua yang bernama wahyu ( syareat ). Allah bersikap wisdom, dan menghargai eksistensi akal, yang notabene adalah karunia dari Dia juga untuk manusia. Allah membiarkan manusia untuk mengembangkan daya nalar, logika dan dialektika untuk menemukan kebenaran, disamping kebenaran atas nama wahyu. Demikian firman Allah dalam QS.3:159. Dalam beberapa riwayat juga disebutkan, bahwa pendapat Umar ibn Khattab pada akhirnya dibenarkan dan sesuai dengan wahyu.
***
Dengan akal pula maka naqal dapat applicated, dan menjadi mudah untuk diterapkan dalam kehidupan manusia. Fiqh, adalah tafsir terhadap syareat, dan merupakan produk akal yang ijtihadi, dikembangkan berdasarkan perubahan masyarakat yang membangun dialektikanya sendiri, sebagai bentuk paritasi dengan zaman sebelumnya. Beberapa dimensi wahyu mungkin bersifat qoth’i; seperti perintah sholat, puasa, haji dll. Tidak ada selisih paham di antara ulama mengenai hal-hal tersebut di atas, meskipun dalam ruang dan zaman yang berbeda. Tetapi teknis pelaksanaannya dapat saja berbeda, apalagi yang menyangkut dalil yang tidak qoth,i ( zanny ). Contoh mengenai sholat, tentu banyak perbedaan dalam praktek. Sepanjang tidak ada pendapat yang menyalahi dalil qoth’i, maka semua pendapat dapat diterima.
Muadz Ibn Jabbal pernah ditanya oleh Rasulullah, ketika akan diangkat sebagai hakim/ Gubernur di Yaman, dengan apa dia akan memutuskan suatu perkara, jika dalam Quran dan sunnah ( naqli ) tidak ditemukan dasar hukumnya. Muadz menjawab, dia akan memutuskan perkara berdasarkan ijtihad ( akal ). Pernyataan Muadz tidak disalahkan oleh Rasulullah. Artinya, upaya akal, dibenarkan. Artinya pula, hukum-hukum manusia; adat istiadat, budaya, tetap dibenarkan, sepanjang tidak bertentangan dengan dalil naqal yang qoth,i. Tuhan tidak bersikap apriori terhadap ikhtiar manusia, termasuk ketika manusia membangun hukum-hukum sosial, sebagai bagian konstruksi sosial yang mengatur tata kelola kehidupan mereka, disamping adanya syareat yang tidak dapat diabaikan. Kedua pilar ini, adat istiadat dan syareat, dapat berjalan seiring-seirama, saling mengisi, melengkapi, menggantikan diantara keduanya. Orang Minang mengatakan, adat yang bersendikan syara’, dan syara’ yang bersendikan kitabulllah.
Memang pada perkembangan kontemporer, ada sekelompok fundamentalis yang selalu mengaku bersendikan syara’ dan bersikap apriori terhadap nilai-nilai budaya. Ini adalah cara pandang hitam-putih dan struktural. Dasar epistemologinya lemah, dan bersumber kepada sempitnya pengetahuan dan wawasan terhadap kitabullah dan sunatullah itu sendiri, baik yang tersurat maupun tersirat. Juga dikarenakan pemahaman yang parsial terhadap dalil naqal yang ada dalam kitabullah dan sunah Rasul. Ulama-ulama salaf masa lalu, yang tahfidz Al-Quran, dari lahirnya maupun batinnya Al-Quran, hafal ratusan ribu hadist, sangat menghargai adat istiadat, akal, dan perbedaan pikiran manusia, termasuk dalam hal pengamalan agama, yang bersumber dari dialektika yang berbeda-beda. Imam Syafi’i bahkan merevisi beberapa pendapatnya dalam hal hukum Islam, yang ia susun sewaktu hidup di Baghdad ( Qaulul Qodiem ), menjadi pendapat baru ( qoulul jadied ), setelah Beliau tinggal di Mesir.
Inilah bentuk penghargaan terhadap perkembangan situasi, baik tempat maupun suasana, yang justru menjadi khasanah kekayaan Islam itu sendiri. Bukankah Islam ya’lu walaa yu’la ‘alaih, sholih lii kulli zaman wal makan?. Kalau pemahaman Islam akan dikembalikan ke zaman Rasulullah, dimana situasi dan suasananya masih sederhana, perkembangan sosial belum terlalu kompleks, wilayah negara yang terbatas, tidak ada bedanya Islam sebagai agama dan negara ( konsep din wa daulah ), Rasulullah sebagai rujukan utama masalah agama masih hidup, para sahabat sebagai generasi pertama dan generasi emas umat Islam masih banyak, maka Islam akan tergilas oleh roda zaman dan ditinggalkan oleh umat manusia. Misi penyelamatan, dan rahmat seluruh alam, sebagai visi dan misi awal kedatangannya akan mengalami kegagalan total.***
Cilacap, Oktober 2020
*) Penulis adalah Pengasuh ponpes Bhumi Aswaja Daaruttaubah Wa Tarbiyah Lapas Cilacap.