The news is by your side.

Beberapa Rahasia di Balik Bencana: Suatu Pendekatan Narsisme Tafsir Agama

Beberapa Rahasia di Balik Bencana: Suatu Pendekatan Narsisme Tafsir Agama | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa Barat

Oleh: Toufik Imtikhani, SIP.

SETIAP musim Kemarau panjang menimbulkan reperkusi bencana susulan yang merugikan kehidupan manusia. Kebakaran hutan, Kabut Asap, Kekurangan sumber air, dan lain-lain.  Dan kejadian seperti itu bisa terjadi di setiap tahun dan kapan saja. Beberapa kelompok masyarakat melakukan ikhtiar, dari sisi agama ( berdoa, sholat istisqo ) dan dari sisi teknologi ; modifikasi cuaca, pemadaman titik api, dan lain-lain.

Sebaliknya jika musim penghujan, terjadi bencana banjir, tanah longsor dan lain-lain yang menimbulkan penderitaan manusia; gagal panen, pengungsian, dan bahkan korban jiwa dan harta. Pendek kata, penderitaan adalah bagian dari kehidupan manusia. Seorang ahli hikmah mengatakan, sepanjang bayi lahir menangis, maka manusia selalu dalam kepungan penderitaan. Tetapi jika bayi lahir dengan tertawa, barulah kita berharap manusia akan selalu bahagia.

Berdoa, adalah lambang artikulasi kepasrahan manusia, ketika segala daya upaya tidak membuahkan hasil yang di harapkan.Di masa yang lalu, suku tribal-primirtif di cengkeram rasa takut dan kuatir terjadinya bencana di luar kemampuan dirinya. Maka persepsinya menciptakan dan mengandaikan adanya kekuatan gaib yang dapat melindunginya. Lahirlah paham animisme dan dinamisme.

Maka sangat manusiawi sekali, di tengah keputus asaan atas kegagalan segala upaya untuk mengatasi berbagai bencana, manusia kemudian lari kepada Tuhan dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Seberapa jengkal  mereka mendekat, tergantung seberapa dalam keyakinan seseorang. Sebab kadangkala dalam bencana, justru ada yang lari menjauh dan di jauhkan dari Tuhannya. Kan’an bin Nuh misalnya. Ia binasa tenggelam sebagai penentang Tuhan dan ayah sekaligus nabinya di tengah bencana banjir besar yang melanda kaumnya.

****

Berdoa dan berharap adalah hak setiap hamba. Mengabulkan doa adalah kewajiban Tuhan. Tuhan mewajibkan dirinya untuk mengabulkan doa karena janjinya sendiri. Ia telah berfirman dalam kitab-Nya,’’ …berdoalah kepadaku, niscaya akan aku kabulkan ( Al-Mu’min (40):6 )’’,. Tuhan dalam banyak kesempatan pun menyatakan bahwa dirinya tidak akan mengingkari janji ( Ali Imran ( 3 ):194 ). Artinya, setiap doa atau ancaman balasan, pahala amal, pasti akan di bayarkan (Al-Zalzalah (99):6-7 ) . Setiap yang mengingkari janji, berarti bukan Tuhan, karena tidak bisa di jadikan teladan.

Setiap hamba senantiasa berharap jika ia berdoa, maka akan di kabulkan. Ketika lapar, ia berharap menjadi kenyang. Ketika susah ia berharap menjadi gembira. Yang miskin berdoa menjadi kaya, dan Tuhan mengubahnya menjadi kaya. Ketika sakit, yang di minta adalah kesembuhan. Dan ketika musim kemarau manusia meminta hujan, Tuhan segera menurunkan hujan.

Dapat di bayangkan jika doa-doa tidak di kabulkan secara linear dan segera. Tentu orang yang beriman, akan berkurang kadar keimanannya.  Yang sedikit iman akan murtad, yang kafir akan bertambah kafir. Bahkan orang kafir akan mentertawakan dan memperolok-olok orang-orang yang beriman. Orang kafir akan menganggap bodoh dan konyol tindakan permohonan dan harapan kepada Tuhan. Orang kafir merasa tak perlu Tuhan atau berdoa untuk dapat hidup serba berkecukupan.

Seorang pegawai yang baik, bekerja baik dan beriman selalu berdoa demi kebaikan dan perbaikan diri, hidup dan kehidupananya serta pekerjaannya. Namun tidak serta  merta hal itu dapat membuat dirinya  mendapatkan promosi dari atasannya, sebagai sebuah kebaikan dan kompensasi atas prestasi, di karenakan dirinya tidak mempunyai koneksi dan bertindak jujur untuk tidak melakukan suap dalam memperoleh jabatan. Sedangkan pegawai yang berperilaku buruk, baik dalam pekerjaan atau relasi dengan teman atau pun Tuhan sekalipun, karena tidak beribadah kepadanya, tetapi pandai menjilat atasan, berani menabrak hukum positif yang mengatur masalah promosi dan melakukan suap, suatu hal yang di larang oleh Tuhan, dapat promosi jabatan dari atasannya.

Maka kasus pegawai yang baik di atas dapat berimplikasi negatif terhadap pegawai itu sendiri dan pegawai lain yang melihatnya. Pegawai yang buruk akan bertambah pongah di karenakan tanpa Tuhan dan tanpa bekerja dengan baik  pun ia memperoleh jabatan. Seandainya datang keajaiban Tuhan kepada pegawai yang baik, lewat tangan atasannya, tanpa suap dia memperoleh promosi jabatan, tentu akan menjadi magnet setiap orang untuk kembali kepada iman dan ketaatan. Sebaliknya, jika keajaiban Tuhan datang kepada pegawai yang buruk, berupa pemecatan atau pun hukuman lainnya, tentu akan menjadi magnet bagi siapapun untuk meninggalkan kekafiran dan keingkaran.

Seorang pegawai honorer yang telah bekerja bertahun-tahun, bahkan sampai puluhan tahun, pada saat ada program rekruitmen pegawai baru, tidak ada prioritas dari pemerintah setempat. Mereka harus tetap mengikuti seleksi tanpa ada previlesse dalam proses rekruitmen. Dan ketika pengumuman dilaksanakan, pegawai honorer tersebut tidak lulus ujian. Yang lulus adalah mereka muka-muka baru yang belum jelas pengabdiannya, dan seberapa mampu mereka berkerja, hanya karena orang-orang ini memiliki “ orang” dalam yang mempunyai kedudukan dan pengaruh penting dalam jabatan pemerintahan, atau dia memiliki dana besar untuk melakukan suap kepada panitia rekruitmen.

Bayangkan betapa hancur perasaan pegawai honorer dan keluarganya. Pengabdiannya bertahun-tahun menjadi tidak ada artinya. Do’a  dan harapannya sirna bagai ditelan bumi. Keimanannya kepada eksistensi Tuhan dapat hilang berubah menjadi kekafiran karena dalam pandangannya Tuhan tidak mengabulkan do’a dan harapannya. Dimanakah Engkau Tuhan, dan dikemanakan do’a-do’a hamba-MU? Bukankah Engkau berfirman, bahwa Engkau dekat dan mengabulkan setiap do’a orang yang memohon kepadamu? ( Al Baqarah (2): 186 ). Bahkan hampir tak ada jarak antara Engkau dan seorang hamba, lebih dekat dari urat nadi ( Qaf ( 50): 16, Al-Waqi’ah (56): 85 ).

Nabi-Mu pun mengabarkan sifat-Mu yang pemalu. Jika ada seorang hamba menengadahkan tangan, berdo’a memohon kepada-Mu, dan Engkau tidak mengabulkan do’anya, membiarkan tangannya hampa kosong, Engkau akan merasa malu ( HR.Al Hakiem ). Tapi mengapa Engkau tidak mengabulkan setiap do’a orang yang berdo’a? Sangat mudah bagimu melakukannya bukan?

Setiap karunia  ( termasuk dikabulkannya setiap do’a ) itu akan menambah keimanan seseorang di sebabkan manusia merasa di mulyakan. Sebaliknya perasaan ingkar akan bertambah besar jika karunia itu tidak di berikan, karena ia merasa terhina ( Al-Fajr (89): 15-16 ). Karunia yang ada di luar permintaan dan keinginannya, kendati telah dimiliki sebagai sesuatu yang semestinya ada dengan sendirinya. Jika Tuhan Mengganti karunianya yang di minta  dengan karunia yang lain, siapakah yang mengetahui, kecuali Tuhan itu sendiri. Bagaimana manusia dapat bersyukur.  Terkecuali Tuhan memberitahukan lewat kegaiban dan keajaiban, bahwa permohonan do’a telah di kabulkan, tetapi demi kebaikan hambanya, Tuhan menggantinya dengan karunia yang lain.

Di masa laulu, Anggota Gerakan Wanita Indonesia ( Gerwani ), Ormas wanita milik Partai Komunis Indonesia ( PKI ) memberikan ilustrasi ke-takberadaan Tuhan kepada anak-anak TK yang masih polos. Mereka menyuruh anak-anak untuk berdoa meminta permen kepada Tuhan dengan mata terpejam. Kemudian anak-anak di suruh membuka matanya. Adakah permen di tangan kalian yang di berikan oleh Tuhan? Tentu saja tidak. Sekarang memintalah permen kepada  Ibu Guru dengan mata terpejam. Kemudian guru-guru anggota Gerwani meletakan permen di tangan anak-anak. ‘’ Sekarang bukalah mata, adakah permen di tangan kalian?’’. Anak-anak TK itu menemukan permen di tangannya masing-masing. Nalar anak-anak secara tidak langsung menyimpulkan bahwa Tuhan tidak ada, kalaupun ada, ia tidak bisa atau tidak mau mengabulkan doa. Tetapi ibu guru ada, sayang kepada mereka, dan mengabulkan keinginan anak-anak dengan memberikan permen.

Seandainya ketika anak-anak meminta permen, Tuhan menunjukan kuasa dan keajaibannya, di berikan permen yang di minta, maka kesimpulan anak-anak yang masih polos itu akan sebaliknya. Ibu guru anggota Gerwani akan terkejut, dan mungkin mereka juga akan mengganti idiologinya yang atheis menjadi orang yang beriman. Pertanyaannya adalah, mengapa Tuhan hanya menunjukan keajaibannya kepada dan atau lewat para Nabi-Nya?

Andaikan setiap do’a di kabulkan secara linear dan segera, seperti do’a para nabi, tentu akan bertambah imanlah orang yang beriman, menjadi imanlah orang yang kafir, dan terbukalah pintu petunjuk akan eksistensi Tuhan yang kuasa, yang mengabulkan setiap doa.

Team sepakbola nasional Indonesia usia 19 tahun memenangi piala AFF tahun 2013 yang lalu setelah melakukan ikhtiar lahir-batin, berlatih keras dan selalu melakukan transendensi di atau di luar lapangan. Setiap mencetak gol mereka bersama melakukan sujud syukur di lapangan dalam sapuan jutaan pasang pandangan mata penonton baik yang ada di stadion atau mereka yang melihat pertandingan lewat TV di rumah. Pada waktu yang berdekatan, team nasional yang sama mengukir sejarah dengan mengalahkan Korea selatan pada babak fase penyisihan group Piala AFF ( Asia ). Namun pada fase final group di Vietnam, team Nasional tidak berdaya menghadapi lawan-lawannya, termasuk kalah dari Korea Selatan yang pernah dikalahkannya pada fase penyisihan.

Padahal di antara jarak fase penyisihan dan fase final group, team Nasional telah melakukan serangkaian uji coba, dan selalu melakukan sujud syukur ketika mencetak gol ke gawang lawan. Bahkan seluruh anggota team Nasional di detik-detik fase penyisihan group meraka melakukan umrah bersama. Tentunya mereka berdoa agar memperoleh kesuksesan di pila AFF. Yang terjadi adalah sebaliknya. Pulang ke tanah air dengan kepala tertunduk.

Para Nabi dan Rosul, para Wali, mempunyai keajaiban-keajaibanya yang luar biasa. Do’a mereka di kabulkan sesuai yang di minta. Kepada mereka juga di pertunjukan kegaiban-kegaiban sebagi hujjah yang menunjukan eksistensi Tuhan yang sebenarnya. Beberapa Nabi dan Rosul dapat berdialog secara langsung atau tidak langsung dengan Tuhan. Bahkan ada di antara mereka dapat melihat Tuhan dalam tanda yang sebenarnya ( dekat kepada hakekat ). Inilah yang di sebut wahyu, mukjijat dan karomah. Bagaimana mereka tidak mendapatkan tingkat ke-imanan dan pengetahuan tentang Tuhan, eksistensi dan seluruh maksud kehendaknya, sebab Tuhan datang kepadanya, memperkenalkan dan memberitahukan kepada Rosul, Nabi, Wali, persoalan pengetahuan tentang diri-Nya.

Tetapi orang awam, jangankan di singkapkan pengetahuan tentang yang gaib, atau mereka di beri yang ajaib, ilham, karomah, apalagi mukjijat, doa yang di kabulkan secara linear dan segera saja tidak. Bagaimana mereka akan menjadi beriman, bertambah iman atau salah-salah menjadi ragu tentang janji-janji, bahkan terhadap eksistensi Tuhan itu sendiri. Salahkan mereka?

*****

Bayangkan, bertahun-tahun orang yang beriman tapi miskin, senatiasa berdo’a dalam ibadahnya agar menjadi kaya, atau setidak-tidaknya hidup dalam berkecukupan tidak kekurangan, toh dia tetap dalam kekurangan, bahkan dalam keadaan seperti itu,ia di pojokan oleh keadan lain, anak, atau istri, suami, orang-orang terdekatnya sakit parah, membutuhkan biaya yang banyak dan besar, hutang terus menumpuk, di-PHK dari pekerjaan dan ia menunggu keajaiban pertolongan Tuhan.

Pertolongan Tuhan tak segera datang seperti yang di harapkan. Orang-orang kaya tak sudi membantu. Lembaga sosial-agama menumpuk-numpuk donasi, bahkan banyak di korupsi oleh  pengurusnya. Apa yang salah jika ada lembaga ‘’sosial-kafir’’ menawarkan bantuan meski dengan syarat harus menggadaikan ‘’ iman’’-nya, kemudian tawaran itu di terima?

Para pengungsi dari wialyah Timur Tengah dan Asia Selatan ( Afganistan, Pakistan dan juga Bangladesh ) sejak 2011 terus datang bagai gelombang memasuki’’ Benua Harapan ‘’. Mereka tentu banyak yang menjadi orang “beriman”. Tetapi mengapa menjadi beriman dan berada di wilayah “beragama” hidupnya sengsara. Faksi-faksi dan kelompok “agama” saling bertempur, mengorbankan saudara seagama-sebangsa, sebangsa-seagama menjadi pengungsi dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun dan sampai waktu yang tidak dapat di tentukan. Dari wilayah yang satu ke wilayah yang lain, terusir dari negeri tanah tumpah darah yang di cintai, ke negeri antah-berantah yang begitu asing baginya. Kapan dan bagaimana Tuhan Menempatkan doa dan harapan mereka?

Tuhan dapat berargumentasi, bahwa ia akan menguji hambanya yang beriman dan tidak begitu saja percaya kepada orang yang berkata, saya beriman, tanpa di uji dahulu (Al-Ankabut (29): 1-3 ). Ujian yang Tuhan berikan sifatnya bermacam-macam. Keburukan, kebaikan, rasa takut, kekurangan pangan, anak, istri, bahkan sampai kenikmatan dan kesengsaraan dunia pun ujian ( lihat QS Al Baqarah (2): 155, Ali Imran(3):186 ). Tuhan pun menyatakan, bahwa ujian itu tidak akan memberatkan kemampuan hambanya. Ujian akan di berikan sesuai dengan kadar kemampuan yang di miliki oleh seorang hamba ( Al Baqarah (2): 286 ).

Tuhan dapat berkata seperti itu. Itu adalah persepsinya. Tapi seorang hamba bukan Tuhan. Wajar ia memiliki persepsi yang berbeda dengan Tuhannya. Walapun Tuhan berfirman: …bahwa apa yang menurut seorang hamba baik, belum tentu menurut Tuhan baik. Atau Tuhan akan mengatakan: mungkin engkau tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu ( Al-Baqarah (2):216 ). Dalam firman-Nya yang lain Ia mengatakan: Dan kamu mungkin tidak menyukai sesuatu, tetapi dibalik itu semua Tuhan menjadikan kebaikan yang banyak ( An-Nisa (4):19 ). Artinya, Tuhan senantiasa menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, manusia. Hanya saja jalan yang dipilih-Nya berbeda-beda sesuai dengan kehendak-Nya.

Tetapi coba pikirkan, jika seorang ayah, hari itu dituntut memberi makan anak istri yang kelaparan, sedangkan mencari pekerjaan bukan hal yang mudah. Orang-orang semakin hidup hedonis. Urusan makan bukan persoalan yang dapat ditunda. Mengharap rejeki dari langit merupakan sebuah kemustahilan, meski ia sudah berdoa siang dan malam, berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Sebabnya ia bukan seorang Nabi.

Siapakah yang salah jika ia melakukan perbuatan yang melanggar aturan Tuhan untuk dapat memberi makan anak-istrinya? Persoalannya adalah hari ini! Dalam melakukan tindakan “ jalan piintas “ ia tidak memikirkan hari-hari ke depan.

****

ITULAH persoalan agama dahulu, sekarang dan yang akan datang. Hidup tidak bisa digambarkan secara hitam-putih. Masalah kemanusiaan, terutama menyangkut kesejahteraan hidup umat beragama tidak bisa di dekati secara tekstual. Bukan berarti agama harus mengikuti kehendak manusia, dan bukanpula manusia semata-mata mengikuti agama.

Jauhkan perdebatan tentang objek-subjek yang menyangkut relasi manusia ( budaya ) dan agama. Keduanya sama penting dan tidak dapat dipisahkan.

Kalau agama sekedar berbicara kredo an-sich, tentu menjadi salah. Sebab kelaparan dan kemiskinan tidak bisa dibeli dengan keimanan, meskipun keduanya memiliki relasi yang sangat halus. Jika orang hidupnya miskin, maka ia harus bekerja untuk menjadi sejahtera, dan kesejahteraan itu sendiri merupakan manifestasi dari keimanan, atau sebaliknya kesejahteraan dapat meningkatkan keimanan. Bukankah Nabi mengatakan bahwa antara fakir dan kafir mempunyai relasi yang cukup erat. Kefakiran sangat dekat dengan kekafiran. Jika seseorang hanya kehilangan salah satu atau beberapa atribusi keagamaan, itu tidak akan mennyebabkan kekafiran, tetapi jika orang kehilangan pekerjaan, maka dia akan menjadi miskin, dan kemiskinan itu dapat menyebabkan kekafiran.

Seorang pelayan toko yang muslim diperintahkan oleh atasannya yang Nasrani untuk memakai atribut natal dalam menyambut hari kelahiran Yesus, sebagai sarana promosi, tidak akan berubah menjadi murtad sebab simbol tersebut sangat artifisial, tetapi ia dapat berubah kafir karena di faith a comply olet fatwa bahwa memakai atribut agama lain hukumnya haram. Sekelompok orang tak bertanggung jawab melakukan sweeping dan bertindak atas nama menegakkan hukum agama. Kemudian pelayan tadi terpaksa melawan perintah atasannya untuk mengikuti desakan fatwa dan orang-orang yang melakukan sweeping. Atasanya bertindak tegas karena karyawan tadi tidak mengikuti kebijakan perusahaan. Ia dipecat dari pekerjaannya dan menjadi fakir.  Fatwa dan orang-orang yang melakukan sweeping pun berlalu begitu saja meninggalkan si karyawan dalam keadaan fakir, dan mungkin kafir.

Persoalannya ialah bahwa penafsiran terhadap dalil agama kadang masih jauh dari kehendak masyarakat. Penafsiran versi beberapa kelompok keagamaan justru bersifat menghakimi. Penghakiman oleh tafsir dari kelompok keagamaan tertentu sesungguhnya bukan wilayah manusia. Tugas kemanusiaan yang lebih penting lagi adalah mendekatkan tafsir agama dengan konteks kemanusiaan, di antaranya bagaimana tafsir itu mendorong manusia untuk berbuat yang terbaik dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Contoh masalah bid’ah. Penentuan sesuatu bid’ah atau bukan, jika ada kebenaran, tidak akan menyebabkan seseorang menjadi kafir. Pemakaian atribut yang dimiliki atau biasa dipakai oleh pemeluk agama lain oleh seorang muslim,karena tuntutan profesi dan pekerjaan, tidak akan membuatnya murtad. Tetapi kehilangan pekerjaan, dikarenakan menolak memakai atribut agama lain atas tuntutan profesi, dapat menyebabkan kekafiran. Sebab kehilangan pekerjaan berarti kehilangan penghasilan. Tidak mempunyai penghasilan berarti hidupnya fakir dan miskin. Keluarga menjadi tidak sejahtera. Mengapa keimanan harus dipersandingkan dengan atribusi agama tertentu, sehingga dianggap dapat menyebabkan kekafiran? Sebat atribut keagamaan yang sifatnya luar, tidak mencerminkan corak dan kadar keimanan seseorang. Bukankah dalam sebuah hadist soheh Nabi menyatakan bahwa Allah tidak melihat apa yang nampak dari luar seseorang, tetapi Allah melihat hati dan amal seseorang? Demikianlah seharusnya mengamalkan agama.****

*) penulis pengasuh Ponpes Bumi Aswaja Daarut-Taubah wa tarbiyah lapas Kls IIB Cilacap.

Leave A Reply

Your email address will not be published.