The news is by your side.

Dari Buku “Islam Radikal” : Hakimiyah [3]

Dari Buku “Islam Radikal” : Hakimiyah [3] | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa Barat

Sayyid Qutb membangun paradigma takfiri; hakimiyah ini berdasarkan beberapa hal:

Pertama: Pemahaman yang salah terhadap firman Allah Ta’ala: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maaidah: 44). Dalam memahami ayat ini, ia mengikuti al-Maududi; mengafirkan seseorang yang tidak menerapkan hukum Islam, meskipun orang tersebut meyakini bahwa ayat itu benar dan merupakan wahyu dari Allah. Ia tetap mengafirkan orang yang tidak menerapkan syariat, meskipun orang tersebut tidak mampu menerapkannya karena satu dan lain sebab. (Atau baru mampu menjalankan sebagian syariat)

Ini merupakan pandangan yang sangat tidak populer, radikal dan sempit. Terlalu cepat untuk mengafirkan dan memperluas ranah cakupannya. Sikap ini lahir dari konsep Sayyid Qutb lainnya, yaitu menjadikan hakimiyah sebagai pokok iman. Ia menambahkan syarat sahnya keimanan dari dirinya sendiri (berbeda dengan syarat-syarat pokok keimanan yang telah disepakati oleh umat Islam). Kemudian ia mengafirkan masyarakat muslim karena syarat ini -menurutnya— tidak ada pada diri mereka. Pandangan seperti ini sama persis dengan pandangan sekte Khawarij.

Sedangkan pandangan umat Islam dari generasi ke generasi, sejak era para sahabat -radhiyallahu anhum— sampai sekarang, bertentangan dengan pandangan Sayyid Qutb. Para ulama memiliki beberapa pendapat dan orientasi dalam memahami ayat 44 dari surah al- Maaidah tersebut. Pendapat yang paling kuat mengenai maksud dari ayat tersebut adalah, siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah lantaran menolak ayat tersebut sebagai wahyu yang datang dari-Nya, maka tanpa diragukan lagi orang ini telah kafir. Adapun orang yang mengakui bahwa ayat tersebut benar, wahyu, dan perintah Allah, akan tetapi ia tidak mampu menjalankannya, maka ia tidak dihukumi kafir.

Imam Fakhruddin al-Razi dalam alTafsir alKabir berkata: “Ikrimah berkata, “Firman Allah Ta ala: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah….dst” hanyalah berkenaan dengan orang yang mengingkarinya dengan hati dan menolaknya dengan lisan. Adapun orang yang dalam hatinya telah meyakini bahwa ayat tersebut benar sebagai hukum Allah, dan mengakui hal itu dengan lisannya, namun kondisinya tidak memungkinkan untuk menerapkannya, maka ia tetap dianggap telah berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah, meski ia belum mampu melakukannya. Dengan demikian, ia tidak masuk ke dalam golongan yang disebutkan di dalam ayat ini. Inilah jawaban yang benar.”

Hujjatul Islam al-Ghazali dalam alMustashfa berkata: “Firman Allah Ta’ala setelah menyebutkan Taurat dan hukum-hukumnya, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orang-orang kafir.” Kami berkata: “Maksudnya adalah siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah seraya mendustakan dan menentangnya.”

Imam Abu Muhammad bin Athiyah al-Andalusi dalam alMuharrar al Wajiz berkata: “Redaksi ayat ini bukan berbentuk umum, akan tetapi berbentuk musytarak (homonim), yang sering terjadi pada hal-hal khusus, seperti firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orang-orang kafir.” Dan sama sekali tidaklah dianggap kafir para pemimpin muslim yang tidak berhukum dengan hukum Allah.”

Siapa pun yang membaca perkataan para imam, maka pasti ia mendapati perkataan Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, al-Barra bin Azib, Hudzaifah bin Yaman, Ibrahim al-Nakha’i, al-Sudi, al-Dhahhak, Abu Shaleh, Abu Mijlaz, Ikrimah, Qatadah, Amir, Sya’bi, Atha’, dan Thawus. Kemudian Imam alThabari mengatakan hal serupa dalam Jdmf al-Baydn, Hujjatul Islam al-Ghazah dalam al-Mustashfa, Ibnu Athiyyah dalam al-Muharrar al-Wajiz, Imam Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, al-Qurthubi dalam al-Jami li Ahkam alQuran, Ibnu Jizzi dalam al-Tashil, Abu Hayyan dalam al-Bahr al-Muhith, Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim, al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani, Thahir bin Asyur dalam al-Tahir wa al-Tanwir, dan Syaikh Sya’rawi dalam tafsirnya. Semua ulama ini menerapkan pemahaman yang sama terhadap ayat ini.

Dan di sisi yang bersebarangan al-Ustadz Sayyid Qutb mengatakan: “Mendiskusikan hukum yang pasti, umum, dan komprehensif ini hanyalah upaya untuk menghindari kebenaran. Takwil-takwil terkait hukum ini hanyalah upaya untuk mengubah kalimat-kalimat Allah dari tempatnya.“ Dengan kata lain, Sayid Qutb menuduh semua perkataan para ulama (sebelumnya) terkait ayat tersebut sebagai upaya untuk mengubah kalimat-kalimat Allah dari tempatnya.

Ketika menelaah sejumlah literatur, kami tidak menemukan pemahaman takfiri seperti Sayyid Qutb ini melainkan pada sekte Khawarij. Imam al-Ajuri dalam kitab al-Syari’ah berkata: “Telah berkata kepada kami Abu Bakar bin Abu Dawud, ia berkata: “Telah berkata kepada kami al-Mutsanna bin Ahmad, ia berkata: “Telah berkata kepada kami Amr bin Khalid, ia berkata: “Telah berkata kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Atha’ bin Dinar, dari Said bin Jubair, dalam firman Allah Ta’ala, “Dan ayat-ayat lainnya mutasyabihdt (samar). ” (QS. Ali Imran: 7), ia berkata: “Adapun ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat di dalam Al-Quran yang pengertiannya samar bagi orang yang membacanya. Oleh karena itu diantara orang yang mengklaim memahami kata yang samar ini ada yang tersesat. Setiap kelompok membaca ayat dari Al-Quran dan mengira bahwa ayat tersebut adalah untuk menjustifikasi kebenaran mereka.

Diantaranya ayat-ayat mutasyabih yang diikuti oleh kelompok Haruriyah (Khawarij) adalah firman Allah Ta’ala: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orang-orang kafir” (QS. Al-Maaidah: 44). Dan mereka menggandengkan ayat itu dengan ayat: “Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.’’ (QS. Al-An’am: 1).

Alur logikanya jadi seperti ini, jika mereka melihat seorang pemimpin menjalankan tugasnya dengan tidak benar maka mereka akan berkata: “Ia (pemimpin) telah kafir. Dan barangsiapa yang kafir maka ia telah mempersekutukan Tuhannya.” Menurut mereka umat Islam ini telah musyrik. Sehingga dengan ini mereka keluar dan melakukan aksi-aksi sebagaimana yang anda ketahui. Karena mereka melakukannya berdasarkan pemahaman mereka terhadap ayat ini.”

Leave A Reply

Your email address will not be published.