The news is by your side.

Delapan Adab I’tikaf Menurut Imam al-Ghazali

Di bulan Ramadhan, terutama di sepuluh malam terakhir, i’tikaf sangat dianjurkan karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan hal ini di sepanjang malam-malam tersebut. Untuk beri’tikaf dengan baik, Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjudul al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah) hal. 435, menyebutkan delapan adab i’tikaf sebagai berikut: 

آداب الاعتكاف: دوام الذكر، وجمع الهم، وترك الحديث، ولزوم الموضع، وترك التنقلات، وحبس النفس عن مرادها، ومنعها في محابها، وجبرها على طاعة الله عز وجل.

Artinya: “Adab i’tikaf, yakni: terus menerus berdzikir, penuh konsentrasi, tidak bercakap-cakap, selalu berada di tempat, tidak berpindah-pindah tempat, menahan keinginan nafsu, menahan diri dari kecenderungan menuruti nafsu dan menaati Allah azza wa jalla

Dari kutipan tersebut dapat diuraikan kedelapan adab i’tikaf sebagai berikut:

Pertama, terus-menerus berdzikir. Berdzikir kapada Allah bisa dengan banyak membaca kalimat thayyibah ((لا اله الا الله, tasbih (سبحان الله), istighfar (استغفر الله العظيم), syukur (الحمد لله), dan sebagainya. Hal terpenting dalam berdzikir ini adalah melakukannya secara terus-menerus dengan tujuan mengingat Allah dan mendekat pada-Nya.

Kedua, penuh konsentrasi. Dalam berdzikir kepada Allah hendaknya kita bisa memusatkan pikiran secara penuh atau yang lebih dikenal dengan konsentrasi. Hal ini bisa dicapai apabila dalam berdzikir kita bisa sekaligus menghayati makna setiap kata yang kita ucapkan. 

Ketiga, tidak bercakap-cakap. Dalam berdzikir kita berupaya mendekat kepada Allah subhanahu wata’ala. Kedakatan itu akan terjalin kalau kita sepenuhnya memusatkan kesadaran kita hanya kepada Allah sehingga komunikasi dengan sesama manusia sebaiknya dihindari kecuali ada keperluan mendesak.  

Keempat, selalu berada di tempat. Tempat i’tikaf adalah masjid. Masjid itu sendiri terdiri dari ruang-ruang tertentu seperti ruang dalam dan serambi. Tempat untuk beri’tikaf adalah ruang dalam tersebut yang biasanya terdapat tulisan di dinding yang berbunyi “Nawaitu al-’tikafa lillahi ta’ala”. Di ruang dalam inilah kita berada selama beri’ikaf. Jika ada keperluan untuk buang hajat, misalnya, kita boleh meninggalkannya untuk kemudian kembali ke tempat semula.

Kelima, tidak berpindah-pindah tempat. Di dalam masjid kita sebaiknya tidak berpindah-pindah tempat. Kita bisa mendirikan shalat, berdzikir, membaca Al-Qur’an, bertafakur dan sebagainya di tempat yang sama. Hal ini tentu saja agar i’tikaf bisa terlaksana secara efektif karena tidak membuang-buang waktu dan tenaga hanya untuk berpindah-pindah.

Keenam, menahan keinginan nafsu. Di dalam masjid sewaktu beri’tikaf kita sebaiknya fokus pada ibadah yang sedang kita lakukan dan tidak membiarkan pikiran kemana-mana. Godaan untuk segera mengakhiri i’tikaf sering kali berawal dari membiarkan pikiran ke hal-hal yang di luar masjid seperti warung makan, dan sebagainya. Hal ini bisa mengurangi kualitas i’tikaf karena kemudian kita tiba-tiba merasa lapar dan ingin segera ke tempat tersebut. 

Ketujuh, menahan diri dari kecenderungan menuruti nafsu. Di dalam masjid mungkin setan menggoda agar kita segera mengakhiri i’tikaf dengan alasan yang macam-macam seperti ingin segera istrirahat. Hal ini sebenarnya merupakan cara setan untuk membuat kita tiba-tiba merasa ingin istirahat sehingga bisa bebas 

Kedelapan, menaati Allah azza wa jalla. Dalam beri’tikaf kita tetap harus taat kepada Allah dengan tidak melakukan hal-hal yang dilarang seperti lebih memilih i’tikaf dari pada melakukan shalat fardhu. Hukum i’tikaf adalah sunnah, sedang shalat fardhu hukumnya wajib. Maka ketika saat shalat Subuh tiba, kewajiban shalat ini harus dilaksanakan dengan menghentikan i’tikaf. Usai shalat Subuh tentu saja i’tikaf bisa dilanjutkan. 

Itulah kedelapan adab beri’tikaf sebagaimana disampaikan oleh Imam al-Ghazali. Poin yang terpenting adalah ketika kita sudah berniat melaksanakan i’tikaf di dalam masjid, maka kita benar-benar harus dapat sepenuhnya mencurahkan diri sehingga terhindari dari hal-hal yang tidak sejalan dengan adab-adab i’tikaf. 

Ustadz Muhammad Ishom, pengajar di Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.

Sumber : NU Online

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.