Deradikalisasi dan Meng-Indonesia-kan Sel Tidur ISIS
Diendapkan, dikonfirmasi, difalsifikasi, diverifikasi dan divalidasi dulu, sebelum diterima sebagai “akar masalah.” Itu pun bersifat sementara, sampai ketemu “akar masalah” lain yang lebih “mengakar”. Dengan berpikir radikal yang filosofis, seseorang menjadi terbuka dan toleran. Sadar ada kebenaran, kebaikan dan keselamatan lain di luar diri dan kelompoknya.
De-ideologisasi dan re-ideologisasi sel tidur ISIS, dari Wahabiyah Jihadiyah menjadi Pancasila, sulit berhasil, apabila prosesnya dilakukan dengan pendekatan ideologis. Karena Wahabiyah Jihadiyah dan Pancasila adalah sama-sama ideologi. Produk dari sebuah proses.
Wahabiyah Jihadiyah produk proses berpikir ulama mereka, sedangkan Pancasila, produk kesepakatan bangsa Indonesia. Kebenaran ideologi Wahabiyah Jihadiyah berdasarkan klaim sepihak penganutnya, sedangkan kebenaran ideologi Pancasila berdasarkan kesepakatan penganutnya.
Bagi penganutnya, kedua ideologi tersebut sudah final. Tidak ada lagi yang perlu didialogkan atau didiskusikan. Kalau berbeda, ya sudah, jalan masing-masing. Sel tidur ISIS tetap dengan ideologi Wahabiyah Jihadiyah, warga Indonesia tetap dengan ideologi Pancasila.
Jika demikian, wajar kalau kontra radikalisme dan deradikalisasi yang dilakukan pemerintah, besar pasak daripada tiang. Lebih besar anggaran yang keluar ketimbang jumlah sel tidur ISIS yang bertobat. Harus ada pedoman dan metode yang netral, dimiliki, diakui dan disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu agama, hati dan nalar.
Kedua belah pihak, melepaskan dulu baju ideologinya sebelum dialog/diskusi sehingga tidak menimbulkan resistensi ideologis. Resistensi ideologis, penghalang utama de-ideologisasi dan re-ideologisasi. Dalam upaya tersebut, para ahli agama memposisikan diri sebagai teman dialog/diskusi ilmiah, bukan sebagai hakim ideologis yang siap-siap memvonis mereka.
Buku lain :