Dilarang Menikah di Bulan Suro Bukan Syariat tapi Adab Wong Jowo
Oleh : Shuniyya Ruhama
Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro adalah salah satu bulan sakral setelah Puasa. Bedanya, kalau bulan Puasa penuh dengan ritual ibadah baik pribadi maupun yang bersifat syi’ar agama, sedangkan Suro lebih banyak tidak menggelar acara kegembiraan. Terutama acara pernikahan dan khitan.
Ini bukan tanpa sebab. Bagi penduduk Jawa, Suro merupakan bulan dukacita mendalam. Yakni terjadinya pembantaian keturunan Kanjeng Nabi SAW secara brutal. Hanya menyisakan balita bernama Sayyid Ali Zainal Abidin.
Karena itulah, dianggap sangat tidak etis menggelar acara yang intinya merayakan kebahagiaan di saat seperti ini. Sebagai tanda penghormatan kepada Kanjeng Nabi dan seluruh keturunannya.
Masyarakat Islam di Nusantara adalah penganut setia faham ahlussunnah wal jama’ah dengan guru tasawuf Imam Hasan Al Bashri, Imam Al Ghozali dan Imam Al Junaidy. Sehingga dirasa cukup memperingati bulan Suro dengan cara demikian.
Tentu berbeda dengan penduduk Persia. Mereka memiliki kedekatan psikologis yang luar biasa dari sisi historis.
Bermula dari penaklukan Kemaharajaan Persia oleh Kholifah Amirul Mukminin Sayyidina Umar RA. Pasca penaklukan, beliau mengirimkan salah satu Ulama Terbaik yakni Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah.
Raja Persia jatuh hati dengan kealiman dan kelembutan beliau. Akhirnya secara sukarela masuk Islam. Dan ternyata diikuti oleh seluruh penduduk negeri tersebut.
Untuk memperkuat silaturahim, maka putra Sayyidina Ali yakni Sayyidina Husein dinikahkan dengan putri Sang Raja. Dari pernikahan ini lahir beberapa keturunan.
Karena itu, sangat dipahami kedekatan psikologis antara penduduk Persia (Iran dan sebagian Irak) terhadap Sayyidina Husein.
Itulah mengapa mereka ketika memperingati peristiwa Karbala menjadi lebih semarak dan menyayat daripada kita orang Islam di Nusantara.
Namun demikian tidak bijaksana jika kita menghakimi. Karena urusan mahabbah terkadang tidak bisa dijabarkan dengan syariat bloko. Cukup bagi kita tidak meniru cara yang mereka lakukan.
Kembali ke tradisi larangan menikah di Bulan Suro. Sekali lagi ini urusannya adalah adab dan mahabbah. Jadi tidak bisa dicari dalilnya secara syar’ie.
Adapun ketika dalam kondisi darurat harus ada pernikahan di bulan ini, maka tradisi telah memberi solusi.
Salah satunya ialah pengantin putri harus menerobos tembok yang dijebol. Larangan menikah di bulan Suro diibaratkan tembok. Jadi siapa saja yang menikah di bulan ini berarti nabrak tembok.
Karena itu secara sengaja dibuat ritual tambahan yaitu temboknya dijebolkan, dibuatkan jalan. Sebagai simbol permintaan maaf dan mohon ijin kepada Sayyidina Husein, Sayyidina Ali dan Sayyidina Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Adapun dalil keumumannya ialah ada di Hadits Qudsi: Qoolallaahu ‘azza wa jalla ” Anaa ma’a dzonni ‘abdii” (Gusti Allah berfirman: Aku beserta persangkaan hambaKu).
Dengan kata lain, kita berhusnudzon kepada Kanjeng Nabi dengan cara kulo nuwun untuk melaksanakan hajat kebahagiaan di bulan dukacita. Dan ridlo Kanjeng Nabi adalah ridlo Gusti Allah SWT jua.
Dengan demikian, Islam yang membudaya menjadi fleksibel dan bisa dijalankan secara luwes oleh semua penganutnya. Sangat indah, kan?
Sumber : Facebook