Islam Jalan Sunyi

Oleh: Toufik Imtikhani, SIP.
Hampir selama lima tahun terakhir ini, ranah publik disuguhi oleh suatu pemandangan yang penuh dengan kegaduhan. Bentuk-bentuk show of force oleh kelompok tertentu, kadang dapat menimbulkan fragmentasi meskipun dengan maksud dan tujuan baik pada awalnya. Hal yang mengherankan, sebagain besar show of force justru dilakukan oleh umat Islam. Mereka memanfaatkan setiap momen dan peristiwa tertentu untuk turun ke jalan-jalan melakukan demonstrasi.
Mengherankan karena sebetulnya langkah-langkah demonstrasi, yang dapat saja menimbulkan efek karambol, sangat jauh dari sifat dan atribusi ajaran agama Islam yang menekankan kepada cara-cara yang halus, damai, dan harmoni.
Setiap isu atau kejadian lain ditanggapi secara emosional, tidak rasional, provokatif dan sporadis. Bukankah ada cara-cara lain yang lebih bermartabat? Toh sesungguhnya langkah-langkah demonstrasi, tidak selalu membawa perubahan yang diinginkan. Artnya apa yang dilakukan oleh umat Islam dengan cara demonstrasi, seperti angin lalu saja. Tidak menimbulkan impact yang fundamental bagi sebuah perubahan masa depan dan jangka panjang. Contoh kasus di Medan, seorang ibu rumah tangga memprotes suara azan dari masjid dekat rumahnya. Spontan emosi umat islam meledak. Ibu rumah tangga yang lemah itu langsung diseret ke pengadilan dengan tuduhan penista agama.
****
Yang lebih fenomenal adalah kasus Gubernur Basuki Cahaya Purnama ( dalam bahasa Arabnya adalah Basuki berarti selamat= muslim. Cahaya purnama= badrid duja. Artinya, nama Ahok sangat islami ). Ia secara sepihak menafsiri suarat al-maidah ayat 51, yang sesungguhnya bukan kapasitasnya sebagai seorang nasrani, meskipun Ahok secara realitas politik bisa jadi benar. Artinya kalau dia seorang muslim, mungkin ada kemungkinan statemennya tentang suarat al-maidah dapat diterima. Pada sisi yang lain, dia mengahadapi situasi politik yang tidak tepat, sehingga beberapa penyusup menggunakan insiden ini sebagai issue politik.
Umat Islam pun emosional. Secara spartan umat Islam melakukan demonstrasi, menuntut polisi untuk mempidanakan Ahok dengan tuduhan penista agama. Secara politik Ahok kalah, dan secara hukum ia menyerah. Dalam Pilgub 2017 ia dikalahkan oleh rivalnya, Anies-Sandi, yang secara politik diuntungkan oleh demonstrasi spartan umat Islam.
Setelah kejadian dan peristiwa yang melibatkan Ahok inilah, kemudian menimbulkan semacam keranjingan demonstrasi di kalangan umat Islam. Hampir setelah ba’da solat Jumat, isu apapun selalu ditanggapi dengan demonstrasi. Kasus terbaru tentu masalah pembakaran bendera bertuliskan kalimat Tauhid pada saat Hari Santri 22 Oktober yang lalu. Energi umat Islam tersedot untuk menanggapi masalah ini, dengan berbagai model tindakan yang bermacam-macam, dari mulai diskusi, sampai demonstrasi.
***
Di Dunia maya ternyata kegaduhan umat Islam tidak kalah dengan di dunia nyata. Kalau kita jelajahi laman-laman youtube, google, wa, instagram, face book, twitter, dan yang lainnya, maka kita akan menemukan fenomena yanng sama dengan dunia nyata. Sumpah serapah, bulliying, takfiri, fitnah,ghibahtuduhan bid’ah, khurafat. Dll. Artinya nampak sekali fenomena polaritas dan perpecahan di kalangan umat Islam dan bangsa kita.
Salah satu aspek lain yang penting, yang menjadi penanda fenomena kegaduhan umat Islam ialah masalah politik. Contoh dalam kasus Ahok. Kasus Ahok bukan semata fenomena penodaan agama, tetapi unsur politik sangat kental sekali.
Politik membangkitkan sentimen primordial di kalangan umat Islam. Politik juga menimbulkan sikap dan sifat kekerasaan di kalangan umat Islam. Padahal dakwah itu harus dilakukan dengan lemah lembut ( qaulan layyinan ), dengan menghindari kekerasan, dengan hikmah, nasihat yang baik, dan membantah dengan cara yang baik pula . Seorang Yahudi tidak masuk Islam karena kekerasan yang dilakukan oleh Gubernur Amr bin Ash, dengan menggusur rumah Yahudi tersebut, meski dengan alasan agama ( membangun masjid ), tapi Yahudi itu masuk islam karena sikap lemah lembut dan pembelaan Umar bin Khattab atas hak-ahak Yahudi tersebut sebagai manusia dan warganegara ( kisah ).
***
Umat islam seperti baru terjaga dari tidurnya. Kesadaran umat sebagai muslim seperti baru dimulai. Umat islam nampak baru belajar tentang agamanya. Mereka bermain-main dalam fase awal tentang pokok-pokok agama ( usul ad-din ). Mereka bicara tentang keimanan fundamental tentang beriman dan tidak beriman, sehingga muncul kelompok takfiri yang begitu mudah meng-kafirkan kelompok lain yang secara furu’iyah berbeda pemahaman. Dalam syariah, mereka senang membid’ahkan kelompok lain dalam amaliah, yang karena menurut pemahaman mereka tidak ada tuntunan dalil baik dari Allah maupun rasulnya. Hal ini disebabkan karena mereka baru awal belajar tetang pokok agama. Tetapi semangatnya menggebu-gebu.
Dikarenakan keterbatasan dan minimnya pengetahuan agama, atau karena doktrin untuk memilih dan mempelajari satu madzhab dalam ilmu syariah, mereka tidak melihat preferensi lain, kecuali apa yang dipahaminya sebagai sesuatu yang paling lurus. Ini yang menyebabkan amaliah mereka kaku dan sulit untuk menyesuaikan dengan situasi kondisi sosial-masyarakatnya. Sehingga komunitas dan cara beragama mereka terkesan ekslusif.
Tetapi perlu saya tekankan, bahwa demonstrasi sebagai bentuk dan cara penyampaian pendapat dijamin oleh konstitusi, tentu sepanjang tidak menabrak ketentuan-ketentuan lain, sepeti undang-undang yang mengatur perijinan dan keamanan-ketertiban, misalnya. Namun tidak semua isu harus ditanggapi oleh umat Islam dengan cara demonstrasi.
Maka saya menawarkan konsep Islam Jalan Sunyi, yaitu sikap dan sifat amaliyah yang kita lakukan harus dijauhkan dari sifat demonstratif, show of force dan penampakan identitas secara eksoteris yang berlebihan.. Sebab Allah tidak melihat sifat dan sikap kita yang nampak, tetapi Allah melihat amaliyah nyata dan hati kita ( al-hadist ).
Amaliyah semacam ini juga dicontohkan oleh Muhammad sebelum menjadi Nabi, Justru dengan bersunyi-sunyi inilah menjadi asbab Muhammad menemukan jalan kebenaran dan diangkat sebagai Nabi dan Rasul. Jalan sunyi ini juga ditempuh oleh para wali Allah. Ia tidak pernah menampakkan ibadahnya kepada mahluk, kecuali kepada Allah. Demikian juga para pengamal thoriqot yang menempuh metode suluk. Para salik ini cenderung memilih dan memempuh jalan sunyi untuk mendekatkan diri kepada Khaliknya, jauh dari hiruk pikuknya kepentingan. Mereka justru menemukan kedamaian dalam pangkuan illahi. Mereka menemukan ekstalsi ( keriangan spiritual ), suatu kebahagiaan yang tidak dapat tercapai dengan banyaknya harta, pangkat dan jabatan atau pujian-pujian dari mahluk selain Allah. Mereka melepas atribusi duniawi yang menjadi penghalang tercapainya kebahagiaan yang hakiki.
****
Maka umat Islam hendaknya kembali ke tempat ibadahnya yang hakiki, yaitu masjid. Umat Islam hendaknya kembali ke cara ibadah yang hakiki, yaitu hanya menyembah Allah. Tinggalkanlah aksi di jalan-jalan. Sebab umat Islam punya cara terbaik untuk memperoleh kebahagiaan, yaitu berdzikir di tempat-tempat yang lebih baik daripada di jalan-jalan dan wilayah politik yang akan menimbulkan kegaduhan, mengganggu kepentingan orang banyak, dan dapat menimbulkan mafsadat yang lebih besar.
Jika seorang muslim akan berpolitik, maka tinggalkanlah atribut dan postulat serta dalil-dalil agama. Yang dibawa seorang muslim ke wilayah politik adalah moralitasnya. Moralitas atau akhlak yang dibimbing oleh pengetahuannya yang mendalam tentang syariat, dan didasari oleh suatu aqidah yang kuat, sebagai murni manusia politik ( zoon politicon ),bukan sebagi seorang muslim.
Berapa banyak muslim berpolitik hanya menjual agama, sehingga ia kemudian melakukan tindak pidana yang justru bertentangan dengan ajaran agama yang dibawanya ke dalam politik. Sebabnya adalah mereka seperti baru sadar dan belajar tentang agama. Seolah-olah hal itu sudah mencukupinya dalam agamanya.
Tujuan dari syariat adalah akhlak. Nabi diutus bukan untuk menyempurnakan syari’at, tetapi Ia diutus untuk menyempurnakan ahlak. Innama bu’istu liutammima makarimal akhlak. Sesungguhnya diutus aku untuk menyempurnakan akhlak mulia.
Jadi dalam politik yang harus dibawa umat Islam adalah akhlak. Akhlak adalah instrumen untuk melakukan relasi kepada Allah, makhluk, manusia lain, dan tentu dengan kehidupan politik.
Jangan menjadikan Islam hidup di jalanan. Dan jangan jadikan jalanan sebagai tempat perjuanngan. Kalau memakai Islam, kembalilah ke masjid rumah Allah untuk mendekatkan diri kepadanya. Agar setiap langkah kita berada dalam bimbingan-Nya. Itulah Islam Jalan Sunyi.***
Cilacap, 07 November 2018
*) penulis pengasuh Ponpes Daarut Taubah wa Tarbiyah Lapas Klas IIB Cilacap.