The news is by your side.

Karakter Kepribadian Syeikh Abu Bakar Bin Salim

Oleh : Muhammad Fakhrurrozi

Karakter Kepribadian Syeikh Abu Bakar Bin Salim | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa BaratSebagaimana ayahnya, Syeikh Abu Bakar bin Salim tumbuh menjadi pribadi yang ulet atau tekun. Psikologi menyebutkan kondisi tersebut sebagai seseorang yang memiliki need of endurance (kebutuhan yang berhubungan dengan daya tahan dan kesabaran) yang tinggi. Beliau menimba berbagai ilmu agama dalam satu masa ke banyak ulama dengan penuh semangat. Beliau mengkhatamkan beberapa kitab lebih dari satu kali, di antaranya Kitab Ihya Ulumuddin (karya Imam Al Ghozali) khatam sebanyak 40 kali dan  Kitab Minhaj (karya Imam Nawawi), khatam sebanyak 3 kali. Beliau menekuni bidang fiqh, hadits, Al Qur’an, akhlak, tauhid dan berbagai cabang ilmu agama lainnya kepada banyak ulama. Hasilnya bisa dilihat, bahwa Syeikh Abu Bakar bin Salim kemudian menjadi ulama yang menguasai banyak bidang ilmu agama.

Selain itu, beliau adalah seorang yang sangat konsisten dalam menjalankan segala hal. Beliau secara konsisten membina majelis tiap hari Rabu (Dares Arbi’a) dan majelis setelah subuh selama bertahun-tahun. Beliau secara konsisten setiap malam memenuhi air di kamar mandi dan sumur-sumur masjid di kota Tarim yang berjumlah kurang lebih 365 masjid, dengan tujuan untuk menyediakan air untuk keperluan wudhu dan mandi orang-orang di waktu subuh. Beliau melakukan hal tersebut selama kurang lebih 40 tahun.  Bahkan konsistensi beliau terlihat dalam segala situasi dan kondisi, seperti misalnya konsistensinya untuk berziarah ke makam Nabi Hud A.S. Beliau sudah menziarahi makam tersebut sebanyak 70 kali termasuk dalam keadaan sakit dan lanjut usia hingga beliau harus ditandu.   Beliau secara konsisten juga setiap hari membagi-bagikan 1000 roti kepada fakir miskin dan duafa.

Semuanya dilakukan untuk memenuhi tujuan yaitu mengibarkan panji syariat Islam dan membela agama Allah. Motivasi Syeikh Abu Bakar bin Salim yang begitu kuat untuk menghidupkan agama saat itu, tidak lepas dari tujuan-tujuan mulianya di masa yang akan datang. Carl Gustav Jung (dalam Feist & Feist, 2010) menyebut hal seperti itu sebagai teleologi,  yaitu sebuah konsep bahwa kejadian masa kini dimotivasi oleh tujuan dan aspirasi akan masa depan. Seseorang akan bergerak dari satu tujuan ke tujuan lain, setiap menyelesaikan suatu aktivitas. Tujuan-tujuan itulah yang kemudian memotivasi seseorang untuk bergerak. Sebagaimana yang dilakukan Syeikh Abu Bakar bin Salim, beliau senantiasa bergerak dari satu aktivitas ke aktivitas yang lain, tanpa lelah. Jika seseorang sudah mantap dengan sebuah tujuan yang ingin dicapainya, niscaya ia akan termotivasi untuk meraihnya. Syeikh Abu Bakar bin Salim merupakan orang yang tidak pernah puas dengan sebuah pencapaian. Segala aktivitas akan dilakukannya hingga tercapainya tujuan terakhir yang sekaligus merupakan tujuan tertinggi, yaitu perjumpaan dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Kondisi seperti itu merupakan hal yang bisa ditiru dari kehidupan beliau.

Syeikh Abu Bakar bin Salim juga merupakan orang yang mudah beradaptasi dengan lingkungannya. Ketika beliau berhijrah ke Inat, beliau kemudian menghidupkan kota Inat dengan cahaya ilmu dan akhlak. Beliau mendirikan majelis ta’lim, mengajarkan orang-orang tentang syariat Islam, mendidik mereka dengan akhlak dan budi pekerti, menyambung ikatan seseoran yang terputus dengan Tuhannya, menasehati mereka dan menunjukkannya ke jalan yang lurus sehingga beliau menjadi orang yang paling bermanfaat di kota Inat. Beliau bisa bergaul dengan berbagai kalangan, baik pejabat, orang kaya, orang miskin dan orang lanjut usia. Beliau bergaul dengan penuh rahmat dan kasih sayang. Apabila beliau bertemu dengan seorang muslim, beliau sangat memuliakannya, tidak lain karena beliau memandang orang tersebut adalah umat Rasulullah. Barang siapa memuliakan seorang umat nabi, pasti nabi memuliakannya dan apabila telah dimuliakan oleh nabi, pasti dimuliakan Allah.

Apa yang dilakukan Syeikh Abu Bakar bin Salim didasari oleh munculnya energi psikis yang dialirkan ke luar sebagai bentuk respon untuk beradaptasi terhadap lingkungannya.  Hal ini disebut dengan progresi  oleh Carl Gustav Jung (dalam Feist & Feist, 2010). Progresi  akan membuat seseorang bereaksi secara konsisten terhadap kondisi lingkungannya. Seyogyanya, hal ini juga bisa dijadikan pelajaran, bahwa sebaiknya dimanapun berada, seorang Muslim semestinya beradaptasi dengan lingkungannya dan berusaha agar berkontribusi terhadap perbaikan di sekitarnya. Seorang Muslim tidak disarankan untuk menarik diri dari sosial, mengurung diri, menghindari kontak sosial dan tidak peduli terhadap kondisi lingkungan sekitarnya, walaupun dirinya termasuk orang yang introvert sekalipun. Menurut Carl Gustav Jung (dalam Feist & Feist, 2010), ada dua jenis tipe kepribadian, yaitu introvert dan extrovert. Introvert dicirikan sebagai orang pendiam, tertutup, menarik diri, suka menyendiri, cenderung terikat dengan masa lalu, kurang berani melangkah ke depan dan menyukai hal-hal yang monoton. Extrovert memiliki ciri-ciri mudah beradaptasi, memiliki teman banyak, banyak bercerita, berani mengambil resiko, lebih fokus pada masa depan dan menyukai hal-hal yang dinamis.

Selain peduli pada orang lain beliau juga dermawan. Kedermawanan Syeikh Abu Bakar bin Salim selain ditunjukkan dengan banyaknya sedekah yang beliau keluarkan setiap hari untuk orang miskin (1.000 roti dibagikan setiap hari), beliau juga senang sekali menjamu tamu. Beliau sering menyembelih satu atau dua unta untuk menyuguhi para tamu yang datang. Semakin banyak tamu yang datang, semakin banyak pula unta yang disembelihnya. Hal ini menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang kaya raya. Namun kekayaannya itu beliau infakkan untuk fakir miskin, duafa dan tamu yang datang. Beliau tidak sedikitpun mengharap balasan dari mereka. Apa yang dilakukan Syeikh Abu Bakar bin Salim menunjukkan bahwa beliau telah sampai pada hierarkhi kebutuhan tertinggi menurut Abraham Maslow (dalam Feist & Feist, 2010), yaitu kebutuhan Aktualisasi Diri. Hierarkhi kebutuhan tersebut meliputi:

  1. Kebutuhan Fisiologis.Kebutuhan yang berhubungan dengan kebutuhan dasar seperti makanan, air, oksigen, dan sebagainya.
  2. Kebutuhan akan Rasa Aman.Berhubungan dengan keamanan fisik, perlindungan, hukum, asuransi, bebas dari ancaman, dan sebagainya.
  3. Kebutuhan akan Cinta dan Keberadaan.Meliputi keinginan untuk berteman, berkeluarga, aktif di masyarakat, dan sebagainya.
  4. Kebutuhan akan Penghargaan.Kebutuhan akan harga diri, penghormatan, reputasi, gengsi, pengakuan orang lain, dan sebagainya.
  5. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri

Kebutuhan ini dicirikan dengan adanya sikap menerima keadaan diri, menerima kekurangan orang lain, sederhana, mandiri, menghargai setiap kejadian yang dialami, memiliki pengalaman puncak (pengalaman spiritual), memiliki hubungan interpersonal yang kuat, kreatif dan sebagainya.

Sesuai ciri-ciri yang ada, apa yang di terjadi dalam diri Syeikh Abu Bakar bin Salim menunjukkan bahwa beliau merupakan individu yang berhasil mengaktualisasikan dirinya dengan sangat baik. Seorang Muslim idealnya sampai pada hierarkhi tertinggi dari kebutuhan ini, dengan kata lain, bisa mengaktualisasikan dirinya. Seorang yang telah berhasil sampai puncak hierarkhi kebutuhan itu menunjukkan bahwa ia merupakan individu yang sehat mental.

Syeikh Abu Bakar bin Salim adalah seorang yang tawadhu. Beliau merasa apa yang telah dimilikinya semua itu adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa. Beliau melihat orang lain lebih afdhol dari dirinya. Di dalam hatinya yang bersih terpancar cahaya keimanan yang kuat, sifatnya santun dan tidak merendahkan orang lain dan merasa bahwa amal ibadahnya masih sedikit dan sangat kurang. Setingkat Syeikh Abu Bakar bin Salim yang merupakan seorang ulama dan bahkan seorang wali, beliau tetap merasa seperti itu. Beliau berkata,”Alangkah ruginya diriku, alangkah celakanya aku, apabila umurku habis tapi keridhoan Allah belum bisa aku raih…yang ditakutkan adalah kematian yang tidak diridhoi”.

Dikisahkan suatu hari seorang perempuan tua datang ke rumah Syeikh Abu Bakar bin Salim membawa seikat gandum untuk disumbangkan kepada beliau (padahal Syeikh Abu Bakar bin Salim adalah seorang ulama besar yang kaya raya). Pada saat itu beliau sedang beristirahat. Sesampainya di rumah beliau, perempuan tersebut bertemu dengan pembantu Syeikh Abu Bakar bin Salim, kemudian berkata, “Wahai pembantu, tolong berikan gandum ini kepada Syeikh Abu Bakar sebagai bantuan dariku”. Mendengar hal itu, pembantu tersebut memarahinya dan berkata, “Wahai perempuan, apalah artinya sumbanganmu ini? Tidakkah engkau tahu bahwa beliau biasa menjamu para tamu yang datang dan memberinya makan? Sungguh pemberianmu sanaatlah sedikit. Bawalah kembali gandummu agar engkau bisa nikmati bersama keluargamu”. Mendengar perkataan itu, perempuan tersebut kemudian bersedih dan meninggalkan rumah Syeikh Abu Bakar bin Salim.

Ucapan kasar pembantu itu terdengar oleh Syeikh Abu Bakar bin Salim. Beliau kemudian segera bergegasi turun dari atas rumahnya dan mengejar perempuan tua tadi. Beliau kemudian memanggilnya dan dengan penuh takdzim berkata, “Selamat datang wahai perempuan…..alangkah mulianya tujuanmu. Engkau datang dari rumahmu, membawa sendiri gandum ini dan ingin menginfakkannya. Hal itu tak lain karena sifat kasih sayangmu kepada umat Nabi, kemarikanlah gandum itu…”.Beliau lalu mengambil gandum itu dengan penuh hormat dan kemudian memberi hadiah yang sangat banyak kepada perempuan itu. Perempuan tersebut begitu gembira mendengar ucapan tersebut. Beliau kemudian kembali ke rumahnya dan berkata kepada pembantunya dengan penuh lemah lembut, “Jangan engkau ulangi perbuatanmu….barangsiapa tidak bersyukur dengan hal yang sedikit, ia tidak akan pernah bersyukur kepada hal yang banyak, dan barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak akan pernah berterima kasih kepada Allah”.

Itulah salah satu ketawadhuan Syeikh Abu Bakar bin Salim. Di saat beliau memiliki harta yang sangat banyak, menduduki posisi yang tinggi sebagai pemuka umat dan menguasai berbagai ilmu agama, beliau tetap bersikap rendah hati kepada semua orang, bahkan kepada orang yang kurang mampu. Berbagai hal yang beliau punya, tidak menjadikannya merasa sombong dan merasa lebih daripada orang lain. Beliau menekan dorongan hawa nafsunya dan mengendalikan egonya dengan begitu kuat.

Sigmund Freud, pencetus teori psikonalisa (dalam Feist & Feist, 2010), menyebutkan bahwa kepribadian seseorang terdiri dari tiga hal yaitu, ID, EGO dan SUPEREGO. Pertama, ID. Id berhubungan dengan segala dorongan untuk meraih kesenangan. Id selalu menuntut pemenuhan setiap keinginannya dengan segera. Id tidak mempunyai akses langsung dengan dunia nyata. Prinsip yang dianut adalah prinsip kesenangan (pleasure principle). Bayi yang baru lahir adalah perwujudan dari Id yang bebas dari hambatan ego dan superego. Bayi mencari pemenuhan kebutuhan tanpa ambil pusing, apakah hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan (yang terkait dengan peran ego) atau apakah hal itu tepat untuk dilakukan (yang berkaitan dengan superego).

Pertama, ID. Id adalah wilayah yang primitif, tidak logis, dan penuh energi yang datang dari dorongan-dorongan dasar serta dicurahkan semata-mata untuk memuaskan prinsip kesenangan. Salah satu yang bisa dikategorikan ke dalam Id yaitu hawa nafsu.

Kedua, EGO. Ego adalah bagian yang memiliki kontak langsung dengan realita. Ego berkembang dari Id semasa bayi dan menjadi satu-satunya sumber seseorang dalam berkomunikasi dengan dunia luar. Ego bekerja dengan prinsip kenyataan (reality principle) dan berfungsi sebagai pengambil keputusan dari kepribadian. Ego selalu  berada di tengah-tengah antara dorongan id yang irasional dan pertimbangan superego yang lebih sesuai dengan realita. Ego akan bergerak sesuai tarikan mana yang lebih kuat antara id dan superego.

Ketiga, SUPEREGO. Superego mewakili aspek-aspek moral dan ideal dari kepribadian serta dikendalikan oleh prinsip-prinsip moralitas dan idealis (moralistic and idealistic principles). Superego tumbuh dari penanaman nilai-nilai moral, norma sosial, agama yang didapat dari orang tua dan lingkungannya. Superego yang berkembang dengan baik berperan dalam mengendalikan dorongan Id.

Syeikh Abu Bakar bin Salim sejak usia muda sudah berusaha dengan gigih untuk mengendalikan dorongan-dorongan hawa nafsunya (Id). Pada kisah tentang perempuan tua pembawa gandum di atas, tampak bahwa Syeikh Abu Bakar bin Salim bisa mengalahkan dorongan id yang sebenarnya kemungkinan untuk munculnya besar mengingat kedudukan beliau yang tinggi baik secara sosial, ekonomi maupun agama. Perasaan ingin dihargai, ingin dipuji, ingin dimulyakan sebagai bentuk dari adanya dorongan id (hawa nafsu) yang bisa saja muncul, tapi bisa dikalahkan dengan mudah oleh pertimbangan-pertimbangan superego yang memang sudah berkembang dari kecil dalam diri Syeikh Abu Bakar bin Salim, sehingga ego beliau bergerak mengikuti pertimbangan superego dalam bentuk perlakuan yang menghormati dan tutur kata yang lembut kepada perempuan tersebut.

Inilah salah satu poin penting yang bisa diambil pelajaran. Apapun yang dimiliki, baik kekayaan, jabatan, gelar akademik, ilmu agama, ilmu pengetahuan dan sebagainya semestinya tidaklah membuat seseorang itu sombong dan mengecilkan orang lain. Syeikh Abu Bakar bin Salim telah memberikan teladan, betapa beliau tidak bisa ditipu oleh dunia. (Bersambung)

Leave A Reply

Your email address will not be published.