The news is by your side.

Makna Syariat, Tarekat dan Hakekat dalam Perspektif Imam Muhammad As-Shawi

Oleh: Moch. Vicky Shahrul H. – Sebagian bijak bestari bertutur, inti kehidupan adalah melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya dan mengimani segala keputusan-Nya. Hal itu pula yang menjadi nilai inti dari ajaran agama Islam. Semuanya terpusat kepada-Nya, tidak ada yang lain.

Namun, sebelum mengaplikasikan konsep inti ajaran agama Islam di atas, kiranya ada satu hal penting yang perlu diperhatikan. Imam al-Ghazali, hendak menjelaskannya sebagaimana di bawah ini,

يَنْبَغِيْ لَكَ أَنْ تَعْلَمَ قَبْلَ كُلِّ شَيْءٍ أَنَّ الهِدَايَةَ الَّتِيْ هِيَ ثَمْرَةُ العِلْمِ لَهَا بِدَايَةٌ وَنِهَايَةٌ

Artinya: “Sebelum melaksanakan inti ajaran Islam, akan lebih baik jika kita mengetahui bahwa petunjuk, (dalam hal ini adalah buah dari ilmu pengetahuan) memiliki permulaan dan akhir (puncak).“

Imam Nawawi menjelaskan, yang dikehendaki Imam al-Ghazali mengenai “permulaan” adalah Syariat dan Tarekat. Sedang yang dikehendaki dari “akhir (puncak)” adalah Hakikat. Untuk memahami tiga istilah tersebut, kiranya penjelasan Muhammad as-Shawi setelah ini bisa memberikan jawaban yang sederhana lagi mudah dipahami.

Sebelumnya, Muhammad as-Shawi adalah salah satu ulama bermazhab Maliki. Beliau adalah pengarang kitab yang sangat monumental di kalangan umat muslim, khususnya di Indonesia, yakni Hasyiah Shawi syarah dari kitab Tafsir al-Jalalaini.

Pertama, syariat. Menurut perspektif Muhammad as-Shawi, berarti,

الأَحْكَامُ الَّتِيْ كَلَّفَنَا بِهَا رَسُوْلُ اللهِ عَنِ اللهِ مِنَ الوَاجِبَاتِ وَالمَنْدُوْبَاتِ وَالمُحَرَّمَاتِ وَالمَكْرُوْهَاتِ وَالجَائِزَاتِ

Artinya: “Hukum-hukum yang dibebankan oleh Nabi Muhammad kepada kita dan berasal dari Allah. Hukum tersebut bisa berupa kewajiban, keharaman dan lainnya.”

Jadi, bentuk-bentuk ibadah wajib semisal salat, membayar zakat, haji dan lain sebagainya, adalah bentuk-bentuk dari syariat itu sendiri. Juga mengenai pekerjaan yang haram dilakukan semisal zina, mencuri, dan lainnya, adalah bentuk-bentuk dari syariat. Intinya, syariat itu adalah hukum-hukum yang berlaku bagi umat manusia.

Kedua, adalah tarekat. Beliau menuturkan,

العَمَلُ بِالوَاجِبَاتِ وَالمَنْدُوْبَاتِ وَالتَّرْكُ لِلْمَنْهِيَّاتِ وَالتَّخَلِّي عَنْ فُضُوْلِ المُبَاحَاتِ وَالأَخْذُ بِالأَحْوَطِ

Artinya: “Mengerjakan kewajiban dan meninggalkan larangan serta meninggalkan berlebihan dalam menikmati segala hal yang legal serta memilih untuk berhati-hati dalam segala hal.”

Jadi, kalau syariat itu hukum-hukum sebagaimana disebutkan sebelumnya, maka tarekat adalah aksi atau aplikasiannya. Namun, tidak sekedar melaksanakan, tapi juga memperhatikan hal-hal tertentu. Misalnya tidak berlebihan dalam memanfaatkan pekerjaan yang dilegalkan agama.

Untuk yang terakhir disebut, dalam parktiknya bisa dengan menahan lapar, tidak banyak berbicara, tahan tidak tidur di malam hari. Semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Menjadi pribadi manusia yang memiliki derajat terbaik di sisi-Nya.

Ketiga, dan ini terakhir, adalah hakekat. Beliau, Muhammad as-Shawi menjelaskan,

فَهْمُ حَقَائِقِ الأَشْيَاءِ

“Hakekat berarti memahami hakikat dari segala hal.”

Ini adalah puncak dari segala prosedur menuju kebahagiaan sejati, baik di dunia ataupun di akhirat. Proses tersebut bernama hakekat. Secara sederhana, hakekat berarti memahami hakikat dari segala hal.

Gambarannya cukup luas. Misalnya, memahami makna di balik larangan suatu hal. Bisa juga dengan pemahaman terhadap rahasia-rahasia yang ada di ayat-ayat al-Quran. Atau lebih tinggi lagi, pemahaman terhadap ilmu-ilmu yang memang bisa didapat langsung dari Allah, bukan yang lain.

Jadi, orang yang sudah mencapai derajat puncak ini, akan mendapat keistimewaan dari Allah. Salah satunya adalah mendapat ilmu laduni dari-Nya. Penjelasan ini senada dengan pernyataan Imam Malik sebagaimana berikut,

مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“Siapapun dia yang mengamalkan (tarekat) ilmunya (syariat), maka Allah akan memberikan pengetahuan (ilmu) yang sebelumnya belum dia mengerti (hakekat).”

Demikianlah penjelasan sederhana seputar syariat, tarekat dan hakekat. Semoga penjelasan sederhana ini bisa memberikan manfaat.

Sekian! Terimakasih!

Referensi: Kitab berjudul Maraqil al-Ubudiyah syarah Bidayah al-Hidayah karangan Imam Nawawi al-Bantani
Malang, 21 Januari 2024

(Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang)

Penulis
Moch Vicky Shahrul H.
Leave A Reply

Your email address will not be published.