Khutbah Geopolitik Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Rois Akbar HBNO (PBNU) di Muktamar 1940
Ada yang keren dan menarik saat Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Rois Akbar HBNO (PBNU) menyampaikan khutbah sambutan pada membuka muktamar NO (NU) ke-15 tahun 1940 yang diadakan di Surabaya. Hadratus Syaikh dalam khutbahnya tersebut mengulas sebuah peristiwa geo-politik internasional, yaitu Perang Dunia II di Eropa yang berdampak pada krisis akut di Hijaz, serta penentuan nasib para mukimin Nusantara di Makkah yang terkena imbas krisis tersebut.
Saat itu Jerman telah menduduki Belanda, dan nasib koloni Belanda di Hindia (Hindia Belanda/ Nusantara) menjadi tak menentu. Perang Dunia II juga berdampak besar kepada Makkah-Madinah (Hijaz). Dua kota suci itu tertimpa krisis hebat. Akibat perang, jalur dagang maritim dunia di sekitaran Laut Tengah dan Laut Merah lumpuh total. Hijaz pun kekurangan pasokan makanan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Saat khutbah dibacakan Hadratus Syaikh, krisis di Hijaz sudah berlangsung selama enam bulan lamanya.
Sementara itu di Hijaz ada ribuan mukimin Jawi (Nusantara) yang mayoritas menjadi pelajar dan pengajar di Masjidil Haram, Makkah. Krisis Hijaz akibat Perang Dunia II menjadikan kondisi ribuan mukimin Nusantara di Makkah kian sengsara. Lalu apa yang diserukan Hadratus Syaikh dalam khutbahnya itu terkait nasib dan masa depan para mukimin Nusantara di Makkah tersebut?
Ya! Beliau menyeru semua anggota NO agar menyisihkan sejumlah uang guna dikirimkan ke Makkah, untuk membantu penduduk kota suci itu, utamanya para mukimin Nusantara di sana. Penggalangan dana itu dikoordinir oleh HBNO. Tak hanya itu saja, Hadratus Syaikh sebagai pemimpin tertinggi Dewan Umat Islam Hindia Belanda (al-Majlis al-A’la al-Islami) juga menuntut pemerintah Hindia Belanda untuk memberangkatkan kapal penumpang guna mengangkut para mukimin Nusantara di Hijaz dan membawa mereka pulang ke tanah air, sebagai solusi keluar dari kecamuk krisis Hijaz dan Perang Dunia II.
Membaca khutbah Hadratus Syaikh ini saya merasa terhenyak. Ternyata spektrum dan jangkauan sikap serta pemikiran beliau sangat mendunia.
Lahul Faatihah. Bogor, Juli 2018
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban