Menelisik Spiritualitas PKS Pasca Pemilu dan Bagaimana Langkah Politis Mereka
Oleh Ayik Heriansyah
PKS mungkin sedang apes. Partai Islam produk orde reformasi ini dirundung masalah. Masalah terbesar, terbelahnya kader PKS antara dua kubu besar, kubu DPP PKS dan kubu Anis Matta (AM). Berbeda dengan konflik DPP PKS melawan Fahri Hamzah, konflik DPP PKS dengan AM berlangsung silent.
Fahri Hamzah, beberapa waktu lalu, menghantam sisi luar PKS, dengan tuntutan 30 milyar atau ancaman sita gedung DPP PKS sedangkan AM menggerogoti struktur PKS dari dalam dengan Garbi-nya. Kedua konflik ini berimbas kepada performa PKS di Pilkada Serentak. Perolehan PKS di Pilkada Serentak jauh dari target. Bahkan Jawa Barat sejak dulu jadi basis PKS paling kuat, harus lepas ke tangan calon Gubernur yang diusung partai lain. Belum lagi bayang-bayang tidak dapat kursi Wakil Gubernur DKI yang ditinggalkan Sandiana Uno dan kekalahan di Pilpres 2019 ini.
Bibit-bibit perbedaan sudah muncul ketika pendirian partai 1998. Jamaah Tarbiyah saat itu dihadapkan pada pilihan mendirikan partai atau tidak. Perdebatan panjang sampai memakan waktu 6 bulan akhirnya voting. 70% kader setuju didirikan partai, 28% tidak setuju dan 2% abstain. AM termasuk yang tidak setuju. Ketidaksetujuannya lebih disebabkan oleh keraguannya akan kemampuan jamaah menanggung konsekuensi sebuah partai politik (Anis Matta, Spiritualitas Kader, 2014: 52). Sebagai kader, AM taat atas hasil voting. Dia ditunjuk jadi Sekretaris Jenderal. Posisi ini dipegangnya sampai 15 tahun. Sempat 2 tahun jadi Presiden PKS mengganti Luthfi Hasan Ishaq yang kena OTT KPK.
Sebenarnya perselisihan, perbedaan pendapat dan konflik sunnatullah dalam politik. Sayangnya budaya jamaah Tarbiyah yang mengedepankan keseragamaan belum siap dengan realitas politik yang majemuk. Politik itu seni bukan sains. Seni mengatur orang, mengelola konflik, meraih kekuasaan, mendayagunakan dan mempertahankannya. Faktor rasa hati dan intuisi sangat berperan. Karena itu kapasitas spiritualitas yang besar mutlak dimiliki oleh seorang politisi. Figur seperti Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz, Shalahuddin al Ayyubi dan Muhammad al Fatih, di antara penguasa muslim yang memiliki kapasitas spiritual yang sangat besar dan sukses menjadi politisi dunia.
Memang belum sejernih dan sedalam al-Hikam, di antara elit PKS, Anis Matta (AM) memiliki bobot spiritualitas lebih dibandingkan yang lain. Retorika dan tulisannya yang bernuansa spiritual menjadi magnet tersendiri bagi kader-kader PKS. Umumnya kader PKS berpola pikir bayani ala materi panah liqa. Memadukan dengan serasi aktivitas politik dengan spiritual butuh tenaga ekstra karena daya dorong kedua aktivitas ini bertolak belakang. Politik didorong oleh nafsu syahwat berkuasa, mengatur dan mendominasi sedangkan spiritualitas berjuang menekan nafsu syahwat, bersikap pasrah dan suka menyendiri.
Akan tetapi hanya spiritualitas yang bisa menjinakkan, membimbing dan mengarahkan nafsu syahwat politik agar mashlahat. Dengan kata lain politisi yang memiliki kapasitas spiritualitas yang besar yang bisa membawa kemashlahatan kepada umat dengan kekuasaannya. Spiritualitas harus lebih besar daripada nafsu syahwat politik. Jika spiritualitas itu bumi maka nafsu syahwat politik seukuran bulan. Jika nafsu syahwat politik sebesar bumi maka kapasitas spiritualitas harus sebesar matahari. Sehingga nafsu syahwat politik senantiasa berada di orbitnya.
Spiritualitas bagian paling dalam dari eksistensi. Ia bagian dari eksistensi manusia yang berhubungan langsung dengan eksistensi Allah Swt. Begitu urgen dan vital bagian terdalam manusia ini, AM mengatakan; “ Kekacauan yang ada di luar kita bermula dari kekacauan yang ada dalam diri kita. Akar keteraturan adalah spiritualitas yang tampak dalam skala individu, keluarga, organisasi dan negara. Bila seseorang kehilangan spiritualitas dalam dirinya maka ia akan mengalami disorder.” (Spiritualitas Kader, 2014: 140-141).
Tidak seperti NU yang memiliki banyak wali mursyid dan tarekat, di PKS tarbiyah ruhiyah diajarkan dalam halaqah dan memberi tugas amaliyah harian yang dicek murabbi ketika halaqah. Wirid al-Ma’tsurat susunan Syaikh Hasan Al Banna salah satu wirid harian yang dibaca pagi sore oleh kader PKS. Dalam perspektif tasawuf, jalan-jalan ruhani ke langit lebih rumit, rawan dan membingungkan daripada jalan-jalan bumi. Tanpa bimbingan seorang wali mursyid, kecil peluang untuk sampai ke tujuan ruhani. Syukur-syukur tidak sesat. Di sisi lain hajat aktivis partai politik akan spiritualitas sangat mendesak. Apalagi untuk pengurus di DPP. Konflik PKS yang berkepanjangan, mendalam, meluas dan akut, membuat perpecahan sesama pengemban ideologi Ikhwan tak terhindari. Metode politik dan saintifik untuk mengatasinya sudah dilakukan, tidak mempan, karena mengamputasi kader sebenarnya melemahkan partai memicu reaksi kontra produktif bagi partai. Coba sowan dan minta petunjuk wali mursyid. Siapa tahu ada solusi dari mereka.
Bolehkah jika saya mengamalkan wirid al-matsurat tetapi saya tidak sependapat dengan kekhilafahan? Saya pernah mencari ilmu 2 tahun di jawa barat (tidak sampai tuntas), dan itu memang basis PKS. 1 tahun di asrama, saya diajarkan membaca al matsurat walau tidak wajib. Hati saya tenang membacanya. Tetapi saya lebih adem mendengarkan kyai nu seperti Gus Baha. Apakah tidak apa-apa jika saya tetap mengamalkan wirid al matsurat?