The news is by your side.

Mengapa Beragama Harus Moderat?

Mengapa Beragama Harus Moderat? | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa Barat

Dr. H. Srie Muldrianto, MPd – Fenomena hijrah dan kecenderungan beragama mengalami perkembangan. Namun demikian fenomena beragama kadang dibarengi dengan suatu sikap yang justru bertentangan dengan hakekat tujuan agama. Diantara sikap atau tindakan beragama yang justru bertentangan dengan agama adalah kecendrungan beragama yang intoleran atau beragama yang eksklusif merasa benar sendiri dan menyalahkan atau menyerang paham yang berbeda dengan dirinya. Atau ada juga yang beragama bersifat liberal seraya menyatakan bahwa dirinya tidak terikat oleh aturan dan norma-norma agama yang sudah disepakati (Nash).

Kedua sikap itu dapat membahayakan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara kita, sebagai seorang Muslim tentu harus memiliki identitas karakter dan jati diri yang sesuai dengan kebenaran universal dan kebenaran khas yang tidak mengganggu dan merusak tatanan kehidupan. Beragama secara liberal dapat juga menghilangkan identitas dan jati diri kita sebagai seorang Muslim. Ajaran Islam yang dianut harusnya yang sesuai dengan hakikat ajaran agama dan kekinian. Islam kekinian adalah Islam moderat. Mengapa harus moderat?

Islam sebagai sebuah ajaran berbasis pada dua pedoman yaitu Al Qur’an dan As-Sunah (hadits). Al Qur’an yang kita baca sekarang merupakan produk budaya terkait karya manusia atau tulisan manusia. Tulisan al Qur’an yang kita temui sekarang mengalami perubahan sejak pertama ditulisnya. Dulu al Qur’an tidak memiliki tanda baca fatah, kasroh, domah, sukun bahkan tidak memiliki titik. Lahirnya al qur’an yang kita baca sekarang terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam yang mengalami kemajuan luar biasa. Ditemukannya Ilmu Nahwu dan Shorof telah memperkaya khasanah pengetahuan Islam, hingga kini kita dapat mempelajari teks al Qur’an. Sebagai sebuah teks, al Qur’an memiliki makna yang jelas (muhkam) dan memiliki makna yang samar (mutasyabih) yang memerlukan penjelasan dan penafsiran. Hingga sekarang sudah ribuan kitab tafsir al Qur’an telah ditulis. Di antara tafsir satu dengan tafsir lainnya mengalami perbedaan baik yang dekat maupun perbedaan yang jauh. Tapi para Ulama sepakat bahwa tafsir al Qur’an yang dikarang harus berdasar suatu referensi dan dasar keilmuan yang jelas oleh karena itu lahirlah Ulumul Qur’an dan ilmu Tafsir. Tafsir al Qur’an yang berbeda dapat mengakibatkan ajaran Islam yang berbeda baik dalam Fikih(syari’ah), maupun dalam ajaran aqidah dan akhlaq.

Bagaimana dengan Hadits? Kitab hadits ditulis kurang lebih setelah seratus tahun Rosulullah SAW wafat. Derajat hadits satu sama lain memiliki perbedaan. Hadits mutawatir (yang diriwayatkan banyak orang dan disepakati) sangat sedikit jumlahnya bahkan mungkin bisa dihitung dengan jari, rata-rata hadits bernilai ahad (yang diriwayatkan oleh satu orang) walaupun shohih. Hadits juga sebagaimana al Qur’an memiliki sejarah dan ilmunya tersendiri (Ulumul Hadits). Sehingga orang tidak bisa semena-mena memahami dan memaknai suatu hadits. Walaupun demikian perbedaan pemahaman hadits tetap saja banyak perbedaan.

Sejarah Islam khususnya terkait kepemimpinan setelah Rosulullah SAW wafat juga dipenuhi tragedy. Seperti suksesi kepemimpinan Sahabat Abu Bakar, kemudian Umar, Utsman, dan Ali. Pergantian tiga sahabat mulai dari Umar, Utsman, dan Ali terjadi tragedy, semua wafat dibunuh. Dan kemudian pada masa berikutnya pembunuhan demi pembunuhan terjadi mulai dari zaman Mua’wiyah, Yazid serta keturunan Umayah lainnya, Bani Abassiah dan lain-lain sering terjadi saling bunuh dan peperangan. Coba kita bandingkan dengan era Rosulullah SAW. Ketika Rosul mendakwahkan ajaran Islam apa yang dikenal dari dirinya. Beliau dikenal sebagai seorang al Amin (yang amanah) tidak pernah berdusta. Akhlaq Nabi dijadikan dakwah bagi umatnya. Ketika Nabi masuk ke Yatsrib, Nabi dijemput oleh suku Aus dan Hajrat yang pada awalnya saling membunuh dan berperang tapi setelah Nabi datang ke dua suku tersebut berdamai. Nabi ketika memasuki Mekah tidak terjadi pertumpahan darah. Tidak ada jejak sejarah yang menunjukan bahwa Nabi melakukan terror atau membunuh lawannya. Rohman dan rahimnya Nabi menandakan bahwa Islam sebagai agama cinta.

Akhlaq dan perilaku Rosul menjadikan bukti bahwa berislam adalah berakhlaq mulia. Titah Nabi adalah pasti benarnya. Karena di jamin oleh al Qur’an (Nabi tidak mengatakan dan berbuat dari hawa nafsunya kecuali wahyu An Najm: 3). Tafsir al Qur’an dari Nabi pasti benarnya tapi tafsir selainnya tidak ada jaminan benarnya. Oleh karena itu tidak ada cara lain jika kita ingin merujuk pada Nabi ikutilah ajarannya sesuai dengan standard keilmuan yang telah ditetapkan, walaupun berbeda pemahaman masih ada pertanggungjwaban keilmuannya. Klaim bahwa penafsiran dirinya sama dengan Nabi adalah tindakan berbahaya bagi keberlangsungan beragama sebab akan berperang satu sama lain karena merasa benar mutlak.

Bagaimana seharusnya beragama? Karena Nabi sudah wafat maka kebenaran mutlak beragama sudah tidak ada lagi. Semua pembahasan haram, makruh, mubah, sunah dan wajib, ditetapkan lewat kaidah keilmuan. Tentang cara mengitsbat (menetapkan) sebuah hukum, Seberbeda apapun hasil ketetapan hukumnya harus saling menghargai asal mengikuti kaidah atau aturan yang berlaku. Sikap moderat dalam beragama menjadi keharusan kalau kita tidak ingin saling berperang satu sama lain. Sikap moderat tidak sama dengan sikap liberal. Seorang moderat masih meyakini batasan dan aturan tertentu sedangkan sikap liberal tidak memiliki system dan model tertentu dalam menetapkan sebuah hukum.

Tak dapat dibayangkan dampak dari cara beragama yang eksklusif dan memusuhi serta selalu menyerang pendapat orang lain. Sejarah telah membuktikan akan terjadi kehancuran peradaban Islam. Umat Islam kini dituntut untuk bersaing dengan umat yang lain baik dalam bidang moralitas maupun dalam bidang sains dan teknologi. Islam sebagai sebuah agama harus dapat memberikan manfaat bagi kehidupan di dunia dan kehidupan di akherat. Pendidikan agama tentu sangat penting agar tidak terjadi kehidupan beragama yang liberal dan ekslusif. Seorang Ulama harus memiliki ilmu-ilmu dasar agama dan ilmu lanjutan seperti Bahasa Arab, yang di dalamnya ada Nahwu, Shorof, Bayan, Ma’ni, Badi dll, juga Mantik, Fikih, Tafsir, Hadits, Aqidah, Akhlak dan Tasawuf.

Dakwah Agama harus berdampak pada kemajuan dan perkembangan moral, kemajuan sains, dan teknologi. Dalam surat al Imron ayat ayat 139 “Dan Janganlah kamu lemah, dan jangan pula bersedih hati sebab kamu paling tinggi derajatnya, Jika kamu orang beriman”. Jika kita ingin digolongkan menjadi orang-orang mukmin maka kita harus kuat dan gembira atau bahagia. Jika kita ada dalam satu komunitas kita harus dapat membuktikan keimanan kita baik dari segi akhlaq, sains, atau keilmuan lainnya. Ayo moderatlah dalam beragama!

Penulis: Dr. H. Srie Muldrianto, MPd (Ketua PC. MATAN Purwakarta, Pengurus HIPAKAD Purwakarta dan aktivis Pendidikan di Purwakarta)

Leave A Reply

Your email address will not be published.