Menimbang Usulan Sertifikasi Dai
Wacana tentang sertifikasi dai kembali mengemuka setelah muncul polemik 200 penceramah yang dirilis oleh Kementerian Agama baru-baru ini. Masyarakat mempertanyakan apa dasar dari rilis 200 orang tersebut. Lalu muncul usulan agar para dai disertifikasi biar ada indikator yang jelas. Beberapa indikator yang diusulkan adalah kompetensi agama, jam terbang, dan komitmen kebangsaannya. Rencana sertifikasi ini mengulang usulan yang muncul pada tahun 2017 lalu tetapi menimbulkan pro-kontra di masyarakat sehingga akhirnya isu tersebut menghilang, terlupakan oleh isu-isu baru yang berubah dengan cepat.
Upaya standarisasi dan kemudian berujung pada sertifikasi pada dai berawal dari keresahan terhadap banyaknya penceramah dan mengkhutbah di masjid-masjid yang menggunakan ruang tersebut untuk menyampaikan ide-ide yang tidak toleran dan beberapa di antaranya dengan lantang menyuarakan anti-NKRI. Dalam sebuah bangsa yang majemuk, ide-ide radikal tersebut dapat mengganggu harmoni masyarakat yang dengan susah payah dibangun dan dijaga.
Demokrasi yang berkembang di negeri kita ini memang memberikan kebebasan kepada warga negara untuk menyampaikan ekspresinya dengan berserikat dan organisasi untuk memperjuangkan idenya. Tetapi, kampanye yang tujuan jangka panjangnya untuk memberangus kebebasan itu sendiri tidak perlu diberi ruang. Kita bisa belajar dari negara-negara di Timur Tengah di mana kelompok radikal memanfaatkan demokrasi untuk meraih kekuasaan dan ketika sudah berkuasa, demokrasi yang telah menghantarkan mereka berkuasa lalu dipinggirkan.
Kini saatnya berpikir dengan jernih langkah terbaik dalam mengatasi kampanye radikalisme dan anti-NKRI yang disuarakan oleh sejumlah penceramah. Kontroversi daftar 200 penceramah dapat menjadi momentum untuk segera menentukan sikap dalam mengatur ruang publik agar masing-masing saling menghormati dan menjaga keberlangsungan bangsa ini. Ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, MUI, dan lainnya dapat duduk bersama mencari format terbaik. Jika upaya tersebut muncul dari bawah, yang diwakili oleh ormas-ormas Islam, maka usulan akan lebih mungkin diterima masyarakat. Pemerintah cukup sebagai fasilitator.
Jika memang sertifikasi dianggap sebagai solusi terbaik, selanjutnya perlu dirumuskan standarnya. Ada standar yang jelas dan terukur dalam bentuk instrumen yang terperinci dalam sejumlah indikator bahwa seseorang memenuhi kualifikasi sebagai dai atau daiyah yang mumpuni. Hal ini akan mengurangi subyektifitas bahwa seorang dai sudah memenuhi kapasitas atau belum. Bisa saja dai yang terindikasi radikal, tetapi karena bernaung atau menjadi pengurus ormas tertentu, maka tetap diloloskan. Jangan pula, hanya karena berbeda persoalan khilafiyah, dai tertentu tidak diloloskan. Persoalan ini menggambarkan sedikit dari kerumitan masalah keagamaan yang ada di Indonesia.
Banyak persoalan lain yang perlu diperjelas seperti siapa yang berhak melakukan sertifikasi, apakah MUI atau masing-masing ormas, bagaimana pengawasan mutu sertifikasi, apakah juga perlu melibatkan Komite Akreditasi Nasional (KAN) yang memiliki kewenangan untuk menilai kompetensi suatu embaga atau organisasi dalam melakukan kegiatan penialian kesesuaian tertentu. Bagaimana penjenjangan kualifikasinya, termasuk berapa lama sertifikasi berlaku, bagaimana pengawasan jika ada pelanggaran dari ketentuan yang berlaku. Ini hanya sebagian kecil dari ketentuan yang harus diselesaikan. Butuh waktu dan pikiran yang jernih untuk menyelesaikan semua hal tersebut karena ketika sudah diputuskan, akan mempengaruhi banyak orang. Jangan sampai ketika sudah diselesaikan, standar sertifikasi tersebut dipertanyakan atau ditolak masyarakat.
Menjadi dai bukanlah sebuah pekerjaan atau profesi. Sementara sertifikasi biasanya dilakukan oleh asosiasi profesi tertentu untuk menentukan kualifikasi seseorang dalam satu bidang profesi. Karena itu, sertifikasi dai tidak dapat menjadi stempel bahwa dai akan menjadi sebuah profesi dengan bayaran sesuai kualifikasi jenjang sertifikasi yang diperoleh. Hal ini akan merendahkan nilai dakwah yang dilakukan oleh para dai. Menjadi pendakwah merupakan panggilan hati yang muncul di masyarakat. Yang memberi pengakuan atas kompetensi selama ini juga masyarakat, apakah seorang dai memiliki pengaruh tingkat kampung, kabupaten atau memilki jangkauan nasional.
Umumnya, masyarakat memberi honor atas ceramah yang dilakukan dilakukan oleh dai atau daiyah, tetapi tidak ada standar. Ada etika di kalangan para dai untuk tidak menentukan tarif karena hal ini dianggap mencederai nilai dakwah yang mereka lakukan. Dan honor yang mereka terima biasanya digunakan untuk mengembangkan lembaga pendidikan yang dikelolanya. Rata-rata dai memiliki lembaga pendidikan seperti pesantren atau sekolah yang tentunya membutuhkan biaya operasional besar agar bisa berjalan dengan baik.
Jika sertifikasi dianggap bukan sebagai ide yang layak, lalu bagaimana dengan solusi lain, apakah cukup dengan menyebutkan kriteria dai yang dianggap mumpuni. Lalu semuanya diserahkan kepada masyarakat. Mereka yang akhirnya akan menilai. Publlik yang akan menentukan, dai mana yang akan laku dan mana yang tidak, mana yang akan mampu bertahan lama dan berkembang, mana yang akan segera layu digantikan oleh dai yang menawarkan sesuatu yang baru. Ada nilai plus atau minusnya jika menggunakan pendekatan ini.
Jika publik yang berhak menilai maka konsekuensinya, sejumlah dai yang berafiliasi dengan kelompok atau ideologi tertentu, tetapi dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan akan tetap diakui keberadaannya, minimal oleh kelompoknya sendiri.. Akhirnya muncul konflik dalam masyarakat, antara yang menolak dan mendukungnya. Konflik bisa melebar dengan cepat seiring dengan berkembangnya media sosial.
Ada pula dai yang berafiliasi dengan partai politik tertentu, yang akhirnya tidak bisa berpikir dengan jernih atas berbagai persoalan bangsa. Dai pendukung partai oposisi menjadikan panggungnya sebagai sarana untuk menghujat pemerintah sementara yang pro dengan kakuasaan memberi legitimasi atas tindakan-tindakan pemerintah. Dai sebagai penuntun masyarakat seharusnya menyampaikan kebenaran jika yang dilakuan pemerintah memang benar dan menyampaikan kritik jika yang dilakukan pemerintah memang patut untuk dikoreksi.
Kini saatnya mencari solusi yang komprehensif atas persoalan para pendakwah. Semua yang ditata dengan rapi berdasarkan sistem yang baik akan membuahkan ketertiban. Tak mudah memang, karena ada kelompok-kelompok tertentu yang akan merasa dirugikan dan melakukan perlawanan atas upaya ini. Tapi, di situlah tantangannya. (Achmad Mukafi Niam)
Sumber : NU Online