The news is by your side.

Menunggu Pengorbanan Para Pemimpin

Menunggu Pengorbanan Para Pemimpin
Menunggu Pengorbanan Para Pemimpin | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa Barat

Oleh: Toufik Imtikhani al Kalimasi, SIP.

PERAYAAN HARI Raya Idhul Adha 10 Dzulhijah 1440 H ( 11 Agustus 2019 ) telah berlalu. Ibadah Haji telah diselesaikan dan hewan-hewan telah disembelih sebagai qurban.Seluruh prosesi ibadah dalam Bulan Dzulhijah, tepatnya pada Hari Raya Idhul Adha telah selesai. Semua prosesi itu pada hakekatnya adalah ibadah ritual-simbolik yang perlu diterjemahkan dalam langkah-langkah konkret untuk kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan umat manusia dikarenakan semua ajaran agama, termasuk ibadah Haji dan qurban, pada dimensi tertentu memang diperuntukan untuk manusia, meskipun pada dimensi yang lain dipersembahkan untuk Tuhan.

Seluruh rangkaian ibadah Haji dan qurban pada hakekatnya merupakan proses asketis dengan menghancurkan yang profan dan fana, untuk mencapai yang eskatis dan abadi, dari materialisme kepada spiritualisme, dari materialistik kepada spiritualistik.Upaya ini tentu menbutuhkan kekuatan berupa keyakinan, disebabkan dimensi yang profan dan fana itu nyata dan nampak di depan mata, sedangkan dimensi yang eskatis dan abadi seperti sebuah utopia.

Ibadah haji bertujuan untuk memperoleh haji yang mabrur ( diterima ), yaitu haji yang menyebabkan pelakunya  meresapi makna haji sebagai perjalanan spiritual  yang mengesamping sesuatu yang bersifat materialistik keduniawian, sehingga dalam kehidupan nyata mereka kelak mengutamakan pengabdian kepada Tuhan dengan segala dimensinya, termasuk dimensi kemanusiaan. Mengagungkan etika dan peradaban secara menyeluruh, menjadikannya makhluk yang bermanfaat kepada sesama.

Ibadah qurban adalah simbol ketaatan kepada suatu perintah dari Allah, sebagaimana Ibrahiem ketika diperintah untuk menyembelih Ismail anak yang dicintai dan mencintainya. Tidak penting arti sembelihan itu, tetapi jalan ketaatan dan ketundukan tanpa reserve itulah yang penting. Allah sedang menguji hamba-Nya tentang ketaatan semata-mata. IA tidak membutuhkan rezki dari manusia. Itulah mengapa Tuhan berfirman Layyanalallohu lukhu muha wa laa dimaauha wa laa qiyyanan luhut taqwa minkum, yang artinya, tidak sampai darah dan daging qurban itu, yang sampai adalah jalan taqwamu( QS.Al Hajj:37 ).

Sebagai bentuk ketaatan, maka setiap pengurbanan haruslah yang terbaik. Karena perintah Dzat yang ditaati. Ketika Ismail diganti dengan domba gibas, sesungguhnya Allah ingin menunjukan bahwa pengorbanan harus dilakukan secara maksimal. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ali Imaran 92 : Lan tanalul birra khatta tunfiqu mimmaa tuhibbun. Wamaa tunfiqu min syaiin fa innallaaha bihi ‘aliem.Yang artinya kamu tidak akan sampai kepada suatu kebajikan sehingga  menginfakkan sesuatu yang dicintainya. Dan apapun yang kamu infakkan, Allah Maha Mengetahui. Domba dalam taradisi Arab kala itu, mempunyai dan menunjukkan sebuah status sosial yang tinggi.

Manusia pada dasarnya dibentuk dari dua jasad, jasmani dan rohani. Keduanya perlu dibangun secara seimbang. Dimensi yang satu tidak bisa dilepaskan dari dimensi yang lain. Tetapi terkadang sebagi bentuk dari ketidaksempurnaan manusia, dimensi yang satu dibangun secara lebih menonnjol dibanding dimensi yang lain, sehingga dalam kurun waktu lain, dimensi yang nampak perlu dihilangkan agar dimensi yang lain dapat lebih terlihat.

Maka untuk mencapai derajad spiritualitas yang tinggi, dimensi materialitas perlu diabaikan, bahkan sesekali perlu dihancurkan. Ibadah qurban jelas menggambarkan perlunya yang materialisme dihancurkan untuk memperoleh yang spiritualisme. Kesenangan duniawi ditinggalkan untuk mencapai kesenangan ukrowi seperti pada saat  manusia melaksanakan ibadah haji. Seluruh atribusi duniawi ditanggalkan, semua kesenangan ditinggalkan demi memenuhi panggilan Tuhan; labbaik allaahumma labaik. Semua prosesi ritual dijalani untuk meneladani keluarga yang dipilih oleh Allah dalam menapaki jalan ketaqwaan, yaitu Ibrahiem dan keluarganya.

****

PARA pemimpin adalah para orang tua dari orang yang dipimpin. Sebuah bangsa atau masyarakat adalah sebuah keluarga besar. Setiap pemimpin hendaknya dapat menjadi dan memencarkan keteladanan bagi orang yang dipimpinnya. Para pemimpin adalah raja, pemilik, pengayom, pelindung, pemelihara dan sekaligus orang yang wajib membuat rakyatnya sejahtera dan bahagia (QS. Al Hasyer:  21 )

Ketika Tuhan menjadikan seorang pemimpin, maka hal itu tidak dilakukan tanpa dilengkapi dengan atribusi-atribusi kepemimpinan. Atribusi kepemimpinan itu diantaranya adalah kesucian, kewibawaan, kekuatan, dukungan, kecintaan rakyatnya, kekayaan harta dan kelebihan-kelebihan lainnya yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan. Contoh dalam Al Quran tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan ( QS. An-Nisa:  34 ). Dalam QS. Al BaqaraH: 228  diterangkan, bahwa seorang suami ( laki-laki ) mempunyai kelebihan-dibandingkan dengan perempuan ( istri ).

Atribusi seorang pemimpin seperti di atas, tentu tidak bersifat mutlak. Artinya, seseorang pemimpin dapat memiliki seluruh sifat di atas, sedangkan yang lainnya hanya memilki beberapa saja. Lengkap dan tidaknya sifat yang dimiliki oleh seorang pemimpin, akan menentukan berhasil dan tidaknya sebuah kepemimpinan.

Kelebihan seorang pemimpin atas orang yang dipimpinnya inilah yang harus dikorbankan secara maksimal. Seorang pemimmpin jangan sampai justru menjadikan rakyatnya dikorbankan untuk kepentingan dirinya.

Pemimpin sosial adalah mereka yang secara duratif diberi dan diangkat sebagai tokoh sosial, yang mempunyai kewajiban memelihara nilai-nilai sosial. Masyarakat manusia adalah kelompok yang sangat dinamis bahkan terkadang fluktuatif dan revolusioner. Nilai-nilai sosial, budaya dan tentu saja etika tidak dapat di-frame-kan dalam satu konstruksi sejarah sosial tertentu, karena nilai-nilai sosial itu selalu bergeser dari waktu ke waktu. Tugas para pemimpin sosial adalah mengawal perubahan agar lebih terarah dengan cara men-design perubahan dengan cara apa dan bagaimana agar setiap perubahan yang terjadi tidak menimbulkan reperkusi dan resiko sosial yang besar. Mereka juga berperan sebagai key person dalam lalu lintas komunikasi inter dan intrakelompok sosial dalam masyarakat ( Astrid Soesanto Soenaryo, Komunikasi Massa, 1984 ).

Komunikasi berperan penting dalam perubahan sosial ( Everet M. Rogers, Komunikasi Pembangunan, 1988 ). Maka dalam perubahan sosial, disadari atau tidak, para pemimpin sosial berperan penting dalam mendorong inovasi dan bahkan transformasi sosial. Dengan demikian mereka harus mengorbankan sebagian nilai-nilai lama yang bersifat patron-client, paternalistik dan feodalistik. Mengapa harus mengorbankan? Sebab nilai-nilai tersebut adalah sistem nilai yang menjunjung derajad sosial mereka dalam kasta yang lebih tinggi dari masyarakat kebanyakan. Budaya feodalistik menghasilkan budaya vertical oriented.  Budaya semacam inimerupakan nilai yang menghambat pembangunan ( Koentjaraningrat, Manusia dan Mentalitet Pembangunan, 1974 ).

Tetapi suka atau terpaksa, hampir mustahil para tokoh masyarakat dapat membendung perubahan di era komunikasi digital saat ini.

***

Para pemimpin politik adalah mereka yang dipilih dalam proses politik ( Pemilu/ Pilkada ) dan diberi mandat kewenangan untuk membuat kebijakan politik ( policy ). Kebijakan politik lahir dalam bentuk program pembangunan secara menyeluruh, baik dari sisi rencana program maupun penganggaran. Pengalokasian dana atau anggaran harus memprioritaskan kebutuhan rakyat, bukan kepentingan pribadi dan atau golongan. Rakyat telah berkorban dengan membayar pajak dan lain-lain, maka para pemimpin politik harus mengembalikan dana masyarakat kepada masyarakat dengan cara efektif dan efesien. Jangan sampai menimbulkan kesan bahwa rakyat menjadi objek eksploitasi oleh pemerintah sebagai pemegang mandat ( pemimpin ) kekuasaan politik.

Nafsu untuk mendapatkan, mengelola, dan mempengaruhi kehidupan politik harus dikorbankan demi kesejahteraan masyarakat ( politik welvarstaat ).Bukan untuk melanggengkan kekuasaan atau merebut kekuasaan secara illegal sehingga rakyatlah yang dikorbankan. Jika perlu mereka harus bersusah payah untuk memperjuangankan tujuan politik yang tidak lain dan tidak bukan adalah kesejahteraan rakyat.

Para pemimpin hukum harus mengorbankan seluruh potensinya untuk penegakkan hukum ( law eforcement ). Mengesampingkan kepentingan pribadi, bahkan mengorbankan nyawa dibawah ancaman para penjahat hukum. Mereka harus bersikap jujur kepada rakyat dan jangan sekali-kali memanipulasi hukum untuk bersikap tidak adil. Keadilan adalah sendi penting tegaknya suatu negara. Suatu negara yang tidak ada keadilan di dalamnya, kendati itu negara beriman, maka negara tersebut akan hancur. Sebaliknya jika negara tersebut bukan negara beriman, tetapi nilai-nilai keadilan dipelihara dengan baik, maka negara tersebut akan jaya ( Norcholis Madjid, Islam, Doktrin dan peradaban, 2000 ). Keadilan adalah prinsip agama dan negara yang diperintahkan oleh Tuhan untuk ditegakkan.

Para pemimpin birokrasasi adalah mereka para pemimpin biro ( kantor ), yang menjadi pelaksana kebijakan pemimpin politik ( pemerintah ) dalam pembangunan. Merekalah para penyusun rencana, pelaksana  dan sekaligus pengawas pembangunan. Mereka adalah para administrator pembangunan yang menentukan berhasil dan tidaknya sebuah rencana pembangunan. Mereka bekerja digaji oleh negara lewat pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Jadi tidak ada alasan lagi sebuah kata  pengorbanan, sebab mereka bekerja secara profesional.

Mereka dapat berkorban untuk rakyat, dengan melaksanakan secara betul mandat yang diberikan kepada mereka. Mereka adalah aparatur negara dan abdi negara sekaligus sebagai pelayan rakyat. Rakyat adalah tuan yang harus dilayani oleh pejabat dan petugas birokrasi pemerintah. Pelayanan rakyat harus dapat dipastikan berjalan secara maksimal serta tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi, dikarenakan para aparat birokrasi menjual jasa-jasa birokrasi kepada rakyat. Tidak boleh ada duplikasi pendapatan dikarenakan ada sumber pendapatan ilegal berupa pungutan liar kepada rakyat. Aturan pelayanan kepada masyarakat oleh birokrasi harus ditegakkan.

Para pemimpin agama adalah mereka yang memancarkan teladan moral kepada rakyat. Mereka meyampaikan yang hak melalui contoh teladan yang benar,  secara benar di saat situasi yang benar dengan objek yang benar. Materi, cara dan objek dakwah yang tidak benar akan menimbulkan ketidakharmonisan dalam masyarakat. Mereka para pemimpin agama harus menyadari bahwa mereka semua membawa misi profetik ( kenabian ) yang teramat mulia.

Mereka membawa niali-nilai religius di tengah kegersangan spiritual masyarakat. Maka mereka harus lebih spiritualis dan religius dahulu untuk memeberikan keteladanan kepada masyarakat. Mereka harus mengorbankan dirinya secara total, seperti seorang penggembala dalam perspektif kristiani, untuk membimbing domba-domba yang sedang kehilangan arah. Bukan bahkan mereka larut dalam materialisme dengan memanipulasi ayat-ayat suci, menjual agama untuk memperkaya diri sendiri. Di saat rakyat hidup susah, kemudian berpaling ke eskatologia agama sebagai harapan tekahirnya, para imam suci ini justru hidup mewah bergelimang harta dengan menjual doktrin, postulat, dan ritualisme agama dengan berbagai kemasan yang menipu rakyat.

Para orang kaya harus mengorbankan hartanya kepada si miskin, dalam bentuk infaq, sadaqah, ataupun zakat. Agama dengan tegas memerintahkan bahwa dalam harta si kaya terdapat hak si miskin. Bayarlah upah pekerjamu sebelum kering keringatnya.

Al Qur’an dengan gamblang memerintahkan kepada orang kaya untuk menginfakkan harta kepada yang berhak menerimanya. Al Qur’an bahkan memperingatkan dengan dimensi waktu, yaitu sebelum kematian datang dan juga sampai suatu hari yang tidak ada jual beli dan pertolongan. Artinya, kelak harta orang kaya yang tidak diinfakkan akan merupakan kesia-siaan.

Para intelektual jangan menjadikan ilmunya sebagai komoditas yang diperjual belikan. Anugrah kecerdasan yang mereka terima harus bermanfaat bagi orang laian. Setiap orang dan masyarakat dalamhidupnya selalu menghadapi masalah yang kompleks. Para ilmuwan sudah seharusnya diminta atau tanpa diminta, rela menjadi bagian yang integral dalam proses setiap pemecahan masalah. Jika tidak demikian, maka mereka sesungguhnya adalah para pelacur intelektual yang memperjualbelikan ilmu yang mereka miliki.

Maka moral hazart berkembang dikalangan para pemimpin negeri. Tak jemu-jemunya mereka menampakkan kehidupan hedonis. Korupsi merajalela melibatkan para politisi, ekonom, tokoh masyarakat, para pemimpin agama, dan pejabat birokrasi. Uang yang seharus untuk kepentingan rakyat dan memang berasal dari rakyat, digunakan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Para pemimpin seharusnya mengorbankan dirinya sebelum rakyat hidup sejahtera. Mereka harus mencontoh tekad Mahapati Gajah Mada dengan sumpah Palapa-nya, bahwa Ia tidak akan hidup enak sebelum Nusantara bersatu di bawah bendera Majapahit. Tetapi para pemimpinjustru bersumpah untuk memakmurkan dirinya sendiri di tengah kesengsaraan rakyatnya.****

Cilacap, 11 Agustus 2019.

 

*) Penulis adalah pengasuh pondok pesantren Daarut-Taubah wa tarbiyah Cilacap.

Penulis
Toufik Imtikhani,SIP
Leave A Reply

Your email address will not be published.