The news is by your side.

Multikulturalisme Akomodatif sebagai Solusi Konflik

oleh Alwi Sahlan*

Multikulturalisme merupakan pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam lingkungan sama dan menguntungkan satu sama lain di mana ada pengakuan dan promosi terhadap pluralisme kultural.

Multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatis, tetapi cara pandang kehidupan manusia sebagai suatu paradigma (Leo Suryadinata, 2002). Meminjam perspektif Will Kymlicka, pemberian ruang bagi kalangan minoritas suatu negara tak bisa dicapai hanya lewat jaminan hak-hak individual dalam UU. Minoritas yang dimaksud Kymlicka adalah minoritas budaya, yang harus diperhatikan keunikan identitasnya.

Kasus Indonesia

Di Indonesia, multikulturalisme adalah suatu keniscayaan dan keharusan, apalagi dalam konteks keragaman ras, suku, bahasa, dan agama yang merupakan ciri khas serta kelebihan dari bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa lain.

Multikulturalisme menghargai perbedaan dan keberbedaan. Namun, perbedaan dan keberbedaan yang tak dikelola dengan baik akan menjadi sumber perselisihan, konflik, dan kekerasan. Oleh karena itu, harus ada formula pemahaman yang tepat-guna untuk mendamaikan dan menyatukan (Rizal Mubit, 2016).

Di Indonesia, banyak sekali konflik timbul karena masalah suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA). Kasus Sampang, kasus fans sepakbola, Kasus Tolikara, Tanjung Balai, dan Pilkada DKI yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama, misalnya, terkait isu SARA. Meski sejak awal kemerdekaan kita sudah berkomitmen dan menyuarakan Pancasila, masalah kebinekaan atau kini istilahnya multikulturalisme/pluralisme ternyata belum selesai.

Dalam kasus-kasus SARA, kaum terpinggirkan dan minoritas melihat pemerintah sulit menyembunyikan “pilih kasih”-nya karena terbukti memihak mayoritas. Diakui atau tidak, pemerintah sedikit banyak membela mayoritas. Itulah perasaan dan kebatinan kaum minoritas.

Namun, suasana kebatinan di kalangan mayoritas justru sebaliknya, menganggap pemerintah terlalu memihak minoritas. Pemerintahan dinilai tak adil dan tak tulus menyikapi aspirasi mayoritas terkait masalah sosial, ekonomi, politik, agama, ideologi, dan kultural yang beraneka ragam dan berlapis-lapis.

Titik pandang berbeda dan titik temunya nyaris tak ada. Kalaupun ada, hanya minimalis. Terjadi “gagal paham” di kedua belah pihak, disadari atau tidak. Tampak bahwa multikulturalisme kaum mayoritas masih bersifat eksklusif dan non-akomodatif terhadap minoritas, begitu pula sebaliknya di kalangan minoritas.

Multikultural akomodatif

Belajar dari sini, sejatinya di Indonesia, di mana mayoritas Muslim tulang punggung bangsa, diperlukan multikulturalisme akomodatif yang sebaiknya diajarkan, dipraksiskan, dan diartikulasikan ulama, kiai, rohaniwan, cendekiawan, pemimpin, guru, dan tokoh masyarakat untuk menumbuhkembangkannya.

Multikulturalisme akomodatif sangat relevan karena di sini masyarakat plural yang memiliki kultural dominan membuat penyesuaian, mengakomodasi kebutuhan kultur minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif niscaya merumuskan dan menerapkan UU, hukum, dan kekuatan sensitif secara kultural dengan memberikan kesempatan kepada minoritas untuk mengembangkan kebudayaannya, sementara pada saat yang sama minoritas tak menentang kultur yang dominan itu (Azyumardi Azra, mengutip Bikhu Parekh, 2002).

Sekiranya multikulturalisme akomodatif sudah membudaya di kalangan mayoritas, kalau pihak minoritas berbuat khilaf atau salah, mudah diselesaikan dan tak perlu menimbulkan aksi-aksi politik dan fisik berwajah kekerasan, yang riskan dan rentan bagi kesatuan dan persatuan bangsa. Setiap kali terjadi kekhilafan dan kesalahan oleh minoritas, problem ini relatif mudah dipecahkan dan dituntaskan melalui komunikasi, dialog, tabayun, dan pertukaran pikiran, gagasan, dan pengalaman interaksi sosial-kultural nyata. Tanpa harus ke ranah hukum atau penjara, dan lebih mengedepankan pendekatan sosial-kultural bercorak silih asih, asah, asuh.

Sebagai negara dengan keragaman etnis, budaya, agama, dan komunal, pemahaman multikultural akomodatif menjadi agenda sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan kemasyarakatan. Terutama dalam pengakomodasian aspirasi dan suara kaum minoritas dalam ruang publik yang kian pengap oleh tarik-tolak kepentingan ekonomi-politik.

Dengan demikian, Indonesia tetap bisa memelihara dan melestarikan kemajemukan dan kebinekaan di era globalisasi di mana ketegangan berbau agama, ekonomi-politik, ideologi, dan konflik kepentingan mudah meletus. Indonesia tak perlu mengalami nasib seperti Inggris, Jerman, dan Eropa yang menyatakan dan mengakui multikulturalisme telah gagal di bumi mereka.

Di tengah carut-marutnya situasi masyarakat kita sekarang ini, multikulturalisme akomodatif sangat diperlukan apalagi di hari Guru Nasional ini di mana guru dituntut untuk mengedukasi siswa agar tidak terjebak pada pemahaman hegemoni mayoritas atas minoritas di momen ini para guru sebagai salah satu anasir civil society harus turut andil dan diharapkan mampu memperkenalkan dengan mengedukasi siswa akan pentingnya, multikulturalisme akomodatif tersebut..

Selamat hari guru Nasional 2018 !!

*Dikutip dr beberapa sumber oleh Alwi Sahlan Pengurus Pergunu Depok

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.