Pesan dan Teladan Rasulullah SAW Dalam Melindungi Wanita
Muhammad Zainudin Asror – Data statistik menunjukkan sedikitnya ada dua pertiga wanita di dunia yang mengalami kekerasan rumah tangga dalam hidupnya. Fakta itu didukung oleh sebanyak empat juta perempuan di Jerman dan empat juta perempuan di Amerika Serikat. Ini terjadi karena stigma bahwa wanita sebagai makhluk lemah masih melekat kuat.
Namun, sadarkah kita bahwa di balik anggapan kelemahannya, wanita menyimpan beragam kekuatan. Tidak semua kelemahannya adalah buruk. Justru kelemahannya itu boleh jadi adalah kekuatannya.
Memang benar, secara fisik, wanita tak sekuat pria. Dalam hal ini, siapa pun tak bisa menyalahkan karena memang demikian kodrat wanita. Namun, coba perhatikan kelemahan hati dan emosionalnya. Perhatikan pula kelembutan hati dan perasaannya. Justru kelemahan ini menjadi sisi baik dan kelebihan wanita. Boleh jadi, semakin lemah lembut wanita, semakin hebat pula seorang wanita. Rasulullah saw. Pun mengapresiasi kelemahan wanita yang satu ini.
Karena kodrat wanita yang lemah, Nabi juga menekankan pentingnya melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikis. Dalam berbagai kesempatan, beliau memperlihatkan kasih sayang dan perhatiannya kepada mereka.
Beliau selalu berpesan kepada para sahabat:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّما هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ
“Berpesanlah kalian kepada para wanita dengan kebaikan kepada. Karena mereka adalah tawanan di sisi kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Melalui hadis tersebut, beliau mengumpamakan perempuan sebagai “tawanan” dalam arti kepemimpinan mereka berada di tangan laki-laki. Keputusan berpisah atau bercerai ada di tangan suami, atas pertimbangan laki-laki diposisikan sebagai pemimpin dan perempuan ditempatkan sebagai pihak yang dipimpin. Itu sebabnya pada situasi tententu, perempuan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, sementara laki-laki, khususnya suami dituntut lebih bijak serta penuh perhatian menghadapi kelemahan perempuan yang satu ini.
Dalam kesempatan lain, Rasulullah saw. Mengumpamakan para wanita ibarat kaca sebagai pertanda kelemahan yang harus diperlakukan secara hati-hati dan lemah lembut. Anas ibn Malik meriwayatkan, Ummu Sulaim terlihat membawa barang bawaan sementara Anjisyah, budak Rasulullah saw. Dituntunnya. Nabi saw. Bersabda:
يَا أَنْجَشَةَ رُوَيْدَكَ سَوْقَكَ بِالْقَوَارِيرِ
“Wahai Anjisyah, hati-hatilah kendalimu atas para kaca (wanita).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Maksudnya, berlemah-lembutlah terhadap wanita.
Kemudian, besarnya perhatian Rasulullah saw. Terhadap wanita dan keluarga juga terlihat jelas dalam hadis yang satu ini.
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي
“Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarga. Dan aku adalah yang terbaik kepada keluarga,” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dll).
Namun demikian, Rasulullah saw. Mengingatkan bahwa adakalanya kedudukan wanita juga menyamai kedudukan pria. Kedudukan itu tidak akan berkurang selamanya hanya karena mereka sebagai wanita, sebagaimana yang diutarakan dalam hadisnya:
إِنَّ النِّسَاءَ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
“Wanita itu saudara kandung pria,” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Ibn Atsir pernah berkomentar, yang dimaksud “saudara kandung” adalah kesamaan kemiripan mereka dengan pria. Dengan kata lain, wanita adalah partner pria. Bahkan, Rasulullah saw. Sendiri melarang membenci wanita meskipun mereka memiliki perangai yang kurang terpuji.
Di dalam kitab Muhammad Sang Teladan karya Abdurrahman As-Syarqawi dijelaskan, tradisi jahiliyah yang mengakar di Makkah memang sangat kuat. Misalnya, status perempuan yang tidak pernah dianggap sebagai manusia seutuhnya kerap dijadikan sebuah komoditas seksual semata.
Tidak ada hukum yang mengatur laki-laki untuk membatasi kuantitas istri yang dimiliki. Bahkan tak sedikit pula yang tidak membutuhkan istri karena dapat memenuhi nafsu birahinya kepada wanita-wanita yang ada kala itu.
Suramnya tradisi jahiliyah ini pun lambat laun dihapuskan oleh Nabi. Dalam buku Sunah Monogami karya Ustaz Faqihuddin Abdul Kodir dijelaskan, Nabi Muhammad yang lahir dan tumbuh besar di kalangan tradisi jahiliyah mampu mengubah dan mengarahkan tradisi ke arah yang lebih baik.
Salah satu contohnya adalah melalui teladan pernikahan. Nabi memulai pernikahannya dengan Sayyidah Khadijah, wanita Quraisy yang terpandang dan memiliki akhlak terpuji.
Sebelum bertemu Sayyidah Khadijah, tidak pernah sekalipun Nabi melampiaskan syahwatnya kepada perempuan-perempuan Makkah lain sebagaimana yang lumrah terjadi pada pria dari kalangan bangsa Arab Makkah kala itu.
Bahkan setelah menikahi Sayyidah Khadijah, Nabi memberikan teladan bagaimana harusnya seorang suami memperlakukan istri. Tak pernah sekalipun Nabi menyakiti perasaan Sayyidah Khadijah apalagi memukulnya.
Dan bahkan, hingga akhir hayat Sayyidah Khadijah, Nabi tak melakukan poligami sama sekali apalagi melakukan perzinaan dengan wanita-wanita malam Makkah.
Dalam buku The Islamic Law karya Usman Efendi dijelaskan, sebelum Islam hadir poligami kerap dilakukan dengan kuantitas yang tak terbatas. Maksudnya, praktik poligami bagi laki-laki bisa dilakukan sebanyak-banyaknya dengan wanita-wanita yang mereka senangi.
Maka, melalui teladan pernikahan Nabi dengan Sayyidah Khadijah yang mulia itu, Nabi perlahan-lahan mendakwahkan bagaimana agama mengatur perihal pernikahan. Aktivis Gender Islam Ustazah Nur Rofiah menyebut, dakwah Nabi soal pembatasan pernikahan dilakukan dengan tahapan-tahapan.
Yang mana tahapan awal dimulai dengan membatasi kuantitas istri pada masa jahiliyah yang tadinya dapat dilakukan sebanyak-banyaknya, kini dibatasi hanya boleh empat saja. Tentu saja secara psikologis dan kultural dipertimbangkan, sebab apabila dilakukan pembatasan dengan maksimal satu istri saja, hal ini sulit diterima bagi laki-laki Arab yang kala itu dipenuhi tradisi jahiliyah.
Namun demikian, tak sedikit juga para ulama yang berpendapat bahwa sunah Nabi yang sesungguhnya adalah pernikahan yang menganut sistem monogami saja. Sebab dengan monogami terjadilah sebuah keadilan yang dapat dirasakan di dalam rumah tangga.