Agama, Akal, dan Perubahan Jaman.
Sebelum agama diturunkan, hubungan antar manusia didasarkan atas kebiasaan dan kesepakatan yang manusia buat sendiri dan kemudian menjadi hukum adat istiadat. Jadi manusia membuat regulasi-nya sendiri untuk mengatur tata hubungan di antara mereka. Beberapa simbol disepakati,sehingga manusia saling mengidentifikasi satu sama lain. Beberapa nama disebut tentang benda, fungsi, guna dan tujuan. Terjadilah beberapa pengelompokan identitas. Di antara beberapa atau seluruh kelompok pun membuat kesepakatan, menyamakan persepsi tentang sesuatu hukum, yang mengatur hubungan di antara kelompok, di samping pribadi. Hukum-hukum adat itu terus berevolusi bersamaan dengan evolusi tentang kepercayaan, tetapi keduanya tidak selalu kait mengait. Maksudnya, kepercayaan manusia saat itu, tidak menghasilkan hukum-hukum sosial. Namun dalam ritual adat, hukum adat bersatu dalam kepercayaan atau sebaliknya. Tetapi menempati dimensi yang berbeda.
Setelah Nabi Ibrahiem AS, yang Tuhan berikan sukhuf ( lembaran-lembaran suci ), agama secara jelas menurunkan syareat yang mengatur, terutama, hubungan yang bersifat transendental, maupun hubungan yang imanen. Yahudi, Kristen, Islam, adalah agama dalam rumpun Ibrahimiec religious, yang secara, katakanlah, lengkap menurut keyakinan masing-masing, membawa aturan untuk manusia.
Agama-agama ini turun tidak dalam keadaan in vacuum. Di muka telah disebutkan tentang eksistensi hukum adat yang ada dan berkembang secara evolutif. Ada yang mengalami evolusi yang panjang, tetapi mungkin ada yang belakangan. Nilai-nilai ini betul-betul telah mendarah daging dan establish, sehingga tidak mudah untuk menghilangkan nilai-nilai tertentu, sebagian, apalagi seluruhnya. Sehingga perpaduan nilai bumi dan langit, tidak dapat dihindarkan dari kemungkinan benturan, dalam skala kecil atau pun besar.
Karena hukum-hukum Tuhan tidak turun dalam suasana kosong, maka diantara hukum adat dan syareat, akal dan wahyu selalu berproses dan diproses oleh para ulama, untuk mencari harmonisasi di antara keduanya. Meskipun Allah adalah mempunyai kehendak tak terbatas, tetapi dengan ke-Maha Bijaksanaan-Nya, Dia tidak berlaku Dumeh, dan memaksa manusia untuk tunduk kepada semua yang bernama wahyu ( syareat ). Allah bersikap wisdom, dan menghargai eksistensi akal, yang notabene adalah karunia dari Dia juga untuk manusia. Allah membiarkan manusia untuk mengembangkan daya nalar, logika dan dialektika untuk menemukan kebenaran, disamping kebenaran atas nama wahyu. Demikian firman Allah dalam QS.3:159. Dalam beberapa riwayat juga disebutkan, bahwa pendapat Umar ibn Khattab pada akhirnya dibenarkan dan sesuai dengan wahyu.
Buku lain :