The news is by your side.

Dari Buku “Islam Radikal” : Hakimiyah [Selesai]

Sayyid Qutb menjauhkan dirinya dari metodologi para ulama dalam memahami Al-Quran. Ia berusaha untuk memahaminya dengan asumsi, perasaan, dan paradigmanya sendiri. Bahkan di bagian awal kitabnya al-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an ia berkata ;

“Aku masuk ke dalam lembaga-lembaga pendidikan, lantas aku membaca tafsir Al-Quran di kitab-kitab tafsir. Aku pun mendengar penafsirannya dari penuturan para guru. Akan tetapi dari apa yang telah aku baca dan dengar, aku belum menemukan Al-Quran yang lezat dan indah itu sebagaimana yang pernah aku rasakan saat masih kecil. Duh, sayang sekali, simbol-simbol keindahan Al-Quran telah tertutup, sehingga Al-Quran kehilangan kelezatan yang selalu mengundang rindu. Kamu melihat dua Al-Quran ? Al-Quran di masa kecil yang enak, mudah, dan mengundang rasa rindu untuk senantiasa membacanya, dan Al-Quran di masa muda yang susah, rumit, dan membosankan ? Ataukah ini hanyalah buruknya metodologi yang dipakai dalam menafsirkan Al-Quran ? Kemudian aku kembali membaca Al-Quran dari mushaf, bukan dari kitab-kitab tafsir. Di sini aku kembali menemukan keindahan Al-Quran. Aku mendapati sebuah deskripsi indah yang mengundang rasa rindu….dst.”

Ini sebuah teks pernyataan yang sangat berbahaya yang mengungkap akan metode pemahaman, analisa, dan interaksinya dengan teks Al-Quran. Sayyid Qutb benar-benar tidak menggunakan metodologi yang telah dibangun oleh para ulama Islam sepanjang sejarah, dalam berkhidmah kepada Al-Quran dan memahaminya. Ia menjadikan produk ilmiah para ulama itu sebagai produk jahiliah. Baginya, dasar dalam memahami Al-Quran adalah rasa estetika, yang parameternya tidak jelas dan sifatnya masih universal, yang ia rasakan di masa kecilnya, bukan sebuah metodologi ilmiah yang detail dan jelas, yang menjadi pegangan para ulama Islam sepanjang sejarah dalam menggali makna dan hukum dari teks-teks Al-Quran.

Leave A Reply

Your email address will not be published.