Konsep Dasar Memahami Kafa’ah dalam Islam
Mohamad Firudin – Pernikahan merupakan cara manusia melegalkan hubungan seksnya dengan lawan jenis. Dalam artian mereka membatasi kebiasaan seks dengan pernikahan. Bayangkan jika tidak ada pernikahan maka manusia akan leluasa seks sana-sini dengan lawan jenis layaknya hewan.
Islam mensyariatkan pernikahan bertujuan untuk menjaga keturunan, menjaga agama, mengeluarkan air mani yang membahayakan jika ditahan dalam badan, dan memperoleh kenikmatan. Nah hal ini akan tetap ada sampai kita masuk Surga. Syekh Abu Bakar as-Syatho’, Hasyiah Ianatu at-Tholibin Ala Halli Alfadzi Fathul Muin, (2009:602).
Dalam pernikahan, Islam sangat menganjurkan pada calon pasutri supaya memilih calon yang sekufu (kafa’ah). Nah, hak memilih atau menentukan sekufu dipegang perempuan dan wali, bertujuan supaya istri tidak malu dengan kondisi suaminya. Sebagaimana penjelasan dibawah ini.
(فَصْلٌ) فِيْ الكَفَاءَةِ المُعْتَبَرَةِ فِيْ النِكَاحِ دَفْعًا لِلْعَارِ، وَلَيْسَتْ شَرْطًا فِيْ صِحَّةِ النِكَاحِ، بَلْ هِيَ حَقٌ لِلْمَرْأَةِ وَالوَلِيْ فَلَهُمَا إِسْقَاطُهَا
“Fasal, penjelasan kafa’ah yang danggap dalam pernikahan untuk menghilangkan kesenjangan. Kafa’ah tidak termasuk syarat nikah tapi hak bagi calon perempuan dan wali, dan keduanya boleh menggugurkan kafa’ah.” (syekh al-Khotib as-Syarbini, Mughni Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadzil Minhaj, 2020:201)
Sebenarnya sekufu itu hanya sebuah anjuran Islam bagi calon pasutri, bukan menjadi kewajiban. Jika pihak wali dan perempuan rida dengan kondisi calon suami yang lebih buruk dari calon wanita maka pernikahan kedua mempelai tersebut sah. Bisa bernilai tidak sah, jika pihak perempuan dipaksa oleh walinya untuk menikah dengan calon laki-laki yang tidak sekufu dengannya. Seperti penjelasan Syekh Abu Bakar as-Syato’ dibawah ini.
وَقَوْلُهُ مُعْتَبَرَةٌ فِيْ النِكَاحِ لَا لِصِحَّتِهِ: أَيْ غَالِبًا، فَلَا يُنَافِيْ أَنَّهَا قَدْ تُعْتَبَرُ لِلصِحَّةِ، كَمَا فِيْ التَزْوِيْجِ بِالإِجْبَارِ
“Redaksi ‘dianggap dalam pernikahan tidak untuk keabsahan nikah’: maksudnya secara umum, sehingga tidak menafikan kafa’ah dianggap untuk keabsahan dalam pernikahannya wanita yang dipaksa.”
Untuk memahami sekufu diperlukan mengetahui definisi darinya terlebih dahulu, sebab banyak dari umat Islam belum mengetahui apa makna dari sekufu? Ulama fikih membahasakan sekufu dengan istilah kafa’ah . seperti yang dilansir dalam kitab I’anatut Tholibin:
وَهِيَ لُغَةً: التَّسَاوِي وَالتَعَادُلُ. واصْطِلَاحًا أَمْرٌ يُوْجِبُ عَدَمُهُ عَارًا. وَضَابِطُهَا مُسَاوَاةُ الزَّوْجِ لِلزَّوْجَةِ فِيْ كَمَالٍ أَوْ خَسَّةِ مَا عَدَا السَلَامَةُ مِنْ عُيُوْبِ النِكَاحِ
“Kafa’ah secara etimologi berarti setara atau sebanding sedangkan secara terminologi ialah suatu hal yang mengharuskan ketiadaan aib atau kekurangan. Batasan dari sekufu ialah kesetaraan suami terhadap istri dalam segi kesempurnaan atau dalam segi kekurangan yang tidak terbebas dari aib-aib nikah.”
Dengan kita mengetahui makna kafa’ah di atas lantas, bagaimana kriteria pasutri bisa dikatakan sekufu? Ada beberapa kriteria yang penulis sariakan dari kitab Fathu al-Muin dan Nihayatuz zain.
- Perempuan merdeka sekufu dengan laki-laki merdeka.
Sehingga contoh wanita yang secara asal merdeka, atau dimerdekakan, perempuan atau bapaknya atau leluhurnya pernah menjadi budak, tidak sekufu dengan selainnya. Dalam konsep ini ibu tidak menjadi pertimbangan baik dia pernah jadi budak atau tidak. - Wanita Sholihah (‘Iffah) sekufu dengan Pria Sholih
Syekh Asy-syarbini (pengarang Mughni Muhtaj) mengartikan ‘iffah ialah wanita yang agamawan, berakhlak mulia, dan menjauhi hal-hal yang tidak halal. Sehingga Pria sholih sekufu dengan wanita sholihah, begitu juga pria fasik sekufu dengan wanita fasik selagi kefasikan mereka berdua sama. Jika kefasikan wanita dia pezina maka tidak sekufu dengan pria tukang mabuk, sebab tingkatan kefasikan mereka berbeda. - Wanita bernasab mulia sekufu dengan pria bernasab mulia
Contoh, pria keturunan arab tidak sekufu dengan wanita Indonesia, perempuan bani Quraisy tidak kafa’ah dengan pria bani Anwar (keturunan pak Anwar), pria Bani Hasyim tidak kafa’ah dengan wanita selainnya, begitu juga wanita bani Mutholib tidak kafa’ah dengan bani quroisy. Akan tetapi Nabi bersabda sesungguhnya keturunan bani mutholib kafa’ah dengan bani hasyim.
نَحْنُ وَبَنُوْ المُطَّلِبِ شَيْءٌ وَاحِدٍ
“Kita dan bani mutholib merupakan satu kesatuan” - Wanita yang terlepas dari status pekerjaan hina kafa’ah dengan pria yang demikian.
Ulama fikih mengartikan pekerjaan hina dengan pekerjaan yang berpotensi menurunkan harga diri. - Wanita yang terbebas dari aib nikah kafa’ah dengan pria yang terbebas juga.
Aib nikah yang dimaksud ialah aib yang bisa menetapkan khiyar nikah jika tidak maka tidak berefek, seperti juzam (kusta), vagina tertutup tulang atau daging, impoten, dan gila.
Kesimpulannya, kafa’ah itu hanya sebuah anjuran dalam Islam, bukan syarat sah bila pihak wanita bukan orang yang dipaksa menikah oleh walinya, dan tujuan dari adanya konsep ini sebagai bukti bahwa Islam sangat menghormati status sosial seseorang di depan umum. Wallahu A’lam.
Mohamad Firudin
Mahasantri Ma’had Aly PP. An-Nur II “Al-Murtadlo”