Melawan Stigma, Mengembalikan Lagu Genjer-genjer pada Tempatnya

Oleh: Galun Eka Gemini
Tulisan ini berawal dari keprihatinan saya melihat kekeliruan yang terjadi setali Gerakan 30 September (Gestapu). Tragedi berdarah yang menelan nyawa enam Jenderal dan satu Pamen (perwira menengah) Angkatan Darat. Sekaligus menjadi peristiwa pertama di dunia yang merangkum matinya banyak jenderal dalam hitungan jam. Tidak ada dalam cerita Perang Bratayudha, Perang Dunia I dan II atau cerita perang lainnya.
Ada dua hal yang perlu dikemukakan terlebih dahulu di sini; pertama, tulisan ini tidak membahas tentang pencarian siapa dalang peristiwa Gestapu. Itu karena sudah banyak para ahli yang menelaah dan menuliskan peristiwa ini secara empiris dan komprehensif, meski hasilnya masih dalam perdebatan (debatable). Paling tidak, pembahasan tentang siapa dalang peristiwa itu sudah menuju titik terang. Tidak bertumpu lagi pada tafsir tunggal Orde Baru. Hanya saja kebenderangan ini belum tampak pada lagu Genjer-Genjer. Stigma negatif masih melekat pada lagu tersebut. Maka lagu Genjer-Genjer menjadi setting dalam tulisan ini.
Kedua, pendapat yang dikemukakan tidak bermaksud mendeskreditkan salah satu pihak atau golongan. Tetapi semata-mata merenungkan pesan seorang Pramoedya Ananta Toer bahwa “seorang terpelajar itu harus sudah adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.” Oleh karena itu, saya mencoba menjabarkannya secara objektif. Dari dua sudut pandang; sisi kelam dan aspek historisnya pada lagu Genjer-Genjer.
Buku lain :