Melawan Stigma, Mengembalikan Lagu Genjer-genjer pada Tempatnya
Stigma Negatif
Lagu genjer-genjer menjadi begitu popular dikalangan masyarakat kita. Kepopulerannya hingga menyentuh di hati rakyat yang paling papa, sehingga lagu itu dimanfaatkan dan dinyanyikan orang-orang PKI terutama saat kampanye. Ini bisa dimaknai sebagai upaya PKI memikat hati rakyat. PKI yang menyasar dan berbasiskan masyarakat akar rumput linier dengan lagu Genjer-Genjer yang menggambarkan penderitaan masyarakat desa. PKI memakai pendekatan emosional dalam memikat simpatisannya.
Barangkali itu yang melatari mengapa Genjer-Genjer sangat intim dengan PKI. Selain karena penciptanya (Muhammad Arifin) tercatat pernah bergabung di Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat). Sayap organisasi di bawah underbouw PKI. Tak kalah pentingnya lagi adalah Genjer-Genjer seringkali diplesetkan menjadi “Ganyang Jenderal” yang makin memperkuat keintiman tersebut.
Jadi, karena nilai setitik, rusak susuk sebelanga, ibarat pepatah mengatakan. Lagu yang awal kelahirannya berfungsi sebagai spirit “perjuangan”, kritik sosial terhadap tirani Jepang, dipahami sebagai lagu pengkhianatan (makar) gara-gara sering dinyanyikan PKI. Sudah barang tentu sebagai warga yang tengah meneguk udara reformasi kita memiliki hak untuk mengabaikan tafsir tunggal Orde Baru dan negara harus melindunginya. Termasuk bila menghidupkan kembali lagu itu sebagai khasanah kearifan lokal, warisan budaya tak benda masyakarat Banyuwangi. Atau menjadi media belajar bagi anak-anak sekolah Osing-Banyuwangi khususnya.
Dalam konteks ini saya sepakat dengan Lazanov (Bobbie de Porter, 2006) bahwa “lagu menata suasana hati, mengubah keadaan mental siswa dan mendukung lingkungan belajar siswa”. Dengan kata lain, bisa saja lagu itu menjadi media yang mendukung proses pembelajaran, terutama pembelajaran sejarah ketika Indonesia pada masa pendudukan Jepang.
Tentu pemerintah pun memiliki andil dalam menghapus stigma negatif itu. Banyak cara dapat dilakukannya. Tetapi, pada prinsipnya, dengan tidak menghakimi, mempersekusi, apalagi sampai menjerat dengan hukuman kepada orang yang mengajarkan, menyanyikan, menyetel lagu itu adalah wujud bahwa negara tidak larut pada dendam sejarah.
Pemerintah yang dilengkapi alat dan perangkat yang strategis dan mapan saya yakin sudah jauh lebih dewasa dan cerdas dalam menimbang upaya potensi makar serupa. Berhenti mengkhawatirkan munculnya Neo-PKI apalagi hanya karena sebuah lagu sebagai indikatornya adalah hal yang sudah seharusnya dilakukan pemerintah. Karena fobia dan aksi berlebihan bisa jadi sebaliknya: malah berpotensi melahirkan efek domino simpati gaya baru.*
Buku lain :